Ganar yang semu. Lantaran sering merantau ke kota dan luar pulau, ia jadi terpandang. Gaji yang terlihat terus mengalir tiada henti. Seratus ribu per hari. Upah bersih, makan telah ditanggung. Apalagi lolos sertifikasi kompetensi kerja. Tak seperti pekerja harian lepas biasanya. Begitu konstruksi bangunan rampung, tukang bangunan bersertifikat masih memiliki kepastian kerja kedepannya. Kusno sosok terpandang di dusun ini. Ia tinggal di kampung sebelah, tapi namanya harum hingga di kampung ini. Rata-rata warga bekerja jadi tukang bangunan. Lulus SD, SMP, SMA, alternatif terbaik adalah tukang bangunan. Bagi warga Dusun Pelita, pekerjaan paling menghasilkan adalah tukang bangunan. Apalagi berhasil lolos sertifikasi tukang. Nikmat mana yang perlu Kusno dustakan?
Meski bukan mandor, kepala tukang juga berada pada taraf upah aman. Sejak lulus SMA, ia mulai bekerja. Ia mendapat jabatan kepala tukang tak sampai setahun bekerja. Empat warsa berlalu, sang kepala tukang ini melirik kembang desa. Akhirnya saling kepincut, maka menikahlah keduanya. Tercetak di undangan nama panggilan mereka, Erna dan Kusno.
Tanda kesejahteraan dari standar warga di sini, tertelak pada sepeda motor yang dimiliki seseorang. Erna dan Kusno kudu terpandang, maka belilah mereka motor mewah. Kredit, tenor dua tahun. Cicilannya bisa memakai gaji harian yang ditabung sebagian. Bagi keduanya, belum genap rasanya bila tak mencecap pujian tertinggi. Dibangunlah rumah itu di pekarangan kosong milik orang tua Erna, dengan bantuan bank. Namanya juga pujian. Sekali menerpa, maka nafsu "cari perhatian" itu jadi candu.
"Kau kan kepala tukang, masa beli satu motor lagi tak mampu? Apa kata orang, bila istrimu jalan kaki ke pasar? Istri kepala tukang yang tak pernah sepi kerjaan, jalan kaki? Sedangkan kautancap gas, terus gagah-gagahan bawa sepeda motor di perantauan." Ujar istrinya.
"Kau itu jangan pelit-pelit kepada istrimu. Bukankah gajimu besar? Hidup di kampung beda dengan di kota kan? Makan sehari-hari tak akan sampai goban di kampung. Paling kecil, cebanlah buat lauk pauk. Masih sisa banyak uangmu itu." Pinta ibunya sendiri kepada Kusno.
"Aku rela kok makan tahu tempe saja Mas. Tetangga tak akan tahu lauk yang kubeli," Timpal Erna dengan nada memelas. Sebelum beberapa hari lagi Kusno berangkat merantau ke Surabaya, kini ia terombang-ambing dalam bimbang. Proyek masih belum kelar, ia harus segera kembali. Tak bisa terus-terusan mengantar istri kesana-kemari. Ia pulang lantaran kangen Erna, dan memeriksa bagaimana kandungannya kali ini. Beberapa bulan lalu Erna keguguran kali kedua, sehingga Kusno khawatir kali ini janin dalam rahim itu menolak bermukim sembilan bulan. Maka jadilah, Kusno menambah jumlah yang kudu dibayarkan sebagai cicilan setiap bulan. Perkara janin yang tak boleh gugur, dan demi si empunya rahim tak kelelahan lagi, motor itu harus ada. Meski cicilan kian membengkak.
