Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #5

Bangkit

Bangkit. Hidup terus berlanjut. Ini soal impian. Masih ada impian baru yang kudu disabari. Kudu diperjuangkan, agar terwujud.

Saban pagi sebelum hadirnya mentari, kubongkar arsip-arsip ingatan. Mencari yang dinamakan naskah jenaka untuk dipentaskan ulang hari ini. Kuputar musik dengan android dan speaker yang membuat jemari gatal memetik gagang sapu, di sela-sela mengibas lantai. Meliuk-liuk tubuhku. Komat-kamit mulut meniru lirik yang dinyanyikan vokalis. Mengiringi detik demi detik alunan musik yang rancak. Musik rock tepatnya. Baik ketika membuang sampah, memasak dan mencuci piring. Sekujur badan lincah bergetar, bergerak. Jemari luwes mengetuk-ngetuk udara laksana memetik dawai. Segala kegiatan inti jadi ringan dan rampung. Bersamaan dengan sang rawi yang mulai mencerahkan daratan. Itu pun masih banyak waktu senggang, sebelum berangkat kuliah. Aku sempatkan menyetrika kemeja yang hendak dipakai. Tentu yang dipikirkan olehku si Givesa yang sendirian ini, adalah bermain-main dengan alas dan setrika. Mana ada orang yang melarangku bermain-main saat menyetrika. Berandai-andai memegang setrika seolah memegang pusaka panas pahlawan super, yang bisa meluruskan hal-hal runyam di dunia. Saat waktunya mandi, di dalam kamar mandi pun berjingkat-jingkat, terangguk-angguk. Merespon alunan musik. Sembari mengguyur badan dari atas ubun-ubun. Cipratan air kemana-mana. Tiada pula yang melarang teriakan rocker parau di kamar mandi seperti itu. 

Ya, demikianlah adanya. Narasi jenaka itu ada di laci memori masa kecil. Memori kekanak-kanakan, membebaskan diri dari keruwetan masa dewasa. Tinggal membuka arsipnya, lalu mementaskannya kembali adalah kenikmatan yang hakiki. Tanpa beban. Tertuang dalam ramuan musik. Sebagai pengantar sarapan. Ramuan musik dan tarian bebas itu, menyajikan sepiring ketenangan batin. Benarlah pepatah mengatakan, orang termiskin di dunia adalah yang sendiri. Apalagi tanpa Tuhan. Sedangkan yang kaya adalah pemilik harapan, keyakinan, anak kecil, dan orang-orang tanpa utang. Kalau begitu istilahnya maka jadi anak kecil berarti aku kaya. Minimal kaya hati. Buktinya, hari-hari dibalut kesenangan. Terhiasi jenaka receh dari imajinasi sendiri yang mengadaptasi ulah masa kecil. Dimana tak lagi berutang atau memikirkannya. Utang dan pemburu jeritan yang dulunya selalu tersuguhkan sebagai lauk pengusik, saban pagi hari. Ketukan pagi biasa jadi kedoran. Belum pukul setengah tujuh sudah datang tamu-tamu keparat. "Apa yang harus dituntut selain yang patut?" tanya lintah darat yang menjebak kami. Sehingga kami menjual rumah satu-satunya waktu itu. Ya, sekali lagi. Aku pekikkan. Diri ini telah bermental kaya sekarang. Jauh-jauhlah kenangan jeritan keluarga kami yang diburu. Mental kaya tentunya bukan sok kaya dengan membeli barang-barang mewah nan elegan. Serupa orang-orang jetset atau sok jetset dari Dusun Pelita. Tetaplah pagi ini kujunjung prinsip diri. Tetap hemat dalam segala hal, kecuali air untuk konser kamar mandi. Tunggu, aku tak Serapi dan rajin begitu. Tadi hanya pencitraan. Serapi apapun kesan yang kuulas tadi, ketika berangkat akan terbentuk lagi kesemrawutan kecil benda-benda yang dibiarkan tak kembali kepada tempatnya. Kontrakan tetap ada barang berserakan.

