Terngiang pidato lepas pisah kepala sekolah yang menggetarkan, ketika melamun di bus ini. Kami berangkat pagi-pagi demi mengantar ibu, ke tempat pembinaan tenaga kerja luar negeri. Melamun ini adalah alternatif pelarian, mengisi kebosanan dari ratap pilu saban waktu. Selama aku di perjalanan bersama bapak dan ibu, kilasan kejadian lepas pisah itu menarik untuk diputar kembali. Tentang janturan kepala sekolah, mengungkit jasa Lee Kwan Yew terhadap Negeri Singapura. Pemimpin yang paling berpengaruh versi negeri itu dari dulu hingga sekarang. Berkat jasanya, Singapura jadi malu bila ada anak mengemis harta orang tuanya. Negeri yang berhasil mendidik penerus, lantaran adanya larangan orang tua mewarisi harta terhadap anak maupun menantu. Apalagi mewarisi harta kepada cucu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak lupa asal rahimnya, tak lupa saripati pembentuknya. Larangan ini ada penyebabnya. Kepala sekolah menyampaikan, ini akibat ulah menantu dan anak tercinta yang mendapatkan warisan dari ayahnya. Sedangkan ayah yang memberi waris, didepak dari rumah. Dibiarkan gelandangan, tanpa memiliki tempat untuk pulang. Lee Kwan Yew murka. Pemimpin Singapura itu lantas memanggil mereka, memakinya hingga nyali menciut. Lee Kwan Yew mencari keberadaan ayah yang mereka telantarkan. Lantas kemudian mengubah hak waris kembali kepada si empunya mula-mula.
"Saya malu di negeri ini ada orang seperti kalian!" Bentak kepala sekolah mengejawantahkan intonasi dari kalimat tokoh Singapura itu. Terus ia berorasi, memantik bara api mudaku. Bara kawan-kawan seperjuangan pula. "Itulah kata Lee Kwan Yew. Pemimpin legendaris dari negeri seberang."
“Jika kalian telah sukses, maka ingatlah ini. Ingat pesan bapak. Kembalilah kepada orang tua kalian! Mumpung masih ada. Kumpulkan kebahagiaan mereka yang terpecah-pecah selepas kalian pergi merantau atau menimba ilmu lagi. Menyatulah dalam dekapan sayang, rangkul secara utuh kebersamaan. Kembangkan senyum mereka selama bercengkrama denganmu. Walaupun kembalimu hanya sesaat. Sebelum kalian mengepak sayap lagi, terbang dan hinggap bersama pasangan baru. Membuat sarang dan berbiak dengannya.”
"Pesan bapak yang utama: jangan jijik kepada yang membesarkanmu. Pastikan ayah-ibu kalian bila masih ada, adalah tempat terindah untuk pulang." Imbuh amanat darinya. Membuat sekujur badan terhentak. Api muda betul-betul membara, kian bulat tekadku jadi orang sukses kelak. Ingin jadi salah seorang yang memenuhi amanat kepala sekolah yang diambil dari Lee Kwan Yew itu. Ingin jadi anak yang tak menyusahkan orang tua apalagi berharap warisannya.
Kawan-kawanku yang akan tampil bersamaku, sedang punya semangat membara yang sama. Pikiran kami seirama. Wahyu Pinurbo, berorasi kembali. "Mari rekatkan amanat kepala sekolah di ingatan kita. Kita memang akan berpisah, ada yang bahkan tahunan nantinya tak bersua lagi. Tapi sukses akan mendekatkan hati kita, usai peristiwa besar band Lengkuas ini. Ayo! Tunjukkan performa terbaik kita. Obrak-abrik panggungnya dengan karya!!" Kata vokalis band kami, berapi-api. Aura sang motivator handal di band Lengkuas amat terasa mendekap semangat dan rasa percaya diri keempat anggotanya. Tentu masih lekat bekas euforia itu. Tatkala kami berjuang, demi tampil bersinar di hadapan hadirin. Penonton konser kami, tampak puas aksi panggung Lengkuas. Tak bermaksud mendaku. Namun jemari ini telah menggila. Ganas mencakar-cakar senar gitar yang menggundang riuh. Memenuhi sound system dengan lengkingan resonansi. Mengguncang panggung, hingga serasa mau roboh. Hadirin berhamburan menuju depan panggung. Mendengar lagu kesukaannya, dan berjingkat-jingkat tak terkendali kemudian. Selepas beranjak dari kursi samping orang tuanya, meliar bak burung keluar dari sangkar. Seirama musik kaula muda, mereka bergerombol. Riuh tanpa ada bedanya, mana lelaki berjas dan mana perempuan berkebaya. Dasi dan jas acak-acakan, sepatu hak tinggi ditanggalkan, semuanya melebur jadi satu. Akibat cakaran gitarku yang lihai. Meliarkan suasana perpisahan di SMA. Gegap gempita dalam dada mencuat, merobek selimut sendu yang mengungkungku. Hari-hari itu adalah hari yang cerah. Hari yang mampu menistakan tragedi di gubuk sendiri.
