Tsunami meluluhlantakkan seluruh bangunan yang dilaluinya. Aku berhasil memanjat pohon kelapa hingga ke pucuk. Sejauh mata memandang, puing-puing rumah terhanyut bersama tumpukan sampah. Puing-puing dan sampah itu ada yang menyangkut di pohon kelapa, tepat di bawahku. Derasnya air asin nan keruh itu menggilas maju, terus ke utara menggusur rumah-rumah dan bangunan lain. Tiada seorangpun yang kulihat turut memanjat kelapa. Tiada yang selamat termasuk anak dan istriku. Awan hitam memperparah keadaan, suara guntur menggelegar, petirnya menyambar-nyambar segala arah. Hujan deras mulai turun. Peganganku melicin diguyur derasnya, meski berusaha memegang erat pohonnya perlahan tubuh merosot. Petir terus sambar menyambar dan kian mendekat sambarannya. Menyambar pohon-pohon tinggi tuju pohon kelapa ini. Seakan salah satu petir berencana sembunyi, dan hendak mencambuk diriku semaunya. Jika aku merosot lantaran pegangan melicin maka aku tak akan selamat dari tenggelam dalam arus tsunami. Namun, belum tentu selamat dari sambaran yang menghanguskan. Mana yang kupilih? Jatuh terombang-ambing derasnya arus, kedinginan di pohon atau gosong tersambar. Sungguh, aku ketakutan. Tiada daya dan upaya yang lebih selain memejamkan mata, mengamini keputusasaan.
***
Aku mimpi buruk lagi. Terbangun nyaris jam tiga dini hari. Mencoba tidur kembali dengan posisi tidur yang diubah. Berupaya terlelap dengan bunga tidur baru, sembari melihat istri yang masih terlelap di sampingku. Mata dicoba tertutup sungguh-sungguh. Ketika mendengar tarhim, tidur yang tak terlalu lelap tiga jam lalu kini harus bangun lagi. Aku pilih beranjak. Memilih untuk mengumandangkan azan di musala, mengesampingkan kepentingan pribadi untuk tidur nyenyak. Orang-orang telah mempercayakan sepenuhnya kemakmuran musala terhadapku. Maka aku harus fokus. Meskipun tak ingin memikirkan, tetap saja hati gamang. Usai mimpi buruk yang sama, berulang. Lagi dan lagi, saban hari. Saat takbir pertama dalam azan, untunglah pikiran kembali tenang. Namun ketika kalimat tahlil berakhir, hendak salat sunah, pikiran semrawut kembali. Terbayang-bayang Tsunami dan porak-porandanya kampung. Rupanya akalku mulai kacau. Tak mungkin aku bisa mengimami salat. Kutunggu yang paling sepuh dan kuat jiwanya, yakni Pak Somad sebagai imam. Usai ikamah, kupersilakan Pak Somad memimpin jamaah. Dalam salat, otakku tak mampu berkonsentrasi untuk mengingat Allah. Tiada satu pun bacaan yang bisa kuterjemahkan. Apalagi sampai meresapi artinya. Semua di awang-awang. Memejamkan mata malah teringat genangan. Aku sadari, kekacauan pikiranku ini tak lain adalah ulahku juga ulah istri sendiri. Gita nekat pinjam dan pinjam lagi tanpa tahu pasti kapan bisa terbayarkan. Ya, demi mengurangi kecemasan batin, baiknya pagi ini kusampaikan saja baik-baik kepada keluargaku soal utang dan kecemasanku. Kataku, dalam batin. Gita yang dulu gemar menggugu wejangan suami, semoga kini masih bisa kujumpai.
***
“Tanpa utang, kita bisa dapat dana darimana? TV, laptop anakmu, kulkas, keramik rumah, genteng. Mesin cuci. Biaya listrik. Kalau menunggu gajimu, itu mustahil bisa kausulap jadi ada segala halnya. Sudahlah, Pak! Tuhan tak akan murka lantaran kita memilih gaya hidup seperti ini. Lagipula, bapak jarang menerima kerjaan kuli bangunan di luar kota. Coba saja jadi kuli. Pasti jadi banyak pemasukan. Pasti akan mengurangi lubang utang.”
“Kalau kerja kuli di daerah sini saja, aku tak keberatan Bu. Namun kalau sampai kerja di luar kota, mengajinya anak-anak di musala bagaimana Bu? Musala itu didirikan didasari gotong royong warga. Pertanda warga semakin percaya kepada suamimu ini, untuk mengajari anak-anak mereka. Kalau sering ditinggal kerja jadi kuli di luar kota, mereka bagaimana nasibnya? Nanti kita dianggap tak tahu terimakasih."
"Ingat tak, bagaimana nikmatnya sarapan pagi semasa Givesa masih kecil. Kurang enak apa hidup kita dulu. Sebelum punya utang menumpuk seperti sekarang ini. Selain gaji pokok guru ngaji dan kerja serabutan, belum lagi tunjangan seperti beras dan token listrik. Penghasilan bapak cukup bahkan bisa ditabung. Jaya sebetulnya hidup kita di masa lalu."
