Jeritan Hati Riana, Sang Wanita Simpanan

Bian
Chapter #9

Part 8. Tragedi

Deruan ombak yang keras tak mampu menghapuskan tangisnya. Desir angin yang dingin tak lagi ia rasakan sebagai hawa dingin saat menyentuh permukaan kulit tubuhnya. Kicauan burung di pagi hari tak lagi terdengar seperti untaian nada indah di setiap dengung telinganya. Semua telah berubah menjadi awan kelam yang menutupi pikiran Riana. Semuanya telah berpindah menjadi hentakan rasa pedih hati yang mencuat dari dalam jiwa, merasuk ke dalam tulang-tulang bagaikan duri-duri tajam yang menusuk di setiap detik. Tiada lagi hangat, tiada lagi tenang, dan tiada lagi keindahan yang ia rasakan. Semua telah lenyap tertelan dalam rasa kecewa, ketakutan dan kepedihan. Sakit dan nyeri yang tiada akhir di dalam dada ini. Rasa sakit hati yang tertimbun di dalam jiwa dan mencuat sebagai air mata. Bagaikan tetesan air hujan yang hinggap di ujung bola mata Riana. "Apalah arti tangisan air mata seorang pezina dan tak ada harganya ini. Aku lah Riana sang wanita simpanan yang tidak bisa lepas dari ikatan cinta dengan suami orang", ujarnya sambil meneteskan air mata. 

Setiap untaian kata yang tertulis dalam kisah hidupnya, semua menyatakan kesedihan dan sayatan hati. Dimulai dari kehilangan ayah saat ia masih kecil, ibunya tersayang yang menemani dan menghidupinya hingga ia dewasa, dan yang terakhir jeratan cinta yang membuat nya terus terpuruk dalam rasa ketakutan dan kepedihan. Rasa sakit hati karena hujatan dan hinaan orang-orang awalnya memang menyakitkan, tetapi rasa sakit itu tak seberapa dibanding rasa kecewa nya malam ini mendengar keputusan Heru untuk menjadikan Riana sebagai istri kedua Heru.

Malam itu, Heru pulang dengan rasa kebimbangan. "Aku tahu Mas Heru bimbang dan kecewa karena aku tidak langsung menerimanya. Aku bisa membacanya dari paras tampan wajahnya yang nampak redup setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulutku", gumamnya. "Ijinkan aku memikirkan terlebih dahulu", jawabnya malam itu. Kalimat yang sebenarnya terucap oleh seorang wanita yang sebenarnya berada dalam titik kebimbangan. Ia tidak bimbang karena Heru yang akan meminangnya dan menjadi suaminya. Tidak sama sekali, karena itulah harapan dan impiannya. Tetapi ia bimbang dan tidak tenang bila harus menjadi istri kedua Heru, yang otomatis harus tunduk dan segan kepada Siska dan Ibu mertuanya. 

Coba kalian pikirkan dan bayangkan bila menjadi Riana. Riana yang telah berjuang keras untuk mempertahankan cintanya dari dulu. Saat ia remaja, ia menemukan cinta sejatinya yaitu Heru. Ia adalah pria yang diidam-idamkannya. Bukan hanya fisiknya saja yang ia sukai, tetapi sifat dan jiwa nya yang telah menyatu dengan Riana. Tetapi cinta itu harus kandas oleh keegoisan orang tua Heru yang memaksa Heru menikah dengan Siska, seorang wanita terpandang dengan pendidikan yang tinggi. Berbeda dengan Riana, gadis miskin, anak seorang janda dan tetangga nya sendiri yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Heru.

" Aku tetap bertahan untuk tidak mencintai pria lain. Aku tidak bisa membuka hatiku kepada pria lain. Pria tampan diluar sana banyak, pria mapan juga diluar sana banyak. Tetapi pria yang selalu ada disisiku, dan menemaniku disetiap musim dalam kehidupanku, hanya Mas Heru. Kesetiaannya bagiku itulah yang membuatku bangkit sebagai wanita yang siap melawan semua tantangan dan hujatan dari siapapun", paparnya sendiri dalam hati. Ia mencoba mengungkapkan isi hatinya kepada cermin yang saat itu tergantung di hadapannya.

Riana mulai berkata pada dirinya sendiri di depan cermin itu.

"Aku tidak peduli harus menghadapi teror ataupun kesakitan karena istri sah dan orang tuanya Mas Heru. Semua aku dapat hadapi karena Mas Heru lah yang menjadi tumpuan untuk aku tetap bertahan dan menerjang setiap perih nya kenyataan hidup. Tetapi wanita mana yang siap bersanding menjadi istri kedua dan hidup bersama dengan mereka. Mereka, orang orang yang telah berlaku jahat kepadaku. Secara tidak langsung, ia sudah membunuh ibuku. Karena merekalah, ibuku sakit dan sekarang ia telah kembali ke hadapan Allah", paparnya dengan jelas layaknya orang yang sedang berpidato mencari pembelaan.

 "Aku tidak sudi menjadi istri kedua Mas Heru, hidup berdampingan dengan wanita yang telah menjahatiku, dan orang tua yang siap untuk menerkamku setiap waktu. Hal ini sama saja menempatkan ku ke dalam lubang singa yang lapar. "Apa sih angan-angan Mas Heru? Tidak habis pikir aku", lanjutnya pada bayangan dirinya sendiri. "Haduh.. lama lama bisa gila, ngomong sendiri, dengarkan sendiri, nanti mati juga sendiri di sini", celetukku setelah usai melampiaskan isi hati pada bayangan dirinya sendiri.

Setiap detik malam itu berubah menjadi untaian waktu yang lama seperti jam pasir yang berhenti. Malam itu benar-benar malam yang penuh dengan tekanan dalam hati Riana." Aku benar-benar perang dingin dengan diriku sendiri", batinnya. Satu sisi, menjadi istri sah Mas Heru adalah impian nya sejak dulu. Semua wanita simpanan pasti merasakan hal ini, mereka pasti ingin menjadi istri sah dari pria yang ia cintai. Tetapi Riana juga tidak ingin menjadi istri kedua yang tunduk kepada Siska sang istri pertama, dan siap di siksa bahkan dihancurkan oleh mertuanya sendiri.

"Aku mulai curiga saat orang tua Mas Heru mengijinkannya menikah setelah Siska mengijinkan Mas Heru menikahiku. Tidak mungkin Siska begitu saja rela dimadu, karena saat ia mengetahui aku berselingkuh dengan Mas Heru saja, ia sudah meingirimkan teror sampah setiap harinya ke rumahku. Pasti ada niatan buruk yang ia rencanakan bagiku. Aku benar-benar tidak bisa tenang malam ini. Aku harus mencari cara untuk bisa memiliki Mas Heru tanpa harus menjadi istri kedua", pikirnya sambil ia melepaskan jepet rambut dan duduk di kasur tua milik almarhum ibunya.

Lihat selengkapnya