Seperti yang kuceritakan sebelumnya, kampung ini hanya berisi beberapa kepala keluarga. Mungkin tidak sampai seratus KK. Makanya, ada aura-aura jomblo eh, sepi bin merana di kampung ini.
Kepala Desa yang sukses membuatku merinding se-body-badan, namanya Pak Acung. Namanya unik, ya? Pria banget. Acung. Sempat ingin kubertanya kenapa namanya Acung, aku jadi segan bin worry. Tidak sopan. Toh, dia lelaki. Wajar NGACUNG. Eh, apa, sih? Ini kan cerita horror, bukan bo to kep. Ngacungnya digedein pula! Alamak!
Btw, balik lagi ke cerita kuntilanak. Siap-siap, ya? Jangan sampai NGACUNG, eh, berak dalam celana.
Kampung ini namanya Talu-talu. Namnya juga khas, Talu-talu. Seperti gendang yang dipukul, suaranya bertalu-talu.
"Kenapa dinamakan desa Talu-talu, Pak?" tanyaku begitu pertama kali datang dan singgah ke rumah Pak Acung, sebelum aku di-drop ke rumah kosong milik Nyai Romlah.
Pak Acung memiliki kumis tebal mirip Mas Adam-nya Mbak Inul. Kulitnya hitam dimakan matahari. Tubuhnya jangkung dan kurker. Sorot matanya, tajam dan membuat siapa yang memandang bergetar sebadan-se-body.
"Entahlah, sudah dari zaman itik menyangka dirinya ayam, kampung ini bernama Talu-talu. Masih untung namanya itu, coba bayangkan kalau namanya Bulu-bulu, atau Bolo-bolo? Apa enggak marah Tina Toon, nanti?"
Aku hanya bisa memutar biji mataku. Ya sudahlah, Pak. Pelit amat ngasih tahu. "Btw, tolong antarkan saya ke rumah yang katanya serem bin menakutkan itu, Pak. Saya sudah tidak sabar bin tabah pengen ke sana."
"Kuylah!"
Kami segera ngacung dan keluar dari rumah. Namun, Pak Acung menceritakan cerita yang kuceritakan ke kalian sebelumnya di dalam perjalanan, ketika senja merekah menjemput malam. Aura mistik dan kabut tipis membayangi langkah kami menuju rumah Nyai Romlah bin Rarashati.
Rumah itu lumayan terpencil dari rumah-rumah lainnya. Laiknya film horor, sebuah kisah misteri pasti berasal dari rumah-rumah tua dan angker. Menurut informasi dari Kang Gendang, eh, Pak Acung, kejadian Rarashati is dead itu terjadi lima puluh tahun yang silam. Udah lama banget, Cuy! Setengah abad dan itu seusia dengan Pak Acung. W-o-w! Wow!
"Ini rumahnya!"
Di depanku berdiri rapuh sebuah rumah yang telah ditumbuhi akar-akar dan semak-semak belukar. Tidak terlalu jelas, tapi cahaya purnama masih mampu menerangi rumah tersebut.
"Tidak pernah dihuni, Pak?"
Pak Acung menahan napas. Wajahnya tegang. "Cuma di luarnya saja yang tidak bisa dibersihkan. Di dalamnya masih rapi dan bisa ditinggali."
Aku mengernyit heran, "Kok bisa, Pak?"
"Iya, tidak ada yang berani menebas belukar yang menutupi dinding dan atap rumah. Siapa saja yang melakukan itu, bisa jatuh sakit lalu mati dengan tubuh seperti disayat-sayat. Pokoknya, ngeri banget."
Kupandangi rumah tua tersebut dengan takjub.