Tiga purnama berlalu. Satu purnama lagi kata bidan, waktunya janin itu keluar. Selama tiga punama itu, Kusno tak bekerja. Cicilan menunggak, sementara lahiran sebulan lagi. Cicilan rumah dan motor lewat tempo. Belum lagi biaya bersalin di rumah sakit. Bila terus menganggur begini, debt collector bisa mengambil paksa sepeda motor cicilannya. Apalagi peraturan baru menyatakan, tak ada lagi jalur pengadilan untuk pengambilan motor. Pihak leasing boleh langsung ambil tanpa jalur hukum perdata. Motor istrinya itu berada di ujung tanduk. Motor itu, tak akan diambil bila dijual dan dijadikan pelunas tunggakan cicilan segenap tenornya, atau Kusno berani meminta perpanjangan tenor. Maka, Kusno tanpa berpikir panjang, melirik rumah yang kini lebih mirip toko di kampung sebelahnya. Rumah yang ada etalase memanjang di depan jendela, sedangkan jendela diberi teralis besi. Hanya tangan dan barang-barang kecil yang bisa dijulurkan melalui jendela. Rumah yang ruang tamunya disekat setengah badan tingginya untuk ruang kerja. Pintu masuk ke rumah itu mulai dikunci di hari-hari kerja, kecuali Sabtu. Karyawan di dalam, dua remaja lulusan SMA, telah siap mencatat barang-barang yang akan datang masuk gadai dan keluar. Kusno pun datang ke rumah pegadaian itu. Rumah kontrakanku. Pegadaian yang resmi dibuka tiga hari sebelum ia datang. Atas saran Roy, yang tahu seluk beluk Kusno, sepeda motornya itu digiring ke Rumah Pegadaian. Berkat Roy, Kusno adalah pelanggan pertama, sekaligus pegadai motor pertama di tempat kami.
***
Rentenir dan para pemberi pinjaman yang berhasil memulung jeritan paling banyak di kampung ini mulai resah. Selama tiga bulan, Toni dan pemberdayaan musala mulai tampak hasil. Selama itu pula, aku berkutat dengan pegadaian dari pada cari nasabah koperasi. Banyak persyaratan dan berkas-berkas yang harus beres untuk perizinan pegadaian rupanya. Semisal tak lama lagi sepi nasabah, aku tak risau bila berhenti kerja. Nyaris musala itu meniru tata kelola masjid-masjid. Keuangan yang ada digunakan untuk membantu masyarakat miskin. Mengembalikan kejayaan Islam masa lampau dengan zakat dan infak. Bila musala menjelma kantor pembendaharaan islam di kampung, aku sendiri tak masalah. Sebabnya, aku terlibat didalamnya. Roy dan Soni pun tak masalah, saat koperasi tempat mereka jadi sepi peminjam. Kami bertiga akan berhenti jadi petugas koperasi. Bila pegadaian kian ramai. Roy dan Soni akan menjalankan bisnis tambahannya, yakni pemasok mainan seks, teman-teman kesepian, terutama mahasiswa.
Berbeda dengan kawan-kawanku yang ganas memburu jeritan itu. Rentenir yang berhasil memulung jeritan paling banyak di kampung ini, ketimbang kami bertiga. Mereka meradang, ketika nasabahnya mulai tergerus usaha Toni itu. Hanya dalam tiga bulan, jumlah nasabahnya lucut satu persatu. Prediksi mereka, tak akan ada fenomena jual anak ke kerabatnya lagi di masa depan. Warga kampung yang lucut dari jeratan mereka, itulah yang membuat Toni dalam bahaya. Bukan sekarang, tapi tak lama lagi. Warga Dusun Pelita terrpengaruh untuk bersedekah di musala. Sedekah itu dialih fungsikan untuk kegiatan UMKM. Para pemburu risau kian banyaknya anggota musala, bak koperasi. Baik yang berjamaah di sana maupun warga dusun dari kampung lain. Aku tahu informasi ini dari salah satu kenalan rentenir yang nyaris memonopoli satu Dusun.