"Dengan fasilitas dari warga yang begitu dermawan, amat sayang tergantikan kerja jadi kuli. Kalau memilih kerja di luar kota, masak mau meninggalkan mereka? Bisa-bisa guru ngajinya, nanti diganti oleh orang lain. Penghasilan tetap hilang, dicabutnya subsidi token listrik. Kiriman beras hilang. Mau yang seperti itu?”
“Kan ada Pak Somad yang mengajar ngaji?”
“Beliau sudah sepuh, Gita. Amat jarang bisa bantu mengajar. Belum lagi sering ada tamu di rumahnya.”
“Ya sudah, begini saja. Givesa,” sapa istriku yang meladeni debatku dengan berdiri dari kursinya. “Ibu ingin tahu pendapatmu. Kau hendak memihak siapa? Kalau dirimu mematuhi ayahmu, untuk bersabar punya laptop, sepeda motor dan sebagainya, sampai kuliah nanti, kau tak akan bisa punya sepeda motor. Jelas tak punya, lah tengok gaji ayahmu yang cuma segitu. Padahal dirimu akan kuliah dua atau tiga bulan lagi. Kau butuh transportasi yang lebih cepat daripada sepeda kayuh. Betul tak?”
Putraku yang hampir lulus SMA beberapa minggu lagi ini, mengangguk di depanku. Menyetujui pemikiran ibunya pagi ini. Kalau mereka tahu, mereka mungkin akan bersimpati akan diriku yang sering bermimpi Tsunami. Padahal aku ingin menjelaskan betapa dahsyatnya dosa riba. Betapa dahsyatnya mimpi buruk yang kualami. Rasanya aku telah melemah mental lantaran mimpi itu. Riba, apakah mereka tak takut hari perhitungan di akhirat. Darimana harta yang didapat? Terpaksa kusampaikan, “Aku juga mengalami mimpi buruk, Bu. Dengarlah, Nak. Mimpi ini amat mengganggu.”
“Tak usah cerita mimpi-mimpi buruk. Tak elok. Itu hanya bisikan setan. Givesa, kau tak usah dangar!” Pinta Gita yang makin naik pitam dalam tegaknya. Ia masih berdiri, mengawasiku yang hendak memberi wejangan kepada tunggal belengku. Lantas ia melanjutkan sanggahannya, “Riba atau bukan, itu bukan perkara yang janggal dilakukan orang-orang sekeliling kita. Lihatlah rumah sebelah. Lalu dengarkanlah pendapat mereka. Tengoklah kesejahteraan tetangga kanan-kiri, yang memiliki pikiran yang sama denganku. Mereka tercukupi segala hal. Utang seperti ini sudah umum Pak. Apakah mereka dengan riba yang kau sebut, ditimpa bencana? Tidak. Apakah mereka menjerit-jerit? Tidak. Anakmu butuh uang muka, buat beli motor Pak. Demi kemudahan kuliahnya. Kalau setahuku, kata ustaz, kredit di dealer itu bukan tergolong riba. Denda keterlambatannya yang termasuk riba."
Gita istriku, entah sejak kapan dirimu berubah. Menjadi galak bak singa betina. Tak mau duduk sama rata dengan kami. Bersantai sembari menikmati kopi bersama di ruang tamu ini. Kening ini kupijat-pijat. Kopi buatanmu masih tak cukup mengurangi pening. Lantaran menyesapnya sudah tak lagi berkawan dengan isapan rokok. Hal yang membuatku gelap mata dalam mengambil keputusan berutang adalah emosi tak tega. Tak tega lantaran mendengar kurang sejahteranya Gita dan Givesa di bahteraku. Kulihat wajah tertunduk putra tunggal beleng di depanku ini, makinlah hati menjadi iba untuk mendebat soal motor. Sementara ibunya, ia bersidekap, tetap berdiri untuk mendebat kalimat-kalimat lain yang akan kulontar.
***
Terus terang, aku sudah merasa cukup dengan upah guru ngaji. Subsidi token dan beras. Apalagi istri punya gaji sendiri dengan menjual gorengan. Dulu, sebelum aku memutuskan istri boleh meminjam pertama kalinya, serasa pasak kami masih lebih kecil daripada tiangnya. Namun sekarang keadaan semakin rumit. Pendapatan kami berdua walaupun dipadu, nyaris tak tersisa. Sama sekali lingkap tanpa sempat ditabung. Aku tak lagi mampu membeli rokok. Sudah lama itu terjadi. Padahal rokok itu penenang pening. Otomatis saja diriku berhenti jadi ahli isap. Kecut bibir, bila tak mengapit batang rokok usai makan. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Givesa sendiri lebih senang aku tak merokok di depannya. Setidaknya anak kesayanganku ini, tak pernah coba-coba mengisap rokok. Bila telah jadi candu, hidupnya tak akan nikmat tanpa isapan tembakau. Aku tahu diri, bila memaksa merokok maka lubang utang akan melebar. Bahkan membuka cabang lubang utang lain.
***