Aku memutuskan tidak jadi pingsan. Kalau aku pingsan, ngapain capek-capek dan jauh-jauh datang ke kampung misteri ini? Enggak worth it banget, deh, pakai acara pingsan segala. Aku cukup lambaikan tangan ke kamera maka tim Uka-uka akan datang menjemput. Sayangnya, itu hanya khayalanku saja. Aku ke sini sendiri, tanpa crew.
Kubelalakkan mata segede jengkol menatap sosok yang berdiri di depan pintu rumah tua. Walau samar-samar yang jelas itu terlihat seperti sosok seorang perempuan sedang menyusui bayi.
Menguatkan tekad yang membara di dalam celana, eh, jiwa aku memantapkan hati mendekati sosok tersebut, kali aja bisa diajak ngobrol baik-baik, terus dia mau nyusuin aku, astaga! Ha ha ha! Ha ha ha! Astaga! Aku mikir apa, sih? Bisa-bisanya aku mikir. Emang aku punya otak? Ha ha ha. Kok aku tertawa, sih? Hahaha.
Apa, sih!?
Selangkah, dua langkah masih dengan kemantapan hati. Namun, kian dekat kok jantung ini serasa makin cepat aja denyutnya. Membuatku keringat dingin. Kuseka peluh yang menggelitik ketiak. Duh, asem banget, sumpah! Karena aku belum mandi. Mandi hanya pagi menjelang berangkat ke sini. Sekarang sudah pukul sembilan malam, tentu saja tubuhku memancarkan aura dan wewangian neraka.
Semakin dekat, itu sosok, kok, diam-diam bae? Ngopi, woy! Ngopiii!
Namun, kediamannya itulah yang membuatku makin penasaran. Diam bukankah artinya emas? Kali aja dia sedang mengeluarkan emas. Hihihi.