"Pah, bagaimana ini, Chyangyan semakin ... Tak bisa terkendali. Chyangyin tak mau makan, diam mematung tak mau ada respon untuk menjawab pertanyaan, Ibu. Pah, carilah pengobatan untuk Chyangyin bila perlu cari yang mau menjadi psikolog untuk mau datang ke rumah ini." Ucap perintah Ibu Meiyin dengan menggenggam tangan suaminya untuk mau mencarikanya.
Brak!
"Iya nanti a ... ?" ucapan suaminya terpotong karena mendengar kegaduhan di dalam kamar Chyangyin.
"Ayo cepat periksa kamar Chyangyin, Pah? Aku takut terjadi sesuatu dengannya?"
Ibu dan ayahnya Chyangyin berlari mendengar suara seperti benda terjatuh. Sayang, kamar Chyangyin kosong tak ada siapa-siapa.
Dimanakah Chyangyin berada? Lalu suara apakah itu tadi?
Kluntang!
"Pergi! Pergi dari sini atau aku akan membunuhmu satu persatu. Jangan sentuh aku!" teriak Chyanyin dengan menodongkan pisau yang bisa saja menghunus ke badan orang tuannya.
"Chyangyin, sadar Nak. Ini Ibu dan Ayah, Nak. Tenangkan diri kamu ya?" lirih Ibu Meiyin dengan menenangkan Chyangyin.
Ayah Chyangyin mendekati secara perlahan, lalu mencengkram tangan Chyangyin dan mengambil pisaunya, lalu ia buang. Untung saja Chyangyin belum melukai dirinya sendiri. Chyangyin sedang dirasuki halusinasinya sendiri.
Mereka bertiga menangis dalam pelukan. Chyangyin masih terus berhalusinasi sampaai mendalam. Jalan satu-satunya Ibu Meiyin memanggil dokter ahli psikologi.
********************
Keesokan harinya ....
Ibu Meiyin kedatangan dokter psikolog. Ia bernama Dokter Devita Sari lulusan dari Jerman.
"Di mana Chyangyin, Bu?" tanya Dokter Devita berasal dari Indonesia.
"Ada Dok, Chyangyin di dalam kamar. Ia tak keluar dari kamarnya semenjak kita pindah ke Negeri ini." Jelas ibu Meiyin dengan diiringi tangisan yang begitu pilu.
Dokter Devita seperti sudah faham sehingga ia cuma mengangguk-angguka kepalanya saja. Dokter Devita di antarkan ke kamar Chyangyin.
"Itu Chyangyin Dok," tunjuk Ibu Meiyin.
Ibu Meiyin mencari dokter psikolog yang wanita. Karena jika lelaki Chyangyin akan berbuat nekad dan membahayakan nyawanya.
Dokter Devita memberi isyarat kepada kedua orang tuanya Chyangyin. Agar mereka meninggalkan dokter Devita dan Chyangyin saja. Devita mendekati Chyangyin secara perlahan lalu ia sebisa mungkin untuk menghadapinya dengan santai dan ceria.
"Hai ... ? Sendirian aja nih, aku temanin ya?" tanya dokter Devita menyapanya dengan ramah.
"Oh iya, siang ini panas sekali ya. Gimana kalau kita jalan-jalan keluar rumah? Pasti bikin kita adem, deh."
Dokter Devita sudah bicara dan menanyakan berbagai cara, tetapi Chyangyin tetap saja masih membisu. Ia hanya mengangguk dan menatapnya saja.
Tiba-tiba Chyangyin mual-mual saat dirinya mencium aroma masakan. Lalu ia berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan seisi makanan yang berada di dalam perutnya. Dokter Devita membantu memijat tengkuk lehernya Chyangyin agar ia tidak muntah terus menerus.
'Apakah Chyangyin hamil? Dari segi fisik Chyangyin ia terlihat seperti sedang mengandung.' Batin Dokter Devita dengan terus memijit tengkuk lehernya Chyangyin.
Chyangyin sudah selesai muntah lalu ia membasuh mukanya dan menggosok gigi." Aku mau buang air kecil, apakah harus dijaga juga di sini?" ucap datar Chyangyin. Dokter Devita melangkah keluar karena ia merasa bersalah.
************
"Bu, Pak bolehkah kita bicara di sini?" tanya Dokter Devita dengan clingak clinguk. Ia tidak mau bila pasiennya yang ia tangani mengetahui bila dirinya sedang mengandung.
"Begini, tadi aku sudah mengajaknya Chyangyin mengobrol. Tetapi, setelah aku cermati Chyangyin sepertinya ... Sedang mengandung."
Ucapan Dokter Devita seperti menampar hatinya kedua orang tuanya Chyangyin. Ia terkejut bahwa anak tunggal mereka yang menjadi korban pemerkosaan. Berakhir dengan meninggalkan benih di dalam rahimnya Chyangyin. Mengandung benih yang tercecer tanpa ayah.
Lalu apakah kehadiran anak di dalam rahimnya Chyangyin membuat mereka bahagia dan menerima kehadirannya nanti?
"Apa ... !" Ibu Meiyin terkejut dan rahangnya mengeras.
Ayah Chyangyin yang bernama Herman Susanto. Ia memeluk istrinya kedalam pelukannya. Keluarga yang sedang terlibat ujian yang mungkin ia harus jalani dengan keikhlasannya. Pak Herman ikut menangis meratapi nasib malang anaknya yang sedang hamil.
Chyangyin belum mengetahui bila dirinya sedang hamil. Yang ia tau hanya masuk angin biasa. Rahasia ini mungkin lama-kelamaan Chyangyin akan tau dengan seiring bergilir berjalannya waktu.
********