Air mata Ana jatuh berlinang, saat melihat Abdul duduk menggantikan sosok sang ayah sebagai walinya. Kesedihan itu kian membuncah, saat Abdul mulai berucap. Merestui pernikahan Ana dengan Rendi.
Ana pergi terlalu kini tak ingin larut dalam kesedihan, namun air matanya tiada sanggup berbohong. Berlinang jatuh membasahi pipi. Ia susuri hidup yang bahagia ini tanpa ayah.
Semua terjadi serasa begitu cepat.
Ingatkah Andin saat itu, saat Ana meyakinkan, bahwa Rendi adalah pilihan yang paling tepat. Dia akan menjaga, bila hati sedang sedih, Rendi akan ada. Bila sedang butuh dukungan tentang apa saja, ialah orangnya. Ketika itu Andin tersenyum, kepalanya yang indah dengan kerudung biru mengangguk yakin. Dengan pilihan Ana.
Ana menikah. Keluarga besar sangat sibuk mempersiapkan pernikahan yang digelar di rumah. Memang tak semewah yang dibayangkan, tapi Andin yang mengatur, sehingga segalanya membuat pernikahan berjalan lancar. Semangatnya bertambah ketika melihat Ana dalam balutan kebaya dan riasan lengkap pengantin.
"Cantiknya anak ibu." Sambil tersenyum Andin terlihat bahagia.
"Ibu lega sekarang. Ana bahagia 'kan?" lanjut Andin.
"Iya, Bu."
"Barakallah, ibu doakan sakinah, mawaddah, rahmah, sampai akhir hayat."
"Aamiin. Makasih, Bu."
**