Rupanya Toni adalah seorang yang menghibahkan dirinya di jalan Tuhan. Tak sekadar mengabdi di jalur negeri sebagai PNS. Hibah diri, orang yang melakukannya memang tak memandang besaran gaji guru ngaji. Berbeda dengan formalitas kehadirannya di kelas-kelas, sebagai aparatur negara. Status guru ngaji desak dirinya agar mencurahkan seluruh energi. Santri-santrinya pun mendapat didikan yang terbaik. Dia bukan orang yang gegabah dalam mencuatkan aksara. Diksi yang dipilih amat hati-hati, bila menasihati orang lain dan santrinya. Sebaik-baik manusia memang seperti dirinya. Hukum rimba anti tersematkan. Punya harta maka ia bertahta, itu tak berlaku untuknya. Hanya bermodal integritas tinggi di mata masyarakat. Maka ajakan Toni didengar, mudah diterima.
Pada kunjungan malam itu. Di dalam rumah tetangga kami bersua kembali. Selain sebagai rekan mengajar ngaji. Aku juga menjadikannya rival, berlomba kebaikan. Sua tak sengaja dengan Toni di rumah yang mana putra sang paman sedang sakit.
“Nanti jika sudah sembuh, baiknya Paman dan keluarga berhenti meminjam di tempat yang bunganya tinggi. Sudah banyak musibah yang dialami warga lantaran lilitan utang kreditan. Betapa banyak jeritan yang kita dengar dan saksikan.”
“Paman mengerti Nak. Tahu betul aku salah. Tapi apa yang bisa saya lakukan, Nak? Keadaannya amat darurat wakut itu. Itu yang membuatku tak berhenti melakukan peminjaman. Apakah benar Allah sedang menghukum keluarga kami? Apakah penyakit lumpuh yang dialami putraku bisa sembuh? Dia masih kecil, masih remaja. Ia perlu mengenyam ilmu yang cukup untuk bekerja nanti.”
Hanya ada empat orang di kamar itu. Aku, Toni, Paman dan putranya yang melenguh. Sejak tiga bulan lalu anak itu tak beranjak dari kasur. Disinyalir guna-guna, santet dan semacamnya. Didatangkanlah dukun-dukun dan ahli rukiah. Setelah aku menyarankan dibawa ke rumah sakit, diketahui bahwa anak itu sakit paralisis yang butuh fisioterapi saban harinya. Dengan fisioterapi, yang biayanya lumayan bagi keluarga tak bertelevisi ini, mulai tampak ada gerakan di jemari kaki anak itu.
Kata keadaan darurat dari paman itu baru saja, sejujurnya memang disengaja. Keadaan yang mendesaknya agar mau meminjam kepadaku. Berasal dari kebingungan itu dan sikap sakhinya aku- kata orang- yang amat ringan tangan tanpa pamrih, maka ia sudi menjaminkan sertifikat rumahnya. Satu-satunya agunan yang berguna di rumahnya, hanyalah sertifikat tanah itu.
“Kata dokter, sakitnya akan segera membaik jika fisioterapi rutin dilakukan.”
“Baiklah, Paman. Bersabarlah dan terus berjuang. Siapa yang rela kepada ketentuan Allah, maka disanalah kerelaan Allah untuk dia dan keluarganya,” sahut Toni. Merapikan pikiran paman yang kusut. Mengembalikan kembali kepada iman yang benar.
“Terimakasih sumbangannya, Nak Toni. Ini sungguh banyak buat kami.”
Sumbangan? Sialan. Rupanya Toni datang lebih awal ke rumah ini lantaran tujuan mulia itu. Ia tak hanya ceramah agar orang jera meminjam di koperasi atau bank. Toni menyumbang sejumlah uang. Ah, sok kaya. Apa ia mengulur tangan tanpa pamrih atau ada udang di balik batu?
“Semoga keluarga kami akan selamat kedepannya. Dosa-dosa kami akan riba, semoga Allah maklumi. Kami tak ingin berperang melawan Tuhan dan rasul-Nya.”
“Amin. Semoga, Paman.”
Seperti biasa, Toni masih terlalu hati-hati mencuatkan aksara tentang riba. Ia tahu aku punggawa riba, tetapi ia tak menyulut permusuhan dan kesumat denganku yang setia membantunya mengajar ngaji di musala. Sebab perkara riba, memang memiliki dua sisi mata uang. Seperti bapak, ketika menceramahiku dan ibu. Kami bukannya kapok meriba, justru kami menjadi lebih gencar lagi membenci bapak. Dibantu ibu yang cerdas, kami cari ladang utang lagi. Selain kian membenci orang yang ceramah soal riba, ada orang lain yang bisa tobat usai dengar ceramah tentang riba, yakni bapakku sendiri. Ketika guru ngajinya yang bijak bestari memberikan pinjaman kepadanya. Gurunya mewejangi pertobatan, lantas ia istikamahkan istigfar setelahnya. Tobatnya tak salah, aku dan ibu yang salah. Lari dari tanggung jawab ketika pemburu jeritan datang ke rumah. Bapak yang hanya mengandalkan istigfar pun tumbang mentalnya, menanggung beban berat seorang diri. Desakan, makian, bentakan dari para rentenir mengguncang wadah jiwanya. Telinganya telanjur tersengat ranjau-ranjau makian, bagai petir menyambar-nyambar dalam khayalnya. Tatanan hidup yang ia impikan untuk kampungnya, diterjang moto hidup “Kalau tak utang, apa yang bisa dipunya?” Tergambar dalam delusinya, bagai tsunami yang memporak-porandakan hidup seluruh kampungnya.
