Awal bulan. Semester enam. Menunggu gajian ibu cair. Gajian itu akan mengucur lagi ke kantongku. Seperti yang dulu-dulu. Masih bisa ditabung, bayar kuliah, investasi. Tanpa ada firasat, kebangkitan mimpi ini dan mengarungi lautan prosesnya, akan karam. Semester enam, badai sewaktu-waktu mampu menghujam.
***
Rutinitas masih bergulir. Tak terasa sudah menginjak semester enam. Bisa dibilang, hari ini pun aku masih berkutat zona nyaman. Pagi hari terbangun dengan damai. Beranjak dari kasur, langsung menengok penjuru kontrakan. Sabetan sapu mengarah sana-sini. Larung lagi dalam alunan musik. Ditemani gagang sapu lagi. Ini masih kisah tentang tarian dan lompatan yang mengiringi irama rancak. Musik metal. Dipadu paraunya rocker dadakan di kamar mandi. Cukup lama di kamar mandi, hingga merampungkan tiga lagu. Kalau ada bapak, pastilah didamprat halus dengan dalil. Lantaran junjungan Muhammad menganjurkan pengikutnya tak bernyanyi di kamar mandi. Tak boleh pula berlama-lama di dalamnya. Kalau ada ibu, gagang sapu yang kupetik bagai gitar akan direbutnya. Lantas dipukulkan ke kepalaku. Lalu bapak akan memarahi ibu dengan dalil. Sepanjang kenangan, kemungkinan dalil yang akan disinggungnya tentang nabi yang melarang pukulan di wajah. Kecuali dalam peperangan. Bila ada mereka, setrika yang kumainkan dengan berdesis bagai mengeluarkan jurus, akan dimarahi. Bapak dan ibu soal ini akan kompak. Melarangku berandai-andai, laksana berpikir kanak-kanak. Apalagi di usia dewasa begini. Namun nyatanya, di kontrakan aku adalah seorang diri. Serba bebas dari pantauan mereka, adalah kenikmatan tersendiri. Meski kutahu, diri ini tak mampu bebas dari Sang Maha Mengawasi. Kadang terbit hidayah, kapan aku salat lagi?
Masih ada waktu, sebelum berangkat kuliah. Kugunakan senggang untuk menghubungi ibu. Telah rapi bajuku. Telah lengkap barang bawaan merapah ilmu. Diangkatnya panggilanku dan disambutnya dengan gembira. Oh, ibu. Aku rindu. Rindu pada suara notifikasi transferannya.
“Bagaimana kabarnya Nak?” tanyanya. Diawali dengan senyuman ramah yang tersiar daring.
“Baik. Alhamdulillah. Ini mau berangkat kuliah. Omong-omong, ibu tak rindu?” Rayuku.
“Tentu sebagai ibu, kepada putranya pastinya merindu.”
Basa-basi lainnya yang tak begitu penting, terucap mewarnai panggilan video selama hampir 10 menit itu. Terlihat dari kameranya, ibu memakai daster, dan sedang berada di dapur. Sementara aku pun sudah siap dengan rambut klimis, kemeja dan celana kainnya. Entah kenapa, terpintas ucapan ibu yang pernah terlontar. “Tapi tenanglah, kita lihat saja dua tahun lagi. Mungkin menginap di kontrakanmu saja bila telah kembali. Sembari membuka usaha, dan kita bangkit bersama hingga punya rumah sendiri.”
Bukankah ini sudah lebih dari dua tahun? Semester enam, berarti waktunya ibu pulang. Sedangkan kini, di Dusun Pelita ibu tak meninggalkan piutang. Memang, kiriman biaya kuliah akan hilang. Tak mengapa, asal bersua ibunda. Itu saja cukup. Sisanya, dengan tabungan seadanya digunakan untuk buka usaha.
“Bu, aku ingin bertanya sesuatu. Bukankah ibu sudah bekerja di sana lebih dari dua tahun? Atau aku salah hitung? Setahuku, kontrak kerja ibu hanya sampai dua tahun.”
