Satu minggu telah berlalu. Ayahanda Mas Heru sudah bisa pulang ke rumah. Selama satu minggu itu pula aku mengirimkan makanan ke rumah sakit sambil menemui Mas Heru setiap malam. Mas Heru kembali bekerja di hari kedua ayahnya dirawat di rumah sakit, sehingga jadwalku untuk bertemu dengan nya sekaligus mencari perhatian pada "calon mertua" berganti menjadi malam hari. Kehidupan keluarga sebelah mulai berjalan dengan normal kembali. Aku melihat ibunya sudah nampak ceria kembali. Hal ini ditandai dengan bisingnya ocehannya yang terdengar sampai kamarku di pagi hari. Entah terbuat dari apa tenaganya, hingga mampu mengeluarkan suara sekuat terompet tahun baru. Aku masih menikmati tidur ku di pagi hari yang sejuk itu. Cahaya matahari mulai masuk ke dalam kamar ku melalui celah celah dinding kayu. Aku langsung terbangun dan tidak dapat melanjutkan tidurku lagi. Suara ibunda Mas Heru meramaikan pagi di lingkungan rumah tinggal kami. "Mau kemana mbak? belanja??...", tanya ibundanya pada warga yang lewat rumahnya. "iya ini lagi nyiram bunga -bunga, ah sudah lega ayah sudah sembuh dan pulang dari rumah sakit", lanjutnya.
Seperti biasanya, aku langsung menimba air dan membersihkan diriku. Hari itu adalah hari kamis pon. Setiap tanggalan jawa menunjukkan hari pon, maka pasar belanja di desaku akan buka dan siap beroperasi. Pasar tradisional itu hanya buka setiap hari pon saja dan menjual barang-barang dengan harga yang murah. Oleh sebab itu, aku sebagai penjual dengan perekonomian kecil sangat tepat bila belanja di pasar tradisional tersebut. Aku bersiap-siap ke pasar untuk belanja barang barang dan bahan makanan yang bisa kujual di warung. Tiba-tiba saja kudengar ada seseorang menaruh sesuatu di depan pintu. Entah siapa, tapi aku tidak begitu memprehatikannya, karena aku sedang mandi di kamar mandi belakang rumah.
Setelah selesai berganti pakaian, aku bergegas keluar rumah. Aku membuka pintu dan kulihat sebuah kotak kecil. Aku membuka kotak itu, dan kulihat sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati. Terdapat tulisan kecil di sebelah kalung itu, isinya: "Sebuah bentuk cintaku untukmu, pakailah, dari pria pemujamu Heru". Hatiku berbahagia dan penuh dengan keceriaan. Mas Heru benar-benar telah kembali ke hidupku. Harapan untuk memilikinya kembali muncul. Segera saja aku bersiap-siap ke pasar dan tak lupa ku memakai kalung emas pemberian mas Heru. Aku kirimkan voice note untuk Mas Heru pagi itu juga. "Mas sayang, makasih ya, aku akan melakukan yang terbaik buat Mas. Semua nya buat Mas". Aku langsung pergi ke pasar dengan semangat di hari itu.
Saat aku pergi ke pasar, sepertinya suasana rumah Mas Heru berubah menjadi lebih indah. Ternyata Siska, istri sah Mas Heru pulang ke rumah. Siska nampak sedih dan menyesal karena tidak dapat merawat ayahanda Mas Heru. "Maafkan Siska ya bu, tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk ibu", tangis Siska. "Tidak apa apa nak, ibu memahami, kamu bekerja juga untuk keluarga kita disini. Kamu tahu sendiri, ayah sudah tidak bekerja di BUMN sejak kalian menikah, dan ibu juga tidak bekerja, hanya Heru dan kamu yang menopang keluarga ini. Selama ini kamu juga lah yang membayar cicilan mobil baru yang Heru beli, kamu juga yang setiap bulan memberi uang jajan untuk ibu dan ayah disini, bahkan biaya rumah sakit kemarinpun kamu yang membayar semuanya. Kamu sudah menjadi menantu yang baik. Malah kamu disakiti oleh Riana, wanita tidak tahu malu itu", jelas ibunda Mas Heru.
Ternyata semua tetangga tahu bahwa Siska lah yang menopang rumah tangga itu hingga tetap bertahan dan kecukupan. Hanya aku yang tidak tahu, aku juga tidak mau tahu tentang Siska. Bagiku, Siska lah perebut Mas Heru. Siska lah saingan dalam hidupku. Sebaik apapun citra Siska di hadapan masyarakat, tetap bagiku, Siska bukan istri yang baik. Suami tidak hanya butuh uang, suami butuh perhatian, suami butuh cinta dan suami butuh di puaskan secara biologis. Malam pun tiba, aku pulang dari warung. Setelah pagi belanja di pasar tradisional, lalu kulanjutkan untuk berangkat bekerja di warung, badan ini terasa pegal sekali. Lelah rasanya, aku bergegas pulang dan masuk ke dalam rumah. Ku dengar keluarga Mas Heru sedang makan bersama didepan rumah sambil membakar sate bersama. Nampak keluarga Pak Willi juga diundang. "keluarga indah dan sempurna", bisikku pelan sambil membuka kunci rumahku. Disaat lelah seperti ini, melihat Mas Heru sedang makan malam bersama, rasanya hati ini muncul rasa sedih. Mereka nampak bahagia, kecukupan, dan lengkap. Bahkan tetangga pun ikut menikmati kebahagiaan mereka. Sedangkan aku hanya hidup sendiri, berada seperti bayangan di belakang Mas Heru dan Siska.
Wanita mana yang tidak sedih. Saat melihat pria yang ia cintai sedang berbahagia bersama dengan wanita lain, meskipun ia adalah istrinya, tetap saja ada rasa cemburu dan sedih yang bersarang di hidupku malam itu. Rasanya hancur hati ini, aku sudah berjuang selalu memasakkan ayahanda Mas Heru, tapi tetap saja, Siska yang terbaik bagi keluarga itu. Dulu waktu kami masih remaja, aku juga selalu ramah dan membahagiakan Mas Heru, tapi tetap saja, Siska yang saat ini duduk disampingnya sambil makan sate sapi yang mereka bakar itu. Dan sebaik apapun perilaku ku, sesopan apapun tingkah laku ku, tetap saja aku dihujat dan dianggap sebagai wanita perusak rumah tangga orang. Semenjak kejadian aku dan Mas Heru ketahuan selingkuh, panggilan pelakor dan lonte tidak pernah lepas dari namaku.