Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #9

Mangsa


Seorang wanita muda berdiri di teras ruko koperasi. Dengan sorot mata yang terlihat kosong. Menatap toko bayi di seberang jalan. Padahal sang rawi tepat menyengat di ubun-ubun. Berbaur hawa panas dari aspal jalan raya. Ruas aspal kecil tapi itu adalah jalan utama di kampung ini. Wanita muda menatap lama toko itu. Abai keringat keluar dari pori-pori. Dari kejauhan, sepertinya keringat melumasi kulit. Dipapar panas yang membakar. Menimpa lengan yang tak tertutupi kain dasternya. Wanita muda yang baru dua bulan saja lahiran. Rela dibonceng suami tuju ruas jalan utama ini. Demi masuk ruko yang dipunggunginya. Ia punya pinjaman yang kudu dilunasi. Sekeluarnya dari ruko itu, kini dirinya menanti suami datang menjemput. Entah kenapa suaminya tak menungguinya.

Di depan ruko koperasi, amat jelas terbaca rangkaian aksara bila dipandang. Nama dari toko bayi itu. Seolah mata wanita itu, sedang merapah penjuru toko. Memilah mana yang dibutuhkan oleh bayinya yang berusia dua bulan. Ia ingin yang terbaik untuk disandangkan. Agar tampak terawat bila tiba masanya bayi bepergian jauh nanti. Tuju seberang pulau.

Aku ingin merampungkan seruputan es jeruk ini. Benak membesit, ingin ke tempat wanita muda berdiri. Hendak membantu wanita muda itu. Menyeberangkan, memapahnya tuju toko bayi. Itupun bila ia berkenan. Setelah sepeda motor dari arah berlawanan menyeberang dan terhenti di hadapannya, kembali diriku tertanam di kursi plastik warung. Rupanya kehadiran suami mengisi tatapan kosongnya, mengembalikan senyumnya.

Bagiku, dari jauh saja sudah kentara. Perawakan mereka mudah diterka. Baik suami dan wanita muda, tak asing di mata. Tak lama mengamati dan tak salah lagi terkaan. Itu memang engkau. Meski kuamati dari kejauhan, sembari meminum es di warung tenda ini, itu kau. Engkaulah sang wanita muda itu. Sang mangsa terbaik, yang menggemukkan isi dompetku.

Kau tahu? Aku tadi ingin membantumu. Merapah toko bayi itu. Sungguh, amat tulus mengulurkan tanganku. Agar engkau memilah barang-barang yang perlu. Kupinjami uang, jika kau rampung belanja tapi kurang dana. Agar bayimu pergi dengan tenang ke pulau seberang. Bayi yang keluar dari rahim sendiri dua bulan lalu. Bayi yang akan melesat jauh meninggalkanmu. Bisa jadi, bayimu merantau untuk selamanya. Engkau terpaksa melakukannya. Bersama suamimu dan dengan sadar, merelakan sang bayi usia dua bulan pergi menemui ibu barunya. 

***

Aku tahu dan bukannya sok tahu. Bagaimana rincian cerita pilu di balik tirai rumahmu. Sekali lagi menegaskan menegaskan bahwa aku bukan sok tahu, melainkan ini memang kegemaranku. Hobiku menggali informasi tentang engkau. Lagipula kau itu tetangga seberang kontrakan. Amat mudah mengorek informasi. Kau sudah tahu sendiri. Bagiku dan pemburu jeritan lainnya. Engkau adalah mangsa. Tak mungkin kubiarkan lolos info sehari pun. Bahkan rela begadang demi mendengar jeritan dari dera cobaan. Jujur saja urat iba ini telah putus. Semenjak aku mengaku tak punya orang tua kepada dosen cantik di perkuliahan. Kepada kenalan-kenalan baru. Sementara kau juga tahu borokku. Givesa yang mulanya tinggal di kampung sebelah. Ketika bapak berkelana entah kemana rimbanya dan ibu melupa pertiwi, kau pun tahu. Ssssstt!!! Ini rahasia umum. Rahasia kelam di antara kita, yang sengaja saling bungkam. Bila kau berani merundungku, bahwa aku bak yatim piatu maka lihat saja nanti. Aku bisa membalas dengan diksi yang lebih pahit. Kau tega buang bayi. Bayi yang akan diterbangkan burung besi, tak lama lagi. Jadi jangan coba-coba mencibirku, sebab kartu as ada di tanganku. Dengan inilah diriku tega menyaksikan kesengsaraan orang lain, pula tentangmu. Sukarela mendengarkan gibah borok-borok itu. Senang tersenyum akan cibiran kebiadabanmu, yang berani menjual bayi.