Aku sendiri tak tahu, apakah pegadaian akan menggurita atau tak laku lantaran musala yang kuremehkan pada mulanya. Bagaimanapun, rumah Toni tetap incaranku. Apapun resiko yang harus diambil. Aku harus bisa membelinya. Mencari celah untuk menumbangkan Toni dari situ. Kalau beraliansi dengan dendam pemburu lain, rasanya terlalu kejam diriku menikam kawan sendiri. Semoga Toni sudi menjual rumahnya dan akan kubeli dari penghasilan pegadaian nanti rumah itu. Jadi, apa cara terbaik "mengusir" Toni dari rumah itu?
Dengan pinjaman yang dicairkan bank tempat Sobri bekerja, yang dicairkan ke rekening Fandi, diri ini optimis bisa mengembalikannya tepat waktu. Bunga 1% dari angsuran, dengan pegadaianku ini tak akan menjadi masalah. Bunga dari gadai berkisar 8% sampai 5%, masih laba 4% yang bisa dinikmati olehku, Roy, Soni dan dua karyawan lulusan SMA. Persyaratannya pun tak serumit koperasi. Hanya butuh gadai barang. Gantinya dapat uang. Bisa diperpanjang sesuka hati. Sementara ini, hanya Kusno yang menggadaikan motor.
Disinilah Toni bangga punya rekan kerja sepertiku. Sebagai guru ngaji di musala. Aku membantu warga dengan jasa gadai itu. Rumah Gadai yang tepat berada di seberang rumahnya. Apalagi, aku turut bersedekah di musala. Saat rapat dengan warga, aku pun turut bangga pencapaian fantastis musala lantaran namaku disebut-sebut oleh Toni sang ketua pengelola. Warga yang kumpul turut memberikan masukan, tujuannya agar kian baik musala dalam mengumpulkan dana.
"Jika kotak sedekah terkumpul sekian banyak, baiknya kita alokasikan untuk melebarkan bangunan ini. Dari musala, sepertinya cocok menjadi masjid. Siapa yang mengira, kotak sedekah yang beredar dalam sebulan, meraup 10 juta." Ujar Pak RT.
"Bayangkan, musala ini menjadi masjid. Bangunannya diperluas. Kramik memanjat-manjat dindingnya. Bayangkan toa masjid diperbanyak. Ada mimbar, ada dua imam tetap. Ada takmir masjid. Maka, manajemen keuangan akan semakin tertata." Imbuhnya.
"Setuju," Sahut warga, yang disahut lagi dengan kalimat yang sama oleh warga lain. "Setuju."
Aku mengangguk, karena itu ide bagus. Suasana musala jadi gaduh karena sahut-sahutan dan bisikan 30 warga menyatu dalam riuh ruangan. Pak RT mengompori semangat warganya. Beberapa orang yang duduk bersandar di dinding, kulihat menyentuh dinding ketika berbincang dengan teman sebelahnya. Mempercantik musala adalah ide bagus, yang kudengar. Bagus. Pikirku. Berarti bila Toni terpengaruh, ia tak perlu lagi risau warga. Warga dibiarkan dulu sementara waktu dalam kubangan utang.
Aku setuju. Tunda saja memperluas pemberdayaan warga, agar semangat berwiraswasta memalui program UMKM musala menurun kembali. Perluas dulu area musala. Akhirnya kulirik Toni. Pemuda sebayaku yang ditokohkan sebagai punggawa agama. Toni menyaksikan anggukanku pula. Mukanya tampak kecewa dengan anggukan ini. Aku memilih diam. Tampaknya ia ingin berbicara, hanya saja masih menunggu sedikit senyap dari para warga yang riuh di dalam musala.
“Setuju. Itu ide yang sangat bagus, Pak RT" Ucap Toni menanggapi usulan. Terkejutlah diriku akan pernyataan itu. "Setuju bila area ibadah diperluas. Keramik-keramik memanjat dinding. Memenuhi seluruh dinding bangunan ini. Kubahnya diperbesar. Ada mimbar, sajadah tebal, dan toa-toa yang ditenggerkan lebih banyak dari yang sekarang.”
