Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #7

Jeritan Kedua


Ah, sok ramah mereka. Ditepis sejenak, berkelindan lagi kemudian. Seolah menarik jahitan retisalya secara paksa. Mereka, mozaik hari-hari kelam yang kini menyapa di anasir genting. Menimbulkan andai-andai. Seandainya, seonggok sepeda motor tak pernah ada. Bila tiada, rumah yang bagai surga tetap jadi sarang kami. Andai bapak jiwanya tak sakit. Bapak akan mengajak ke musala dan mengajar bersamaku. Senyumnya ramah kepada muridnya. Namun semuanya sudah suratan. Aku mulai dasar, yang salah tetap aku. Bukan takdir bapak terbuang, membuang bapak adalah karsaku. Kini bagai terkena karma. Aku jadi orang terbuang, dari gubuk sendiri. Dari asal rahimku sendiri.

Kemolekan gitar tak lagi menggoda untuk dijamah. Meski biasanya mengiringi malam yang sepi. Terhenti segala hingar bingar dalam kontrakan. Di atas ranjang ratapan, hirap segala musik rancak dalam gawaiku. Seolah melodi gaib biola yang gesekan dawainya terdengar pilu. Mengiringi kekecewaanku pada ibu. Ya, benar. Semua bermula dari engkau, duhai ibu. Engkau pura-pura menyimak selama ini. Tentang kegemilangan kuliahku. Baru sadar pujianmu semu. Kegemilangan semu. Tentang angka indeks prestasi. Kegiranganmu mewarnai siaran daring, menanggapi girangku. Nyatanya selama ini, aku bukanlah orang yang ibu banggakan. Apalagi katamu, yang membelalakkan mata. Memekakkan telinga. Bahwa negeri ini bukan lagi tempatmu pulang.

“Ibu tak bisa pulang. Sungguh, maafkan ibumu.”

“Kenapa ibu lakukan ini kepadaku? Apa salah Givesa, Bu? Berarti benar. Sangkaan Givesa selama ini. Alasan ibu tak pernah membalas chat, atau video call bukan karena sibuk. Melainkan kau abai. Berarti, Givesa bukan lagi prioritasmu. Benar kan, Bu?”

“Kau keliru. Ibu bukannya tak pernah membalas chat, tapi jarang.”

“Itu sama saja!”

“Jangan teriak ke ibumu, durhaka nanti!”

“Lalu ibu akan mengutukku jadi kaya raya, memiliki segalanya kecuali orang tua?”

Engkau pun terdiam, bibirmj menggelayut dan bergetar. Meneteskan air mata dengan kening nyaris roboh yang kautopang telapak kiri. Menerbitkan hal yang sama di mataku ini, dan memproduksi lendir-lendir hidung. Aku ingin mengungkap semuanya. Di tengah derai air mata kita. Di suara parau yang terbata-bata, lantaran menahan isakan.

“Selama ini, Givesa tak pernah meminta uang saku. Meski butuh sekalipun. Aku tahu diri. Makanya aku bekerja. Ibu masih menanggung biaya kredit motor. Tapi, ketika kredit motor lunas, ibu juga berhenti tranfer hingga berbulan-bulan lamanya. Ada apa ini Bu? Ada apa? Apa salah Givesa.”

“Ibu pemilik kontrakan datang berkali-kali, Bu. Hendak meminta uang kontrakan. Sedangkan aku tak punya banyak uang. Tahu tak? Awalnya ia ramah, lama-lama dia mulai marah-marah Bu. Aku simpan sendiri pusingku, agar ibu tak tahu. Tapi sekarang ibu harus tahu. Aku hanya bisa cicil kontrakan bulan ini dengan gaji yang tak seberapa, Bu. Makan, entah bagaimana aku bisa makan bulan ini. Aku bingung. Belum lagi kini sudah mulai bimbingan skripsi. Entah bagaimana biaya cetak skripsi dan wisuda nanti. Apa ibu tak memikirkan? Betapa nelangsanya Givesa. Apa salah Givesa, katakan Bu! Katakan, biar aku berbenah. Biar aku minta maaf dengan tulus. Tolong, Bu.”

“Givesa tak punya salah. Ibu yang salah Nak. Kontrak kerja ibu hanya dua tahun. Telah berakhir kontraknya, bertepatan semester limamu kemarin. Kontrak kerja berakhir, usai lunas kreditan motormu. Terus terang, ibu tak punya uang untuk pulang. Ada dana pulang, tapi setelah itu? Ibu akan terlunta bersamamu.” ucapnya, di sela tangisan yang tak separah deraiku.

“Itu alasan ibu menetap di Negeri Jiran? Tak beruang untuk pulang?”

“Ibu hamil. Anak majikan ibu. Ayah tirimu.”

Amarah memanaskan ubun-ubun. Derai mata terhenti seketika. Seolah petir menyambar sekujur badan. Tersengat listrik yang mengejangkan otot-otot. Kuseka sisa-sisa menganak sungai air mata. Siapa yang tak terkejut, ibunya hamil dengan lelaki yang tak pernah disua putranya.

“Tunggu, Bu. Tunggu kuminta! Jangan matikan panggilannya seperti yang dulu-dulu. Perkara ini harus selesai sekarang. Katakan, sejujurnya. Apa ibu berzina dengan majikan? Majikan yang kau bilang amat ramah itu?!”

“Ayah tirimu tak seburuk itu. Kenapa kau berpikir begitu? Ia amat ramah. Ibu tak berbohong. Ketika dirimu KKN, ia menghalalkan ibu dengan uang panai yang cukup. Kalau kau mau, ibu bisa bantu membayar kontrakanmu dengan panai ini.”

“Ayah tiri? Ah, tak usah ibu bilang ia ayah tiri. Aku tak pernah bersua dengannya. Uang panai? Berarti ibu punya harta?"

“Ibu akan memperkenalkanmu nanti malam, sepulangnya ia kerja.”

“Tak usah. Cukup! Ini pengkhianatan terbesar bagiku. Kau anggap apa aku? Apa anak kecil yang tak perlu diajak rundingan segala hal berbau dewasa? Menikah sudah lima bulan lamanya Sekarang bunting, baru menyampaikan berita. Aku tak selugu dulu. Seharusnya kurawat bapak daripada menurutimu membuangnya. Kini aku tahu engkau biang keladi segala hal. Sang psikopat yang menjebakku untuk memutus urat iba. Padahal kau hanya ingin bahagia sendiri. Sudah, cukup! Sampai di sini saja ibu menghubungiku. Maafkan salah Givesa.”

“Nak, tunggu…”

“Aku akan buktikan! Aku bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu. Aku bisa membiayai kuliah sendiri. Biaya wisuda tanpa bantuan sekeping uangmu. Aku akan buktikan! Rumah itu kembali jadi milikku dan bapak akan tinggal bersama lagi dengan kita. Atau, jika ibu memang tak sudi pulang, bermukimlah disana selamanya! Jalani hidup baru. Utamakan yang jadi fokusmu, yang tentu bukan aku. Maksudku, dengarlah. Lupakan Givesa dalam hidupmu.”

Lihat selengkapnya