Tak ingatkah kau? Engkaulah yang mengerang di rumah sakit. Bayimu bahkan keluar dengan lambat. Taruhannya nyawa. Mengerangmu hingga jalan rahim bukaan kedelapan. Apa ia seonggok daging tak berharga bagimu? Padahal kau sedari pagi mengeran. Rintihan bertubi-tubi hingga pukul 10 malam. Jarum infus menusuk lengan. Saking sakitnya yang dirasa hingga si empunya rahim menangis. Terengah-engah, lalu nyaris mati.

"OUWWWEEE…" Tangis bayi disapa oleh dinginnya dunia manusia yang kejam. Bahagialah sejenak dirimu mendengarkan tangisannya. Kau hebat. Berhasil mengeluarkan pelita yang menghangatkan relung hatimu. Merobek tirai gelap keputus asaan, bersinarlah harapan.

Aku yang mengantar suamimu bolak-balik rumah dan klinik tujuh kali hari itu. Aku pun turut senang mendengarkan cerita darinya. Peristiwa menegangkan, antar meregang nyawa atau menang dalam mengejan. Suamimu itu sampai sujud syukur. Katanya agak lama. Bangkitnya dari sujud, ia cepat-cepat mengazani telinga bayi. Bayimu yang belum bernama malam itu. Sekarang kau bisa dipanggil Ibu Gagah.

Aku bangga. Suamimu juga bangga. Bangga sekali, bisa tawaf tujuh kali klinik dan rumah. Bangga dengan pelita yang akhirnya lahir dengan selamat. Aku bangga lantaran tulus membantumu. Tanpa pamrih mampu memberikan pinjaman yang bunganya menguntungkanku. Pun tak memberatkan keluargamu. Sang bayi dibolehkan pulang, setelah bernama. Selepas melunasi biaya bersalin.

Ya, mau bagat lagi. Aku sempat sarankan jauh-jauh hari. Agar kau atau suami mengunjungi dinas sosial. Bahkan secara rahasia, sudi kuantar. Aku pandai menyembunyikan rahasia. Sehingga bersalin, tak perlu banyak pengelu. Terlalu banyak berutang. Lagi dan lagi, pada akhirnya. Sebetulnya, surat dari dinas sosial bisa membantu biaya bersalin gratis, atau hanya membayar sejumlah biaya tak seberapa nantinya. Segala saran-saran dariku itu tampaknya gagal tersaring di telinga. Saran malah menjadi endapan kotoran. Telingamu, tertutup gengsi. Gengsinya engkau, bila memakai surat keterangan miskin. Duhai, bahaklah jadinya menanggapi nasib jenaka bayimu itu. Si Gagah masih fitrahnya dalam buaian. Si Gagah akhirnya dibuang. Tangisannya akan hirap dari bantal guling barunya, tak lama lagi. Setahuku, memang status sosial yang membuatmu gengsi. Gengsi pada rumah yang paling megah sendiri di deretannya. Mencolok warnanya, keramik mahal lantainya, pun diapit rumah-rumah yang desainnya sederhana. Gengsi pada motor gede nan molek yang terpakrir di halaman saban hari. Meskipun tiada niatan mengendarainya, kalian parkir di halaman. Berjam-jam. Sedangkan kalian bercengkrama dengan tamu-tamu di depan kursi teras. Adalah kemolekan sepeda motor itu, yang memberitahu masyarakat bahwa engkau tergolong orang-orang jetset. Kaya sekaya-kayanya.

Sekarang, setelah susah payah anak itu dikeluarkan dari rahimmu. Menangis demi merasakan dekapan dan air susu ibunya, si Gagah sedang bersiap meninggalkanmu. Jauh, rantauan bayi paling jauh. Merapah tanah antah berantah baginya. Tanpa dekapan ibu kandungnya di sana. Bahkan ia hanya akan tahu, atau bahkan tak diberi tahu siapa ibu aslinya. Ia akan jadi lelaki gagah yang hormat pada ibu asuh. Sebulan dua bulan ini, dinikmatinya buaian ayah ibu kandungnya sendiri. Betapa kejamnya engkau. Hanya lantaran uang dan utang. Rela melepas si Gagah. Engkau yang hamil, tapi kaupula yang melepaskannya ke tanah antah berantah selamanya.

