Benteng terkuat itu terletak pada kawan senasib yang saling menguatkan. Ah, aku pasti hidup tak tenang lagi bila nekat ke kondangan Sobri seorang diri. Sekuat apa mentalku bila kesana sendirian? Adanya kawan untuk diajak kondangan adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Percayalah. Ketimbang jomlo menyantap seorang diri di tenda megah bersama orang-orang asing, kondangan bersama kawan terasa lebih baik. Setahuku, akan menjadi insan paling sensitif terhadap sindiran bila berani datang sendiri. Suara dentuman musik yang bertalu-talu menggetarkan tubuh- dalam arti sesungguhnya- akan hirap ditelan kecemasan waktu datang sendiri. Orang-orang yang ramai berbisik dan tertawa itu, terkaan telinga akan terdengar seolah menertawakan kesendirian ini. Jomlo yang menyantap makanan seorang diri di pernikahan, tanpa memperdulikan ocehan pengantinnya atau kenalan yang disua di sana, adalah orang terkuat di muka bumi. Orang paling hebat sejagat versiku. Pasalnya, itu suatu yang lengkara.
Selisih setahun dengan usia junjungan baginda nabi, Sobri akhirnya menikah juga. Memang demikianlah dinamika prinsip kami. Lima sekawan yang dulu tak kenal pacaran, bukan berarti anti cinta. Bukan pula suka sesama jenis. Dulu kami fokus belajar memperoleh cuan. Belajar investasi, trading dan sampai kini pun masih mendulang cuan dengan cara ini. Bedanya kini kami mulai dahaga akan cinta. Percayalah. Sisa empat dari lima sekawan yang haus akan cinta. Setelah Sobri naik singgasana seperti itu, kami pun ingin. Libido tak bisa dibohongi. Namun, apa iya libido kita tersalurkan kepada barang mainan yang kami jual untuk pria-wanita kesepian? Ah, senjata makan tuan nantinya. Aku tak tahu bagaimana pikiran Roy dan Soni menyikapi hasratnya untuk segera berkawin. Aku hanya tahu perasaanku sendiri. Sebagaimana direktur perusahaan rokok, mereka jual rokok tapi tak merokok. Aku pun begitu. Turut mendanai jualan mainan pemuas nafsu secara daring, tapi tak turut menggunakannya untuk pelampiasan nafsu sendiri. Maaf, ini sedikit risi memang, tapi demikianlah adanya keadaanku. Dulu, semasa gemar nongkrong di kedai dan dijambak tumpukan tugas-tugas kuliah, kami berlima tak suka kisah cinta. Dulu kupertanyakan betul, apa hakikat cinta itu.
Setahuku, cinta itu menghilangkan akal waras. Asmaraloka yang meracuni mahasiswa, atas dasar sayang, terselubung nafsu. Memikat dua sejoli yang terjebak janji-janji semu, demi beradu lidah. Bertukar liur mengundang syahwat tingkat tinggi yang kudu dilepaskan sejoli di semak-semak. Bila telah bunting, tambahlah pening dan tuaknya. Paling dinyana, akhir perdebatan mesra adalah pertanggungjawaban dinikahi. Terlihat sederhana, tapi rumit di realita. Manis tampaknya mendapatkan jodoh dengan cara ini. Jalur pintas, bisa satu singgasana di altar janur kuning. Apakah itu yang dinamakan cinta? Cinta seperti itu, bukanlah seleraku. Percayalah.
Dan, aku bertanya lagi ketika bertemu denganmu di prasmanan Sobri ini. Apa ini yang dinamakan cinta? Serendipity? Gadis berambut sepundak yang berhasil mencungkil daya imajinasi, dan harapan melangit. "Kaulah jodohku yang dipertemukan Tuhan disini. Bukankah begitu?"
Roy dan Soni tak tahu bagaimana sensasinya bersitatap denganmu. Apalagi sampai beradu nasib. Sesuap kisah yang mengenyangkan relung-relung asmara sejak menit pertama kusantap obrolan dan pujian darimu. Mulai dari mana benih rasa itu tumbuh? Dari keterkejutanku akan asal-usulmu. Abaikan saja dentuman keras musik dangdut yang menggetarkan sekujur badan. Abaikan kawan-kawanku yang tak merasakan apa yang kurasa. Fokus saja pada sudut pandangku tentangmu. Dengarkan dan percayalah.
***
"Ada tak orang terkuat di sini?" Tanya Fandi bermaksud seloroh.
"Maksudmu?" Tanya Soni balik. Sembari berjejer antrian memunguti lauk pauk perjamuan. Fandi terdepan, Soni dan Roy di belakangnya. Sementara aku berada di belakang Roy.
"Hanya orang terkuat yang berani datang kondangan seorang diri." Roy berceletuk di antrian perjamuan, yang kebetulan sepi. Menanggapi seloroh Fandi, si pengusaha tersukses diantara kami. Hanya ada kami yang seolah rakus, ingin mengumpulkan seluruh lauk dalam piring-piring di tangan ini.
"Oh," tanggap Soni. Sementara aku yang di belakang mereka sudah melabeli orang-orang seperti itu. Jauh sebelum mereka berseloroh kini.
"Grup band baru ya, Mas?" Sapa suara merdu dari balik punggungku.