Toni kemudian memasang muka sedih. Ia tahan tangisannya. Ia pejamkan mata barang sesaat, demi menenangkan diri. Dihirupnya udara cukup lama dan dihempaskannya. Aku mulai merasa, helaan napas itu mengubahnya jadi monster hijau lantaran amarahnya. Inilah wibawa Toni. Warga juga langsung diam. Warga amat menaruh hormat, meski Toni masih bujang di usianya 24 tahun. Ia tak pernah langsung menunjukkan marahnya. Meski tubuhnya kekar, tak pernah terlihat main kasar. Meski suaranya menggelegar tak pernah mengalahkan toa saat berkoar. Toni memilih merendahkan suaranya yang berat itu saat ini. Nada suaranya, terdengar ramah. Kurasa ia mencoba istikamah dalam tabah.
“Aku khawatir, harta yang dikumpulkan dari jamaah akan dipertanyakan oleh Allah di negeri akhir. Saat keabadian menampakkan derita atau kebahagiaan, saya tak ingin hidup abadi didera derita. Saya ingin harta yang kita kumpulkan ini, menjadi saksi kunci untuk kita. Menolong kita. Kita yang berlumur maksiat sepanjang hayat, ditolong oleh uang. Uang ini, bila tepat sasaran maka mampu menolong kaum papa. Memang tujuan utamanya itu, niat para penyumbang memang demikianlah adanya. Sedangkan keramik memanjat dinding, itu nanti. Belum saatnya musala menjelma masjid. Menurut saya, ide Pak RT memanglah bagus. Namun, baiknya kita utamakan kemaslahatan warga. Lihatlah, seperti laporan yang saya pegang ini.”
Toni menggamit kertas laporan itu dari lantai karpet itu. Ia junjung tinggi melebihi pundaknya. Kertas yang berisi timbangan pahala itu, membuat warga ciut nyali bersuara lagi. “Lihatlah laporan ini. Bila sempat, bacalah. Disini tertulis janda-janda yang lepas dari utang. Adalah tujuan pertama kita, mengumpulkan dana untuk kaum papa seperti para janda. Apa yang bisa mereka lakukan untuk melunasi utang sementara pekerjaan tak punya? Dalam laporan ini kita akan tahu alasan mereke berutang. Niatnya untuk berjualan es, jual pecel, kerupuk dan makanan ringan. Ketika jualan mereka tak laku, tentu tak dapat laba sementara mereka harus setoran cicilan. Mereka utang lagi dan lagi pada akhirnya. Gali lubang, tutup lubang. Menutupi kerugian demi kerugian. Lalu kita tolong mereka dengan dana yang terkumpul ini. Satu persatu, tak hanya janda melainkan keluarga duafa terlepas dari utang. Mereka mulai berdaya usaha, bekerja, maupun berjualan lagi. Lalu dari kampung kita, uang ini merambah bantu warga kampung lain. Syukur-syukur warga Dusun Pelita ini mendapatkan manfaatnya semua. Tapi saya memohon dengan sangat. Agar jangan masjid dulu yang harus diperhatikan. Kita akan tergolong orang-orang yang menistakan agama nantinya. Lalu, siapa yang mendustakan agama itu? Yakni orang-orang yang tak memberi makan orang miskin. Biarlah uang ini untuk kaum papa. Nanti, kita himpun dana lain yang niatnya memang untuk masjid. Menurut saya, itu lebih selamat di hari pembalasan nanti.”
“Allahu Akbar!” Pekik Pak RT di tengah keheningan, ketika semua tertunduk takzim. Tampaknya sama sepertiku, mereka memikirkan hari pembalasan. Takbir itu menyulut api kebaikan di hati warga. Disahutlah serentak oleh warga takbir Pak RT itu, sebanyak tiga kali.
Seturun dari musala, Toni merangkulku sampai tiba di depan rumahnya. Dalam perjalanan pulang itu, ia mengungkapkan bangganya punya kawan sepertiku. "Kalau bukan kau, kawan mana yang setia berjuang di sisiku?"