Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #4

Negeri Jiran


Tadi, kau meracau dalam tidur. Bergantian dengan dengkuran yang kausulut. Meskipun kukatup mata sungguh-sungguh, aku tak bisa tidur. Apalagi hati gelisah lantaran absen sekali untuk arisannya, kali kedua untuk angsuran koperasinya. Lantas kubuka saja mata, terbelalak dalam penat, biar usai kecamuk dalam kening. Kutatap lekat-lekat wuwungan. Ramai terpampang layar peristiwa, beban-beban utang pula. Juga tampilan adegan jualan gorengan tadi siang. Bukannya laba malah nelangsa. Pasak kita terlampau besar. Sedangkan akhir bulan adalah masa kita menahan lapar. Istrimu ini telah buntu. Aku akui. Ada rasa sesal lantaran tak suka menggugu arahanmu. Mementingkan ego sendiri agar bermegah-megahan. Berharap kian terpandang dengan merenovasi rumah. Lantai disulap jadi keramik, bak plastik cuian purna tugas. Terganti mesin cuci. Sementara kayuhan sepeda anakmu terganti motor. Teringat bahwa kau pernah menyampaikan, rumah ini pun tak selamanya bisa kita huni. Harta yang fana. Sewaktu-waktu semuanya yang disulap tadi bisa dibeli orang lain. Sementara itu, perihal jeritanku kini. Siapa insan yang peduli selainmu?

Selama apapun mata tak terkatup, wuwungan tak akan memberikan jawaban. Wuwungan hanya saksi bisu kesemrawutan pikiran. Saksi bahwa mata tak mengatup per detik. Bahkan lupa berkedip. Dalam keheningan, engkau kembali menyulut dengkur. Memecah riuh dalam benak. Tak lama kemudian, kau seolah mengajak bicara. Ternyata hanya meracau kembali. 

“Tsunami, Bu. Awas!” katamu tanpa penekanan intonasi. Suara datar, mata terpejam, dan berbaring lemas. Aku anggap lucu sebagai hiburan. Baru kali ini kau seheboh itu dengan mimpi Tsunami. Kepalaku sedang kelabu. Tak cuma kau saja. 

Jika kau tahu kenapa watak Givesa sekarang berubah. Akulah yang mengajaknya, mendidiknya agar tak mengindahkan arahanmu. Saat sang kepala keluarga mengaji, kuajak dirinya lari. Mencari kesibukan entah apa saja. Bila diperintah merapal istigfar, kami lalai. Kadang merapal tapi kami lakukan setengah hati. Lantaran terpaksa. Terus terang, benih-benih benci menggantikan cintaku kepadamu. Benci pada dirimu yang hanya bisa bekerja jadi guru ngaji. Kerja sampingan ada, serabutan. Namun tak tentu adanya kapan. Upah yang pasti yaitu gaji 700 ribu per bulan. Pekerjaan jadi guru merangkap petugas kebersihan musala nyaris kautolak bila tiada aku di sana. Diwaktu tawar menawar dengan tokoh masyarakat itu. Dirimu layak memilikinya. Walaupun akhir-akhir ini, gaji itu sering kami curi. Engkau berpikir bahwa kelembutanmu bisa mengubahku. Sedangkan engkau tak murka, agar kami luluh. Nihil, kami tak terenyuh. Kemarin kauberjuang serorang diri meladeni tamu-tamu penagih. Givesa kuajak pergi, demi membayar kredit motor. Entah bagaimana segala perkara kemarin, hari Senin itu tak dibesar-besarkan olehmu. Salut, tersebab stoples wadah gula tiba-tiba terisi kembali. Apa lantaran beristigfar, wadah gula itu bisa kauisi penuh?

Peristiwa di wuwungan terpampang kembali. Menuju pada adegan itu. Tadi malam, kau mendekap lututmu. Tatapan yang menyiratkan kepalamu kosong, mata yang nanar. Tak hanya itu, tetapi dirimu juga berhasil menggelar air mata yang tak henti hingga sejam lamanya, tanpa terdengar jeritannya. Aku megintip dari pintu masuk kamar. Mungkin kau berharap aku akan memelukmu. Demi menenangkan gejolak jiwa. Melayanimu melepas tekanan batin dengan bersenggama. Oh, sekali-kali tidak! Aku juga sedang nelangsa. Tak punya pikiran liar beradu liur. Kubiarkan engkau meringkuk di sana. Menangis berderai, membasahi sprei sampai tertidur. Lantas kuanggap lucu racauanmu tentang Tsunami dan gerakan lainnya, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Pada akhirnya, selang sejam dirimu mendengkur kembali. Bagai siklus tiada henti, yang tak mampu membuat mata ini terkatup, meski berulang kali kuap. Kuap yang tak kunjung memadamkan panas api was-was. Bagaimanapun, kejadian yang tertempel di wuwungan tak banyak mengundang solusi. Sampai pada gilirannya, pikiran tertarik sesuatu di wuwungan. Adegan kawan yang mengajak diriku merantau ke negeri Jiran.