“Oh iya, Paman. Jangan lupa, sisakan sedekah ke musala. Biar saya dan Toni, juga tokoh-tokoh masyarakat lain mengelola sedekah untuk kemakmuran warga sekitar musala.” Sambungku terhadap pembicaraan mereka.
“Baik, Nak. Tentu akan saya sisihkan untuk sedekah di musala. Terimakasih juga kepada Nak Givesa. Semoga dengan adanya Toni dan Nak Givesa di kampung ini, orang-orang terentaskan dari jebakan kemiskinan dan jerat utang.”
“Apalagi Nak Givesa dulu juga korban. Kalau tak salah, disni tak punya sanak keluarga, tapi Nak Givesa kembali ke kampung untuk bantu orang.” Imbuh paman, hendak membongkar luka lama. Barangkali bukan berangkat dari ketulusan, melainkan jilatan. Terkaanku begitu.
“Masa lalu biarkan masa lalu. Kita hidup di masa sekarang, bukan di masa itu. Masa sekarang saja sudah punya banyak masalah. Seolah tak cukup masalah yang ada bila mengulik lagi yang lampau.”
“Bukan begitu, Ves?” Lanjut Toni memaksaku menanggapi pernyataannya.
“Semoga Allah menutup aib orang tua Givesa.” Imbuh Toni lagi, usai diriku mengangguk takzim. Sebetulnya aku tersinggung. Namun kucoba lebarkan bibir. Senyuman ini lalu dibalas kembali dengan senyuman Toni. Kian sebal hati rasanya, melihat senyuman itu. Selama ini mendekati Toni hanya untuk mencari kesalahannya. Tak lain dan tak bukan adalah demi tujuan beberapa perkara. Aku masih khawatir Toni tahu tujuanku mendekatinya.
Selain tujuan eksternal, demi mengguritakan bisnis pegadaianku bila telah rampung perizinannya, aku butuh rumah yang kini ia tempati. Itu rumahku, dan harus kembali menjadi istanaku. Relief kebahagiaan dan kenangan keluarga masih utuh disitu. Amat perlu kumiliki kembali. Tak peduli aral, pasti bisa kuraih. Asal tahu kelemahan terbesar keluarga Toni. Sementara belum ada kelemahan mereka. Mereka terlalu bersih di semua data peminjam koperasi maupun bank. Bila telah tahu titik lemahnya, akan kuracuni karakternya. Ya, semoga terwujud dan bapak bisa satu atap lagi denganku di rumah itu.
Entah sekarang dimana bapak yang telah kubuang. Aku pernah menyusuri jalan dan pohon kelapa yang dipanjatnya dulu. Nihil pencarianku. Setidaknya ada pusara bila batang hidungnya tak bisa kusua. Aku khawatir bapak masih hidup dan teringat pesanku. “Bila bapak ingin pulang, maka pulanglah, ke rumah sendiri.” Khawatir saat ia tiba, bukan aku tuan rumahnya. Toni tentu saja mengerti kisah keluargaku meski tak sekali pun ia menggunjing. Sedang warga lain telah lama menggunjing diriku sebagai penyintas korban piutang orang tua. Sejak kembalinya aku ke kampung ini, melihat suksesku membantu banyak orang, masyarakat tak peduli luka lama. Mereka fokus merayuku agar meminjami mereka uang. Mereka senang aku orang salih, jadi rekan kerja Toni menjadi guru ngaji.
***
“Mana ada orang tak punya utang?” ngiang pertanyaan Sobri yang sesekali muncul bila memikirkan Toni. Merenungi sisi keikhlasanku yang masih ada saat mengajar santri-santri. Sudi bergantian dengan Toni untuk menjadi imam salat, lantaran aku ikhlas. Warga percaya sepenuhnya kepada kami berdua untuk mengelola musala yang bentuknya tetap sama dengan dulu sebelum aku kontrak di daerah kampus. Sembari menunggu ikamah salat Isya, aku memikirkan letak borok Toni yang mungkin saja punya piutang tapi tertutup rapat. Berangkat dari sinilah timbul pertanyaan: Benarkah Toni jauh dari utang? Apakah orang-orang tak risi nasihat Toni dan keluarganya, agar orang-orang tak pinjam ke lintah darat? Bukankah visi-misi Toni dan keluarganya bertolak belakang dengan moto hidup warga, ‘Tak kredit maka tak punya’? Bukankah Toni mencari gara-gara, bila mengusik budaya utang warga?