Bukankah suamimu sujud lama lantaran pelita lahir dengan selamat? Atau suamimu selaras pikirannya, bahwa si Gagah itu aset pembebas utang? Jangan-jangan ia girang bukan kepalang itu fokusnya sibGagah bisa jadi cuan?

Memang, aku juga pernah merasakan pilu. Kala dikejar-kejar singa betina pemilik kontrakan. Juga ancaman paling keji dari penagih pinjaman daring. Beruntungnya kau tak mengenal mereka, aplikasi pinjaman itu. Bila sampai menyentuh dan sukses berutang di sana, malapetaka akan tiba. Saban hari bagai berkawan dawai biola, bernada sendu. Akan sepertiku yang mengalami trauma berkepanjangan. Mengundang segunung kebencian, kepada siapapun. Terbitlah sisi gelapku, sampai diriku kembali kepada Tuhan. Lantas Sang Maha Hidup mengatasinya. Trauma yang mengoyak asa membuat diriku berjanji akan balas dendam. Balas dendam dengan membuat orang tersiksa batin. Sama dengan yang kualami. Boleh persis, boleh lebih parah. Kalau perlu, lebih sadis dari pada keadaan terkoyaknya jiwaku kala itu.

***

Aku, Roy dan Soni bergabung di koperasi berbeda. Setidaknya walaupun sebatang kara, di Dusun Pelita aku hidup tak sendirian. Sesuai janji mereka memang ingin mendirikan pegadaian bersamaku. Makanya mereka ikut ke dusun ini. Kami bertiga bergabung di koperasi hanya untuk punya pengalaman. Tentang tata cara mengoyak-oyak mangsa. Merasakan sensasinya, bagaimana sang pemburu jeritan beraksi. Bila nanti jeritan mangsaku kian parah, puas rasanya mampu mengoyak-oyak asa mereka. Bila kehidupan mangsa di balik tirai rumahnya berhasil porak poranda, maka dahaga akan terpuaskan.

Kau tahu? Kami bertiga senang bekerja jadi pemburu semacam ini. Kami bisa semringah, bisa tertawa. Kadang sampai terpingkal bebas, sebebas-bebasnya. Mencibir borok orang dengan seloroh si Soni. Namun candu akan memantik sakau. Apabila diriku tak mencari mangsa baru, setelah mencincang mangsa yang tertangkap. Maka jadilah sakau. Seperti kisah engkau ini. Mangsaku kesekian kali. Kini lingkap harta, gara-gara tumpukan utang. Termasuk utang kepada koperasi tempat kerjaku, pada Roy dan Soni. Setahuku, utangmu mencapai 50 juta. Bila utang-utang itu ditotal dengan utang pada kami bertiga, totalnya demikian sepanjang telusuran. Apa lagi yang hendak dijual, selain bayi berumur sebulan itu? Kalian enggan menjual motor moleknya. Lebih baik aset reroent yakni Si Gagah. Ia akan pergi menjadi lelaki terbuang. Kau plih Gagah saja yang pergi. Sebab tak mungkin rumah megah atau motor matik gede yang rela kau jual. Status jetset itu ingin kalian miliki selamanya. Engkau pikir, sembilan bulan didera beratnya kandungan akan terhapus air mata sehari? Benarkah selepas gagah dibawa burung besi, air mata terhapus dalam sehari? Kepergian Gagah nanti adalah puncaknya. Aku ingin tahu perihal perasaan kalian nanti. Aku akan puas, ketika berhasil meneguk jerit tangis keluargamu.

***

Sementara ini, engkau kubiarkan lepas ayam. Bebas dari jeritan nelangsa di balik tirai kemewahan. Namun masih ada kemungkinan kau akan pinjam lagi. Minimal pinjam kepadaku yang telanjur tersohor sebagai sosok sakhi nan baik hati di sini. Demi menghilangkan dahagamu akan kemewahan, kau pasti melirik kontrakanku. Tenang saja. Sebagai tetanggamu, akan kubukakan pintuku. Kapanpun engkau ketuk. Sementara itu, biarkan aku cari jeritan baru dulu. Jeritan dari mangsa lainnya. Dengan keahlian menjilatku, pasti mudah memburu. Lantas mencincangnya. Ranah kampung nyatanya tak sesulit menaklukkan masyarakat kota. 