*** 

Pagi buta, kaki ini menyentuh keramik lantai menuju dapur. Memasak apa saja yang tersedia di kulkas. Disela mengadon tepung pelapis gorengan. Rencananya, tak jauh beda dengan kemarin. Kucoba menjajakan gorengan lebih jauh lagi. Pulang saat terik pun tak mengapa. Asal pisang, tempe dan tahu gorengnya ludes. Setelah rampung memasak, kutengok sejenak dua kamar. Tak biasanya bapak dan anak ini kompak kesiangan. Biasanya, hanya anaknya saja yang kelesa. Ayahnya rajin ke musala demi mengumandangkan azan yang lebih indah dari kidung zikir. Kidungnya yang dilantunkan usai azan, sebelum iqamah. Musala senyap. Toa tak bergema. Kutengok dari jendela, memeriksa orang-orang. Rupanya mereka salat Subuh di musala. Namun tanpa ada yang mengumandangkan azan. Kubiarkan saja bapak dan anak sedemikian pulasnya. Aku berangkat menjajakan gorenganku. Kulihat jam, sudah seperti biasanya. Berangkat sebelum pukul enam. Sedangkan nanti, Givesa pergi sekolah untuk latihan pertunjukan perpisahannya. Aku tak khawatir, ia terlambat. Sebab ia pasti disusul kawannya. Dua minggu lebih tepatnya. Sekali lagi, tak biasanya suamiku molor hingga mentari mulai menyapa daratan. Sang suami masih mendengkur, sedangkan aku mulai beredar. Dasar pemalas. Bodoh amat. Selama menjajakan gorengan dengan agak teriak-teriak, di atas motor ini otak terus bernegosiasi. Menggelitik syaraf-syaraf agar terpantik hasrat nekat merapah Negeri Jiran. Teringat kepada ibu-ibu rumpi yang telah membahas ini sebelumnya. Siapa tahu dengan menuju desa ibu-ibu itu, aku bisa melihat mereka berkerumun kembali.

Pukul sembilan, rupanya ibu-ibu desa sebelah yang kumaksud sungguhan berkerumun. Sepertinya menanti sayur lewat, atau memang suka bergerombol. Tak menutup kemungkinan, barangkali sudi memborong gorenganku yang tersisa sedikit. Kulihat mereka laksana laskar daster. Ketika hampir tiba di laluan menuju mereka, lambaian dan senyuman sudah menyambut. Mereka memanggil nama asliku, Gita. Setibanya di hadapan mereka, sesuai nyana. Pucuk dicintai ulam tiba. Tujuh orang laskar daster ini mengindahkan tawaran gorengan. Tentu tujuan utamanya bukan sekadar membeli gorengan. Setidaknya hari ini laba, berbeda dengan kebuntungan kemarin.

“Eh, Bu Gita. Dengar-dengar katanya kemarin tertarik nih jadi TKI? Terus gimana kelanjutannya?” tanya ibu gendut. Biasa dipanggil gitu, dan ia suka. 

“Eh, iya Bu. Amat disayangkan kalau urung. Banyak temannya lho yang akan berangkat bersama ke sana. Kapan lagi ada tawaran perusahaan untuk jadi tenaga kerja yang diberangkatkan secara cuma-cuma.” Sahut ibu yang satunya lagi. Hanya saja dari gelagatnya, ibu ini sekadar jadi kompor. Berperan menghidupkan obor. Tak mungkin ia turut serta ke negeri lain. Kuterka ia tak punya nyali.

“Eh, Bu Fardan. Tahu darimana kabar itu? Ih, sok tahu. Itu bukan berangkat cuma-cuma, melainkan potong gaji. Nanti kalau sudah berangkat dan kerja telah bergaji, barulah dari gaji yang ada itu dipotong untuk cicilan. Paham?” Sanggah Bu Ceking. Aku belum berani menanyakan namanya lantaran masih kali kedua bersua. Kupanggil saja ia sesuai fisiknya.

“Memangnya siapa saja yang akan ikut Bu?” tanyaku kepada ibu ceking barusan. Tak ayal saking kompaknya, ibu lain yang menyahut. Ibu yang sepertinya keturunan tionghoa, kusebut saja cece. Itu yang berkulit kuning langsat cerah memakai daster lengan pendek dan bawahan daster cingkrang. Sedangkan kerudung menutupi rambutnya.

“Aku juga ikut kok Bu.” Kata Bu Cece ini. Sembari menunjuk teman-temannya yang akan ikut, ia lanjutkan bicaranya. “Bu Siti juga ikut. Bu Rofik. Bu Saiful yang paling ceking ini.”

“Dan paling cantik tentunya,” sahut ibu yang kusematkan ceking tadi ternyata namanya Bu Saiful. Sontak semuanya tertawa, dan cece gelak tawanya meledak paling keras. Tiga dari delapan orang yang berkumpul amat tertarik merantau sepertiku. Demi impian masing-masing, sedangkan aku tak lain dan tak bukan untuk pelunas utang. Aku beranikan diri bertanya lebih lanjut.

“Berapa lama ya Bu, proses berangkatnya?”

“Bukan begitu. Tak langsung berangkat itu Bu. Masih karantina dulu. Ada bimbingan dan pelatihannya di luar kota, selama tiga bulan paling cepat. Negeri Jiran tak hanya berbahasa melayu, tetapi juga ada pelatihan bahasa Inggris dan Cina. Itu yang dipakai sebagai percakapan sehari-hari di sana. Makanya kita dibimbing selama itu nanti, untuk belajar dasar-dasar percakapan bahasa sehari-hari di sana. Kalu sudah terampil, barulah kita diberangkatkan.”

Lihat selengkapnya