Tanpa sanak saudara, kami bertahan di kampung ini. Hidup bersama, menikah begitu saja tanpa aral. Sama-sama sebatang kara itu tak menyenangkan. Apalagi jika tak tahu betul dimana asal usulnya. Adalah hal yang lengkara memang dua orang sebatang kara bersatu, lalu ramai hidupnya dengan cinta di gubuk warisan. Seakan takdir memang mempertemukan kami yang saling mengenal sejak kecil. Menikah masih remaja, tak perlu cari pacar seperti kebanyakan orang. Budaya di kampung melazimkan pernikahan usia 17 tahunku, dan 15 tahunnya. Dunia serasa hanya selebar bingkai foto. Seperti bingkai di dinding, hanya ada aku, Pakde dan Gita. Foto yang dipajang setahun sebelum kami menikah, atau ketika Pakde masih sehat dulu. Pakde sekarat, saat menjadi waliku. Sedangkan wali nikah Gita kala itu diwakilkan Pak Mudin. Aku masih ingat, mahar seperangkat alat salat untuknya yang kini telah usang, lapuk dan tak dipakai lagi.
Terakhir yang hidup dari keturunan buyut memang hanya Pakde dan aku. Kata mendiang buyut- yang serumah dengan Pakde dulu- kami berasal dari Lamongan. Keluarga pindah ke kampung ini, jauh bermil-mil dari Lamongan lantaran perebutan warisan, dan buyut perempuanku mengalah. Buyut tak dianggap. Pakdelah satu-satunya cucu buyut yang mau menemani buyut tinggal di kampung ini. Pakde tak menikah, tapi ia menikahkanku dengan Gita. Gita, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Bahkan ia tak pernah tahu bagaimana rupa orang tuanya. Pakde bilang dia kabur dari yayasan panti asuhan. Gita memang senang ambil risiko, nekat dalam banyak hal. Kenekatannya tampak dalam perjalanannya yang jauh bermil-mil dari panti asuhan luar kota itu. Datang ke kota ini, di Dusun Pelita ini. Anak jadah katanya, menurut penuturan Gita sendiri. Kerap dirundung teman sendiri, termasuk teman sekamarnya. Ketika menjadi istriku, kata pertama yang diucapkannya adalah terimakasih. Alasannya karena diriku dianggap telah memuliakannya menjadi wanita seutuhnya. Wanita tanpa embel-embel anak jadah. Gita berjanji akan menjadi istri yang salihah.
***
Usai menikah, aku diamanahi menjadi guru ngaji di musala. Musala itu awalnya kumuh. Guru ngajiku yang bijak bestari, bekerja sama dengan orang-orang kampung, memperluas petaknya. Mengganti jendela kayu dengan jendela kaca. Adalah keajabian dari kegotong royongan orang-orang kampung. Musala itu jadi lebih megah dari sebelumnya. Lantainya keramik. Pucuk gentengnya diimbuhi kubah. Kubah perak bertengger di atas atap, bersandingan dengan toa yang saling memunggungi yang dipasang di bagian selatan dan utara kubahnya. Lampu-lampu di plafon memeriahkan suasana. Menggantikan suasana temaram lampu warna kuning lima watt, terganti lampu-lampu neon. Gita kian bangga kepadaku, usai mendapatkan amanah. Mendapat kedudukan terhormat di mata masyarakat. Bulan madu dimulai lagi, seolah baru saja memperbarui akad nikah. Gita dan aku ganas dalam bercumbu. Tanpa mengenal waktu, kecuali jam-jam mendekati Magrib karena waktunya mengajar.
***
Aku dan Gita merindukan buah hati yang tak cuma satu. Dua tahun usia putra kami, mulai terbesit untuk tambah anak lagi. Sayangnya, Tuhan hanya amanahi kami satu buah hati. Kami tetap bersyukur akan hal itu. Namanya Givesa, Givesa bin Suyanto.