Aku bisa mengiming-imingi bunga rendah. Warga Dusun Pelita yang doyan kredit, pasti terpikat. Amat mudah mencari nasabah. Apalagi menaklukkan hati wanitanya. Lalu, di dusun ini sedang minim pemahaman kurasa. Terutama tentang anak dan uang. Jadi aku mau tanya kaladamu. Apa itu anak bagimu dan bagi warga di kampung ini? Apakah hanya seeonggok daging hasil jerih payah senggama? Kalau benar, berarti ia adalah pendatang rezeki bila telah lahir. Pelita yang bersinar di kegelapan hati. Sinarnya hangat, setidaknya untuk beberapa hari. Bukanlah risi, melepaskan anak untuk diadopsi keluarga lainnya. Memang diakui oleh sebagian orang, "menjual anak" adalah solusi terbaik. Meskipun omongan pemakan bangkai laris dan sakit didengar, ujung-ujungnya sebagian kecil dari mereka melumrahkan 'penjualan' anak. Dari keluarga yang baru beranak sepertimu, terbentuklah siklus yang lugh itu. Siklus nyata ingin hidup mewah, foya-foya, rumah megah, motor terbaru, setoran kredit susah, stres, senggama pereda amarah, hamil dan lahir. Siklus klimaksnya sampai kepada setoran kredit macet. Lalu habis pikir. Cari sanak saudara kaya yang butuh ansk. Solusi pening, adalah memberikan bayi yang lahir kepada mereka. Utang lunas. Sisa uang, bisa untuk ini itu. Jadilah hidup mewah lagi. Foya-foya, memegahkan rumah, beli motor baru, setoran kredit susah, stres, senggama. Hamil dan lahir. Lama-lama akan jadi wajar,m bagi warga Dusun Pelita. Ketika melihat fenomena anak-anak dijual bagai tumbal pesugihan. Entah siapa yang memulai pertama kalinya. Prediksi lima tahun kedepan, penjualan anak akan jadi budaya.

***

"Sudah berapa ya yang jual anak, gara-gara kita?" seloroh Roy di kedai siang ini. Selepas menyaksikan engkau yang dipanggang rawi. Memunggungi ruko koperasi tujuanmu. Kami menggunjingmu yang menatap toko bayi seberang jalan. Gibah sembari menyeruput es jeruk. Baru saja dirimu dijemput sang suami. Sebetulnya, kami mengamatimu dari kejauhan ini tak sengaja. Rendevous. Sua tak sengaja dengan Roy dan Soni. Berakhir nongkrong lama di warung tenda pinggir jalan ini. Kami tertawa sembari menikmati es jeruk. Bebas sebebas-bebasnya, menertawakan borok orang lain.

"Aku cuma satu," sahut Soni yang duduk samping kiriku. "Givesa satu. Malah Roy yang dua bisa membuat orang tua jual anak."

"Sebetulnya bukan gara-gara kita sih," sahutku, tak ingin mendaku akan keberhasilan mengompori penjualan bayi. "Merekanya saja yang kalau utang keterlaluan. Pendapatannya berapa, eh pengeluarannya tak dikira-kira. Tapi memang setahuku, di desa ini dan sekitarnya sampai ke wilayahnya Soni, rata-rata punya tabiat sama. Suka utang. Tujuannya ya biar terlihat kaya."

"Ya, tahu sendirilah seperti kataku. Aku dulu asalnya dari kampung ini juga. Di kampung ini, belum ada dulu budaya jual anak. Yakin belum ada. Tak tahu siapa yang mulai. Dulu kalau utang banyak, wargt berani jual rumah. Parahnya usai jual rumah, kalau belum lunas utangnya, mereka merantau ke negeri orang. Negeri Arab, Ginseng, Jiran, Hongkong. Usai lunas utang, dulu marak perceraian pula, bila orang-orang telah merantau begitu. Sekarang kampung ini lebih sadis. Berani jual anak, ketimbang merantau." Kataku menggelengkan kepala.

“Jadi begitu sejarahnya. Terus setelah lunas atau cerai, mereka utang lagi? Kalau nikah lagi, buat anak lagi?" Seloroh Soni. Mengundang tawa sekali lagi.

"Ya pastinya lah. Ibu-ibu muda di sini berbinar lihat kemilau kredit," Roy menanggapi usai berhasil meredam tawanya. "Kalau mereka berutang lagi, ayo kita bertiga kerjasama selalu. Sikat saja mereka bareng-bareng."

Lihat selengkapnya