Keluar dari pagar kontrakan, rambut telah klimis. Kemeja corak kotak-kotak hitam-putih telah rapi. Sabuk murahan, sepatu pantofel dan celana hitam adalah busana back packer yang diperlukan saat ini. Busana untuk merapah jalur ilmu ekonomi. Kampusku dekat. Sedangkan yang jauh adalah wisuda. Lantaran dekat, jalan kaki adalah langkah-langkah pagi hari yang menggembirakan. Setidaknya bagiku. Istikamah dalam ritme ini, telah membuatku nyaman dalam riang. Saban pagi. Menikmati perkuliahan hingga dua tahun terakhir ini. Berjalan, menurutku membikin segar pikiran. Kadang segarnya lestari hingga pulangnya nanti. Kadang pula penat sejenak. Penat sejenak itu kudu diredam dengan tidur siang. Suatu saat, tumpukan pengalaman dua tahun ini akan jadi arsip-arsip baru yang patut diputar kembali. Tanpa terasa sudah dua tahun telah merapah ilmu. Dua tahun kurang kemudian, aku akan wisuda. Lulus tepat waktu dan penuh harap untuk cum laude.

***

Alunan musik, jingkatan dan liukan badan akan menghirap di dalam kampus. Aku tak punya kesibukan lain selain menarik perhatian dosen dengan pertanyaan kritis di dalam kelas. Dari pertanyaan kritisku, dosen pun terpancing mengindahkannya. Begitu mudah dosen diambil hatinya untuk kujilati. Tapi teman-teman berkata bahwa trik menjilat ini cukup susah diterapkan. Sebetulnya susah-susah gampang, asal tahu menempatkan diri dalam hal ini. Bagai membalikkan koin di dua sisi, antara jenaka dan keseriusan yang realitanya memang mudah bergulir. Tak pelak trik ini berhasil mengantarkanku mendapatkan indeks prestasi diatas tiga koma empat tiap semesternya. Sewaktu SD-SMA, mana ada aku juara dan dielu-elukan sekelas atau masyarakat luas? Tak lain dan tak bukan lantaran diriku yang dulu jijik menjilati guru-guru. Adalah hal yang menyenangkan disamping menjilati dosen, adalah berkawan dengan orang-orang pandai perihal keuangan. Kawanan yang tak iri soal indeks prestasi. Bahkan mereka tak menghiraukan nilai. Mereka adalah mahasiswa yang condong untuk terjun pada bisnis-bisnis. Ada pula yang menggilai investasi. Dimana aku turut terjun bersamanya. Meskipun hasilnya tak seberapa, yang penting investasi balik modal. Balik modal artinya mendekati ciri-ciri kaya menurut sebuah teori. Yakni belajar menghasilkan. Saking tergila-gilanya aku dan kawan-kawan mengais cuan, kami terus putar otak cara menggandakan uang yang ada. Ada kawan yang menjajakan barang, aku bergabung juga jadi reseller barang dagangannya baik untuk wanita maupun pria. Entah barangnya murahan maupun harga melangit, ada saja yang melirik barang kami. Mandiri bagi kami adalah bagian dari harga diri.

Seperti yang kawan-kawanku tahu. Meskipun ibu sebetulnya tak pernah telat uang saku bulanan, aku memilih bekerja. Demi kekompakan tentang mandiri dan harga diri sekawanan itu. Oleh sebab itulah, kawanku mengerti kapan aku bisa berleha-leha untuk sekadar bercengkrama di warung kopi. Aku memilih bekerja sore, di percetakan dekat kampus. Libur kuliah atau masuk, tetaplah sore hari tempatku di sana. Pulang kuliah biasanya istirahat makan siang sejenak. Kalau penat ya tidur lalu alaram membangkitkan semangat lagi. Di waktu inilah aku membawa sepeda motor ke kantor, untuk antisipasi bila terlambat masuk atau capek saat pulang kemalaman. Sementara ke kampus, istikamah jalan kaki. Sekalian hemat bensin. Dengan bekerja, kiriman ibu jadi lebih bisa dihemat. Ditabung sebagian dan sisanya, lari ke jalur reksa dana. 

