Pagi itu tak seperti biasanya bagiku. Suara merdu burung burung yang bernyanyi menghiasi pagi tak terdengar seperti biasanya. Sinar mentari pagi yang indah berwarna kuning keemasan pun tak nampak dari dalam ruang kamar. Tak seperti biasanya. Biasanya sinar itu telah memasuki ruang kamarku melalui celah celah dinding kayu rumahku yang sudah reot ini. Pagi mendung dengan awan gelap menutupi langit biru di pagi hari itu. Tak seperti biasanya, sepertinya masih di musim kemarau tapi entah mengapa pagi itu sudah mendung saja. Belum lagi kabut pagi yang menutupi hawa pagi di desa tempat aku tinggal. Tidur dengan pulas dan nyaman menjadi kenikmatan bagi warga desa. Termasuk aku, aku masih tidur pulas dan menikmati dinginnya pagi.
"Jam berapa ini? pagi atau masih subuh ini?", batinku.
Bergegas kuraba dengan tangan kiriku mencari jam tangan yang biasanya kuletakkan disebelah kasur tempat tidurku. Jam tangan tua peninggalan almarhum ayah yang telah kupakai lebih dari sepuluh tahun lalu. Hp android bekas yang ku charge di meja juga membunyikan alarmnya. "krringgg... krriiingg.. krrriingg..". Alarm hp jam 6 pagi pun berbunyi.
"Astaga sudah jam 6 pagi, kenapa masih seperti jam 4 pagi..", kejutku. Sambil berkata akupun bergegas bangun dan melipat selimutku dan merapikan sedikit kain penutup kasur ku yang sudah usang karena lama tidak ganti.
Segera aku berjalan dengan cepat menuju kamar mandi di bagian belakang rumah tuaku ini. Aku ambil ember kecil untuk menimba air di sumur. Aku masih memakai sumur sebagai sumber air di rumahku. Aku menimba air dan menyaringnya di ember yang berisi pasir dan kerikil agar air tanah dapat tersaring dan menjadi jernih. Sehingga bisa kupakai untuk kebutuhan sehari-hari. Sambil menyaring air sumur, aku ambil panci dan kuiisi dengan air yang telah tersaring. Aku berniat memasak air minum. Sambil kumempersiapkan diri untuk memasak air dan menyaring air untuk mandi pagi ini, kudengar ada suara jejak kaki seseorang berjalan didepan rumahku.
"tok.. tok.. tok.."
Tidak mengeluarkan suara hanya bunyi ketukan saja. "Siapa pagi pagi begini dateng ke rumah, coba kutengok", pikirku. Jarang sekali ada tamu datang ke rumahku. Apalagi di pagi hari yang dingin dan mendung ini. Memang kuakui, semenjak kejadian aku disidang oleh ibu mas Heru dan pak RT, aku menjadi hujatan warga. Tidak ada satupun warga mau berteman denganku. Mereka membenciku, karena aku dianggap perusak rumah tangga orang. Mereka menganggapku sebagai iblis yang tinggal dalam jasad wanita. Tetapi aku mencoba menjadi manusia yang normal dan mencoba menjalani hidupku layaknya tak terjadi masalah. Sambil berjalan dan merapikan pakaianku, aku coba lihat siapa yang datang pagi itu. Kulihat dari celah celah dinding kayu dekat pintu, ada seorang pria yang datang ke rumahku pagi itu.
Pria dengan baju biru navy rapi, lengan panjang, dan celana warna cokelat muda dengan ikat pinggang rapi, tak lupa pula jam tangan warna hitam dan tas selempang warna cokelat tua. Pria berkacamata, tinggi, dan postur tubuh yang nampaknya tak asing bagiku. "Siapa ya, kok sepertinya mas Heru.. aduh pikiranku ini kenapa.. mas heru kan sudah tidak mencintaiku, dia membenciku semenjak sidang itu di rumah pak RT..", ungkapku dalam hati. Tapi rasa penasaran dan rindu dalam hati ini memang tidak bisa bohong. Langsung saja bergegas ku buka pintu rumahku. Benar saja, Mas Heru. Pria yang selama ini mendiamkanku karena sidang yang diadakan di rumah pak RT .