AAAAAAAAAH!!!!
Menyingkirlah! ENYAHLAH!! Masih saja wajah ibu berkelebat di pelupuk mata. Terpejam sejenak, harapan untuk dibantu ibu dalam hal ini menyergap dada. Sekali-kali tidak! Aku ingin selesaikan sendiri. Lagipula tak mungkin kuhubungi dirinya. Kontak telepon ibu telah dihapus. Aku pun tak ingat digit nomor warga +60 itu. Aku ingin tidur. Ingin tenang. Lupakan ibu, yang apa-apa selalu ditangani olehnya.
Meski diriku menjerit. Kuap bertubi-tubi, tak mampu mengistirahatkan otak. Terjerembab ke lubang was-was, tanpa tahu kapan mulainya. Aku nyaris gila rasanya. Mungkin inilah, yang dirasakan bapak. Tak mampu tidur tenang lantaran utang. Malah diri ini khawatir jadi seperti bapak. Sekalinya tidur, tidurnya kebablasan. Subuh ditinggalkan, Zuhur melayang. Asar telah bilang. Tidur yang kebablasan akibat tekanan utang, menjadikannya hilang ingatan. Ah, salat lagi yang kuingat. Kenapa harus salat? Bapak yang salat saja, jadi malah tak waras. Kalau meneladani caranya, apakah syarafku akan putus? Namun, dengan mengingat Tuhan hati menjadi tenang. Tanpa Tuhan, larinya ke tuak, seks, dan narkotika. Apa aku lari ke obat-obatan dan tuak saja? Hah, apa kata Fandi dan Sobri nanti? Pasti dirundung habis-habisan oleh Roy dan Soni. Lagipula, aku kini hidup tanpa cuan. Mana bisa menghamburkan cuan. Aku biasanya lari, menghibur dan menenangkan diri dengan memainkan senar. Menjamah kemolekan gitar. Kini gitar hilang daya tariknya untukku. Otak kian kelabu. Tak bisa jernih berpikir. Sekali lagi, aku kudu tidur. Ranjang ratapan ini masih empuk tapi hilang ampuhnya menidurkan. Apakah aku pria kesepian yang butuh mainan seks? Ah, insomnia saban waktu begini tak menyenangkan sama sekali. Pikiran jadi melantur. Apa kata Roy yang jualan mainan itu, bila kupesan mainannya dengan bon? Kalau aku paksa tidur, kira-kira apa akan kebablasan seperti bapak? Kalau iya, bagaimana nasib skripsiku?
***
Dosen pembimbingnya cantik. Salihah kelihatannya. Sedari awal bertemu, aku terlalu banyak mendaduk. Kukira wajah memelaskj itu, membuahkan simpati darinya. Tampaknya, dosen terlalu profesional. Fokus apa yang menjadi tugasnya.
Tampak dari busana muslim itu. Kerudungnya menutupi bagian dada hingga ke perut. Tubuhnya, kurang tahu apa seksi atau bagaimana. Kalau lihat riasannya, riasannya natural. Duhai, cantik sekali. Namun selisih umurku dengannya teramat jauh. Aku kembali duduk menghadapnya. Ingin menjilatinya dengan pujian agar dapat nilai bagus, tapi aku sedang kurang semangat. Mentalku terpuruk. Terjerembab was-was, diteror dan hendak diburu. Apalagi pemburu tahu dimana alamatku.
Dosen sedang memeriksa lembar demi lembar. Bab satu lewat, dua, dan juga tiga. Hanya sekilas pandang. Pada bab empat pandangannya agak lama. Kuamati, ada beberapa yang dilingkari. Cukup lama ia periksa bab yang satu ini. Sedangkan diriku sibuk mematikan panggilan telepon. Kembali fokus diriku memerhatikan dosen dan keindahan wajahnya. Ia masih terpaku di bab empat tapi penanya belum lagi melingkari kesalahan. Selang beberapa detik, teleponku berdering. Kubuka, lagi-lagi nomor tak dikenal yang muncul. Keparat! Kataku dalam hati. Penagih utang bangsat. Aku bukan bapak, yang berzikir istigfar bila ada aral. Justru serapah yang dikoarkan.