Keahlian menjilatku patut kubanggakan sendiri. Di tempat kerja pun aku piawai menjilati. Ranah kantor nyatanya tak sesulit menaklukkan hati dosen. Aku rayu bosku. Biasanya dalam sebulan kerja di percetakan, aku tak mengambil libur. Kecuali sekali di akhir bulan. Kadang pernah sebulan penuh tiada liburan. Itu terjadi ketika karyawan lain izin sakit atau cuti melahirkan bagi yang perempuan. Bos pun luluh atas tekad dan kerja keras dariku. Gaji jadi naik, plus seporsi makan malam yang dibungkuskan saban hari. Khusus untuk aku seorang. Awal aku dimanja ini, berangkat dari pertanyaan bos, kenapa aku jarang meminta libur dan pulang kampung. Kujawab saja, "Di kampung, tak ada tempat untuk pulang. Saya tak punya sanak saudara. Saya sudah menganggap, kantor ini rumah keduaku selain kontrakan. Walaupun saya di sini juga tak punya siapa-siapa. Terus terang, sejak awal, bapaklah yang saya anggap sebagai orang tua saya sendiri."

***

Mabuk dan cinta. Apa itu mabuk? Seteguk tuak pereda dahaga akan solusi. Tuak, penenang pening yang mengaduk emosi. Bukanlah seleraku. Cara melupakan perkara dengan minuman yang baunya menyengat itu. Memang diakui oleh kawan-kawan pencicip. Seteguk, bisa melelapkan malam-malam kesepian tanpa cinta. Ujung-ujungnya membuat mereka terlelap sangat hingga telat kuliahnya. Maka jadilah mereka mahasiswa baik yang lugu, tanpa tahu dimana celah bisa menjilat para dosen. Logikanya kadang kacau. Orang mabuk tendensi candu, bakal kurang jeli mengambil hati dosen-dosen aduhai yang bujang. Mungkin mereka pandai merayu, tapi di dunia akademis yang main adalah keilmuan. Candu bagiku hanya menghamburkan uang yang telah dihemat. Sedangkan hemat adalah bagian pangkal kekayaan, yang kuyakini aku kaya- bakal berwujud. Terwujud jadi orang-orang jetset pun kelak, tetaplah diri ini anti jadi pecandu.

Perihal cinta, apa yang dimaksud cinta? Asmaraloka tipu-tipu yang meracuni beberapa kawanku. Jalinan atas dasar sayang terselubung nafsu. Memikat dua sejoli yang terjebak janji-janji semu. Demi beradu lidah, diumbarlah bujuk rayu. Bertukar liur mengundang syahwat tingkat tinggi yang acap kali kudu dilepaskan sejoli di semak-semak. Bila telah bunting, tambahlah pening dan tuaknya. Paling dinyana, akhir perdebatan mesra adalah pertanggungjawaban dirinya untuk mempersunting gadis yang digauli. Terlihat sederhana memang. Dari luar cara ini tampak manis untuk mendapatkan jodoh. Namun dampaknya pada kuliah terhenti. Jadi lulusan SMA abadi kadang tanpa ambil pusing. Cinta seperti itu, bukanlah seleraku. Meskipun jilatanku mampu menyejukkan kulit-kulit terawat gadis-gadis kuliahan. Waktunya cari uang. Cinta adalah kesekian kalinya untuk diperjuangkan.

Begitulah caraku hingga kini, dalam menyeleksi segudang kawan. Menyortir pengkhianatan, tikaman, kepalsuan, panjat sosial, beradu tuak, penjilat liur, pejantan kacau pembunting lintas rahim. Juga dengan prinsip ini, tereliminasilah kawan-kawan pecinta alam. Kawan yang suka menyatu dengan alam, seperti bapak. Selanjutnya dari 20 kawan yang tersisa, pada awal semester lima terseleksi lagi menjadi tujuh. Tujuh itulah yang tak tertarik kepada tuak dan semak-semak. Menginjak akhir semester lima ini, jumlah kawanku mengerucut. Hanya ada empat kawan yang tak suka mengungkit masa lalu orang. Ketertarikan keempatnya, dimana aku yang kelima hanya berkutat cara mengeruk cuan dari berbagai lini usaha. Disinilah aku terus merasa bangkit bersama mereka. Mengubur luka lama yang tak pernah mereka ungkit. Kawan tak pernah menyinggung tentang masa durhaka meninggalkan bapak yang memanjat kelapa. Kejadian dua tahun lalu itu, berkat berkawan yang tepat, tak lagi ditelaah oleh rasa sesal. Hanya saja, selain daring dan bertemu di kampus, keempat kawanku sulit mengajakku nongkrong di warung kopi. Kecuali akhir bulan masa libur kerja sehari. Aku sempatkan janjian pukul sembilan malam, nongkrong di warung kopi ber-wifi.

Lihat selengkapnya