Senyum ibu yang mengembang tadi langsung kempis. Wajah itu, tak asing terlihat. Sering tampak seperti itu ketika mulai murka. Mata dan mimik khas bila mendebat bapak, dan sewaktu ia memintaku membiarkan bapak menyatu dengan alam. Kalau hanya sedetik-dua detik, wajar. Namun diam dan tatapannya yang rasanya tak suka ditanya begitu, telah menembus layar. Menyapa bulu kuduk. Apa aku salah diksi?
“Givesa. Apa dirimu ingin ibu kembali pulang? Ingin ibu kembali ke negeri yang membuat ibumu menderita dengan utang? Sementara di negeri ini, ibu bisa berkecukupan.”
"Bukankah ibu telah berjanji, akan pulang mengunjungiku di sini. Di kontrakan. Kata ibu, ‘mungkin akan membuka usaha dan bangkit bersama’?”
“Negerimu juga negeriku. Sistem dan gaya hidup di negeri itu, hanya bisa memiskinkan. Janganlah terlalu naif, Nak. Memang ada angan-angan ibu untuk pulang. Dirimu sudah dewasa, mahasiswa pula. Pasti paham. Amat sulit angan-angan ibu itu diwujudkan. Sekali lagi, negeri itu cukup membuat orang-orang seperti ibu merasa termiskinkan, dari segala huru-haranya.”
Menurutku, negeri ini baik-baik saja. Tak ada desakan pemerintah akan pajak yang membuat sesak. Semua tergantung individunya, menurutku. Tergantung bagaimana menanggapi lingkungan. Namun tak sempat diriku mendebat, ibu sambung lagi bicaranya.
“Meski kita jauh, kita masih bisa saling bertatap muka dengan HP.” Ibu tersenyum simpul. Keningku mengkerut. Kaget saja dengan jawaban seperti itu. Tatapan mata itu khas, tatapan pemutus urat iba.
“Tapi Bu...”
“Sudah dulu ya, Nak. Ibu ada kepentingan. Nanti ibu transfer untuk keperluanmu.”
“Baiklah,” ucapku. Tiada pilihan lain. Memangnya enak berdebat seperti itu?
HP kumasukkan kembali ke dalam saku celana. Kulirik sepatu di dekat jendela. Lantas kupungut mereka. Sepatu pantofel yang rampung disemir sebelum mandi tadi, telah mengkilap. Serasi dengan warna celana kain. Pada kemeja rapi biru tosca yang kukenakan. Kubiarkan terjulur bagian bawahnya. Tanpa niatan akan dimasukkan ke dalam celana bersabuk.
Musik rok hanya kawan di kontrakan. Hanya serasi dengan gagang sapu dan gayung. Sementara di suasana jalanan, kuputar lagu-lagu Jepang. Berselang-seling dengan musik R&B. Pagi ini, keluar pagar dengan pelantang di telinga. Menyelempangkan tas berisi laptop. Terputar soundtrack anime. Permainan pukulan drum bertempo cepat, ganasnya petikan gitar, membuatku suka lagu Jepang. Jepang dan orang-orangnya yang tak suka terlambat. Jalanku terbiasa cepat. Meski khayalanku, ingin adanya paparazi yang memotret atau videografer. Dimana ada yang merekam, lalu memberi efek gerak lamban. Agar epik saat perjalanan ke kampus, seru laksana dunia anime. Aku memang tak suka jalan pelan Adalah ajaran bapak, agar mengikuti sunah nabi. Bila berjalan, hendaknya tegap dan berderap cepat bagai menuruni lembah. Begitu, kata bapak yang terus kujalani. Syukurlah, kontrakanku dekat. Jadi tak lelah bila menyusuri gang beraspal, sampai ke trotoar jalan raya. Lalu menyeberang, tuju gerbang kampus.
***
Tiada perubahan signifikan dalam rutinitas hidup. Sebagai anak kuliahan yang tak punya tempat untuk pulang, semuanya tampak sama. Di kelas, aku berhasil dipuji-puji dosen dan teman seangkatan. Di luar kelas, kian akrab dengan bos pemilik percetakan. Lantaran kinerja dan dedikasiku tak lagi diragukan. Sebungkus nasi makan malam, disediakan istikamah di tempat percetakan. Nasi bungkus dari bos, khusus hanya untukku. Alasan bos dan aku sama. Bila ditanya kok dikasih nasi. Tinggal bilang saja, bungkusan itu bayar sendiri. Padahal gratis. Jika yang lain mau layan antar seperti ini, bos akan memberi mereka bertiga, nomor teleponnya.