"Givesa, cari pohon kelapa yang tinggi," pinta bapak, membuyarkan lamunanku. Racauannya memang berjeda tapi cukup mengganggu. Untung lirih, jadi tak terdengar penumpang lain kecuali ibu. Bapak menyebalkan. Ia berhasil membuyarkan suasana gempita memutar arsip kenangan Lengkuas. Selimut sendu kembali pulih jadinya. Memburu piluku kembali, menampakkan jeritan dalam diam yang berkali-kali diteriakkan. Suara bapak tadi menghadirkan realita yang getir. Realita bahwa warasnya guru ngaji terpandang kini tercekal. Rumah tempat untuk kami pulang telah laku dijual. Amat berkebalikan dengan ekspektasi. Inginnya meniru negeri Lee Kwan Yew. Aku tak butuh warisan rumah bapak malah aku dan ibu sama-sama nekat. Kami menggantungkan hidup dari penjualan rumah bapak. Demi mengadu nasib masa depan yang tak teraba. Katanya untuk biaya awal kuliahku. Selebihnya bekal ibu merantau. Orang dewasa yang paling waras, menurutku ibu. Maka kuturuti segala hal yang bisa kulaksanakan.
"Sekarang yang penting utang harus lunas, Ves. Ibu berjanji akan membiayai kuliahmu. Selama tiga bulan kedepan, bertahanlah dirimu dari uang yang ibu bagi. Hasil jualan rumah bapakmu. Semangatlah kuliah, jangan neko-neko. Kau kudu tega mengambil keputusan. Jadilah sukses kelak, dan jadilah apapun yang kau sukai," sapa ibu di seberang bapak, usai menangkap mimik gusarku. Ia tak tahu, aku gusar hanya perihal sepele. Hanya terganggu saat memutar kenangan indah Band Lengkuas. Dari balik kaca. Ibu menatap kembali jalanan yang bergerak mundur. Memalingkan perhatiannya kembali kepada jalanan. Siap tak siap, aku harus merelakan ibuku merantau. Semoga dengan begini, utang bejibun terlunasi. Setahuku, kontrak dua tahun kerja. Namun aku tak tahu utang lunas atau belum selama dua tahun. Dengan begini aku tak tahu. Kapan ia akan kembali ke negeri ini, nantinya.
"Bu," sapaku kembali agar ia menoleh. “Aku ragu mengantar bapak ke tempat yang diinginkannya. Maksudku agar ada pertimbangan ringan yang baru dari ibu. Mungkin dengan membiarkan bapak tinggal bersamaku. Apa kubawa saja bapak ke kontrakan, Bu? Sembari aku kuliah, kurawat saja bapak di sana."
“Terserah jika itu maumu. Pikirkan juga risikonya. Kalau bapakmu kabur dari kontrakan dan bikin ulah di kampusmu, apa yang hendak kauperbuat? Itu pilihan bestari memang, berniat merawat. Namun ingatlah risiko yang paling tinggi. Saranku cuma satu. Putuskan urat ibamu. Demi kegemilangan hari esok. Dirimu kudu tega."
Selanjutnya telinga ini diisi deruman bus. Ibu terdiam, memalingkan mukanya kembali. Menyaksikan pertunjukan pohon bergerak dibalik kaca. Kembalilah otakku melamun mengisi kebosanan. Kini dalam diri, sedang perang batin antara Lee Kwan Yew dan realita yang dihadapi. Betapa malunya diri ini ketika bangkai yang kami sembunyikan tercium baunya oleh tetangga. Tak sampai seminggu aku menggantikan bapak jadi guru ngaji di musala. Tanpa dinyana, telah beredar kabar bahwa bapakku gila. Atas dasar sakit dan muak akan penderitaan inilah, ibu pilih pergi. Jauh sejauh-jauhnya. Muak dengan tetangga yang katanya akan saling membantu. Ketika ibu jatuh, semua lari dari tanggung jawab. Benar kata ibu, aku kudu tega. Alih-alih alasan mengantar bapak ke rumah sakit jiwa, kami berencana membebaskannya menyatu dengan alam. Membuangnya, tanpa tahu pasti akan dijemput kembali.
***