"Ada apa? Jika panggilan itu penting, silakan diangkat," ucap dosen yang masih melilau pelan kalimat-kalimat pada bab pembahasan.
"Tidak, Bu. Bukan panggilan yang penting."
"Lalu?" tanyanya, sekali lagi tanpa mendongak ke arahku.
"Terus terang, saya dihubungi terus menerus nomor tak dikenal."
"Penggemarmu?"
"Bukan, Bu. Dari pinjol."
Dosen yang jelita mendongak terkejut. Ia menatap mataku. "Apakah anda seorang yang konsumtif?"
"Bukan, Bu. Saya terdesak keadaan. Himpitan ekonomi. Biaya kontrak rumah dan kuliah. Oleh karena saya tidak bisa memenuhi, saya nekat ajukan pinjaman online."
"Maaf jika mengganggu privasi. Saya rasa saya perlu tahu, supaya proses skripsi anda berjalan lancar."
"Maaf saya tanya lagi kepada Givesa. Apakah anda bekerja, sehingga bisa pinjam di pinjol? Bagaimana dengan orang tua anda?"
"Saya hidup sebatang kara Bu. Percaya atau tidak, saya terbiasa hidup mandiri. Saya tidak punya rumah karena dijual, uangnya untuk menutupi utang keluarga. Orang tuaku telah tiada. Jadi, hasil jualan rumah dikelola sendiri. Sisanya untuk kuliah. Namun Belum lulus, saya sudah kelimpungan," dalihku. Lagi-lagi berdusta. Mendaduk iba darinya.
"Oh, jadi begitu. Saya kira anda pelaku konsumtif. Kalau begitu, saya turut prihatin. Saya setuju, jika anda mematikan teleponnya sekarang. Supaya lebih tenang, lebih fokus skripsi. Untuk skripsi anda, Ada beberapa yang perlu direvisi. Bagian-bagian yang saya lingkari, itu perlu ditinjau ulang. Setelah dibenahi, anda bisa sidang."
"Alhamdulillah, Bu. Terimakasih banyak ya Bu," ucapku sembari menimpa bendel skripsi dari dosen yang masih gadis ini.
"Bagaimana dengan teman? Anda punya kenalan?" tanya dosen menelisik.
"Ada Bu. Saya awalnya tidak ingin merepotkan mereka. Namun akhirnya mereka perlu tahu. Saya sudah memberitahu mereka kalau saya ada utang di pinjol."
"Bagaimana tanggapan mereka?"
"Jika untuk membantu saya, mereka sendiri belum bisa. Mereka juga kebingungan biaya kuliahnya sendiri."
"Berapa pinjol?"
"Terpaksa tiga pinjol."
"Oh begitu. Saya berharap, anda bisa menyelesaikan skripsi. Selesai tanggungan kuliahnya. Semoga segera lunas pinjolnya."
"Amin. Terimakasih atas doanya dan bimbingannya selama ini."
"Semangat ya," ucapnya dan sejurus kemudian mempersilakanku keluar ruangan. Aku hendak menyalaminya. Aku lupa kalau dia wanita salihah. Ia balas juluran tangan dengan menjura. Kukira ia perhatian lantaran ada rasa. Ternyata sekadar basa-basi. Sekadar mengakrabkan dosen dengan mahasiswa yang dibimbing.
***
Kesal dihubungi terus, kuangkat teleponnya. Kali ini suara perempuan. Biasanya laki-laki. Biasanya kalau perempuan, nadanya sopan. Seperti di aplikasi sebelah. Ketika diangkat, ternyata berbeda dengan ekspektasi. Penagihnya cerewet. Tak mau tahu alasanku.
"Pak Givesa, kenapa tagihan anda belum dibayarkan sampai sekarang?"