Seretan langkah Andin, ibu Ana itu, yang pernah ayah ceritakan tempo hari, begitu lekat di telinga. Sepertinya ia sudah menghafal langkah-langkah itu sejak bayi. Tak ada goncangan paling dahsyat yang pernah dirasakan seperti pada saat melihatnya berdiri di ambang pintu rumah. Ia menoleh ke arahnya, tak karuan gempa dahsyat bergemuruh mengguncang-guncang dada. Matanya tepat menusuk dua pupil mata coklat Ana. Tak ada hal yang tidak diketahui jika menyangkut masalah pada ibunya.
“Ibu terlihat membutuhkan uang, untuk biaya adikku masuk pesantren. Ibu memang tidak mengatakannya sebagaimana hal-hal lainnya. Namun, dari balik dinding kamar aku pernah mendengar ibu berbicara tentang itu; tentang keinginannya menyekolahkan adik-adik di pesantren.” ucap Ana pada Andin yang tengah duduk di kursi ruang tamu.
Ia hanya diam, matanya menatap selebaran pemberitahuan adanya kelulusan. Juga melihat surat lanjut sekolah yang tak ada tanda tangan orang tua. Ana tahu itu adalah keinginan adiknya sejak dulu, saat ini ada kesempatan untuk mewujudkannya dengan melanjutkannya ke pesantren sesuai impian Andin. Akan tetapi, kesempatan selalu tak berpihak. Kondisi keuangan mereka sedang tak mendukung.
Andin, ibu Ana memang pandai menyembunyikan sesuatu, keluarga mereka sudah terlatih untuk mengerti keadaan. Mereka sama-sama tahu mana yang lebih mendesak. Andin tak ada biaya untuk mengantarkan ke impiannya, ditambah Abdul yang baru bekerja. Bila merelakan uang untuk lanjut ke pesantren, bagaimana kabar esok hari.
Kali ini Ana ingin membuat senyum di wajah cantik Andin. Agar Ara—adiknya—bisa lanjut ke pesantren, menuntut ilmu agama, hari ini adik Ana tak tahu akan kesulitan keluarganya, Ana membiarkan adiknya bermain dengan teman-temannya, membentangkan tangan tuk menghadang angin yang datang dari lautan. Merasakan bagaimana terpaan ombak menyentuh badan dan menariknya memainkan pasir sambil mendengar deburan ombak menghantam karang.