Aku masih menggugu amanat bapak. Agar sesekali mengucap syukur. Bersyukur dengan tulus, atas karunia seperti ini. Bacaan hamdalah yang diamini sekujur badan. Bukan sekadar basa-basi. Kalimat hamdalah layaknya terucap ketika ditanya kabar. Ya, segala kebutuhanku terpenuhi.
Selingan demi menepis kebosanan rutinitas ada. Hal yang membuat jemu, seperti tugas kelompok. Saat berbaurnya diriku dengan kawan-kawan yang tak begitu akrab. Bosan dengan mereka, yang membuatku jarang proaktif. Kecuali ditunjuk agar punya peran penting dalam kelompok. Selingan terbaik adalahpertemuan rutin dengan kawanan. Lima sekawan istilahnya. Kami seminggu sekali bercengkrama di kedai. Bersama Fandi, Roy, Soni gondrong- ketiganya gondrong- juga Sobri. Namun aku tak turut begadang seperti mereka. Jam 11 adalah batas maksimal. Aku pulang bersama Sobri lebih dulu. Sedangkan sewaktu liburan kerja dari percetakan, barulah aku turut begadang. Diskusi kami tak jauh beda. Topik seputar membahas anime, film, juga soal penjualan yang meningkat atau turun. Baik dagangan subscriber Fandi, maupun dagangan pemuas kesepian mahasiswa milik Roy dan Soni tak luput jadi topik utama. Barang mainan seks mereka laku keras.
***
Wajah itu muncul lagi. Wajah yang tak asing. Kini mimik itu terbit ulang. Mimik yang kumaksud ialah raut tampak murkanya ibuku. Meski terkadang dibalut senyuman tipis. Kadang bermimik datar, tanpa bibir menyungging senyum. Mata yang tajam bila mendebat bapak, telah kembali. Mata, sewaktu memintaku membiarkan bapak menyatu dengan alam. Kalau hanya sedetik-dua detik tatapan mata itu kembali, bisa dibilang wajar. Namun ini cukup lama. Diam dan tatapan tak sukanya tersiar daring melalui panggilan video. Mampu menembus layar, menyapa bulu kuduk hingga lima menit lamanya. Itulah alasannya kenapa aku tak mengungkit soal kiriman. Biarlah semester enam hidup dengan tabungan.
Segala tatanan keindahan ritme pagi hari, hingga malam ini mulai ada perubahan. Rutinitas terganggu, istikamah goyah. Ketika kiriman itu mulai tersendat barang sebulan. Pagi ini, pagi kesekian kalinya menatap duni. Adalah hari libur dari mendengar rock. Terganggu pikiran, akan transferan dari ibu, yang tak bisa diharapkan masuk ke rekeningku. Mencoba menyabet penjuru ruangan agar bersih tanpa lagu. Ketika aku melakukan panggilan telepon pagi ini, lagi-lagi perbincangan tanpa arti. Ibu tak menutup pembicaraan dengan kabar transferan. Namun mata ibu yang menyala, meredupkan keberanianku, untuk bertanya kapan akan transfer. Memang telah jadi tabiatku, untuk tak meminta kiriman. Kecuali memang dikirim. Agar menggendut isi tabungan. Namun bila diberi uang saku, tentu tak akan kutolak. Aku diam saja, tatkala senyum ibu masih tenggelam pagi ini.
“Givesa. Jaga diri baik-baik ya. Hati-hati di jalan, tetap semangat kuliahnya.” Ucap ibu pagi ini sebelum menutup panggilan video. Terucap dengan nada datar. Sedikit kecewa dibuatnya. Durasi panggilan 10 menit itu, tanpa diwarnai senyuman sekilas pun. Apakah ini berkaitan dengan salahku? Meminta ibu pulang, awal bulan lalu?