Kutoleh sumber suara. Bagai menyaksikan mawar di senyum terkembang itu. Rambut sepundak yang legam dan lebat, terayun perlahan di pandangan mata. Slow motion terbaik ketika kerlingan mata itu hangat menyelimuti dada. Siapa gerangan gadis sok akrab ini? Aku mematung entah berapa detik. Dalam detik-detik itu ketiga kawan telah mendarat di kursi plastik. Aku baru sadar bila terpesona pandangan pertama, tatkala melirik Fandi di ujung, menyantap makanannya bersama yang lain. Mereka tak kebingungan mencariku. Rona wajahmu yang berseri, bibir merah muda mengkilap karena gincu, dan tinggi badan yang tak melebihi tinggiku. Menyihir diriku untuk memprioritaskan engkau. Amatlah ideal diriku satu singgasana denganmu kelak. Oh, tunggu dulu. Kurasa itu kejauhan. Rasanya, aku tak asing dengan wajah ini. Terasa kedua alis ini menyatu, sekadar geratak arsip wajah di ingatan. Aku sungguh pernah menyimpan wajahmu. Dengan ragu-ragu, kuterka namamu.
"Bilal?"
"Ngawur. Aku ini cewek. Masak namanya Bilal. Memangnya kau kenal aku?" Jawabmu. Sambil tersungging senyuman itu, pertanda kau tak tersinggung. Aku pikir kau gemulai. Kenyataannya berbeda. Nada yang tegas, tak mendayu dan tampak sedikit menguar aura lelaki. Aku bergeser ke ujung meja perjamuan agar kau terus bergerak. Entah kenapa enggan beranjak dari area meja perjamuan. Seolah buhul asmara sengaja kauikat. Di belakangmu, mulai berdatangan tamu baru. Semestinya aku malu menantimu usai mengumpulkan seporsi hidangan yang kau suka. Kenal pun, aku yang disapa akrab ini hanya dalam sepersekian detik terjerat buhul asmara. Percayalah, ini pertama kalinya dan nyata terjadi tatkala melihatmu. Daya magis yang amat memikat dari suara, sapaan, senyuman dan keelokan paras.
"Maaf, aku tak tahu namamu. Tapi kaulah yang tahu dulu aku pernah jadi anak Band. Telah lama aku menjauhi hingar bingar grup musik. Meski begitu, percaya atau tidak, aku masih mahir mencakar gitar."
"Aku tahu kau bekas anak band. Itu karena si vokalis, sekaligus motivator handal anggota Lengkuas adalah kakakku."
"Oh, jadi kau adiknya? Kenapa bisa di sini? Jauh-jauh ke Malang." Tanyaku. "Pantas wajahmu tak asing." Kilahku, agar tak terlihat kaget bahwa dia adiknya si mantan ketua Lengkuas. Rumah Sobri berpuluh mil dari Dusun Pelita. Kota Malang juga masih jauh dari desamu yang bersebelahan dengan desaku. Setahuku, ketua bandku itu tinggal di desa yang sama. Tiba-tiba ketemu kau di sini. Dulu dekil. Sekarang aduhai, bikin menggigil.
Aku masih enggan mencari kursi untuk duduk, menunggumu rampung memungut lauk pauk di atas nasi yang porsi nasinya setara milikku. Apa kau benar-benar cewek? Sedari tadi kucari narasi jenaka untuk memerankan badut di hadapanmu. Agar bibir yang merekah seindah mawar itu terbit lagi. Sayangnya senyuman itu berangsur kuncup dan menyimpul. Tak bisa dicecap manisnya lagi. Parahnya narasi badut itu sukar dicari dalam benak, kecuali memanggilmu dengan nama Bilal tadi.
"Ke Malang, kau datang sendiri?"
"Kenapa Mas memangnya? Mas berharap, kalau aku datang sendiri, orang-orang akan mencibirku? Lalu aku mengamuk di acara ini, lantaran tak sengaja mendengar gunjingan mereka? Oh, tentu Mas keliru dan aku bukan Hulk."
"Em, oke. Boleh kutemani duduk sebentar lagi?" Tanyaku mengalihkan topik sejenak. Aku hindari meladeni pikiranku yang mudah terbaca itu. Oke, setuju. Kau bukan Hulk, tapi mungkin Jane The Phoenix yang menyamar. Sejengkal jaraknya aku yang berdiri dekatmu kini. Masih saja badan mematung. Jadi, itu istilahnya? Wanita itu candu. Sakau jadinya bila pada titik terendah ingin bersama cewek tapi tak terpenuhi. Aku menyadarinya baru-baru ini. Betapa dulu mata jelalatan Lihat kemolekan mahasiswa. Setelah dua tahun tak berlalu lalang di kampus, aku sakau pula. Lebih parah ketimbang tuak. Lalu terpenuhi titik terendah itu dengan bersua denganmu. Aku berharap bisa lebih lama, bahkan bincang-bincang denganmu di kursi. Inilah alasan kenapa aku tak beranjak. Untungnya, pucuk dicinta ulam tiba.
"Mari, kita duduk di sana." Pintamu menunjuk kursi yang berseberangan dengan ketiga kawanku. Kutoleh dulu kearah mereka. Siapa tahu ada yang peka bahwa aku butuh berbicara gadis berambut sepundak ini. Untungnya, ketiga kawan bersamaan mengacungkan jempol ketika kutatap wajah mereka masing-masing. Lega rasanya diizinkan. Asyik. Bisa berdua ngobrol sana-sini dengan engkau, si gadis berambut sepundak. Gayamu amat sesuai dengan kriteriaku. Dabak, suara dentuman musik bertalu-talu itu mati. Senyap. Enak untuk momen berbincang jika mati beberapa menit kedepan.
Kita pun makan dengan porsi setara. Lahap di awal-awal santapan. Nyaris lupa tujuan duduk bersama seperti ini. Baru teringat ketika kaukatakan pembukaan.
"Namaku Mei. Lengkapnya Dwi Mei Pinurbo. Sama dengan kakak, Wahyu Pinurbo. Meskipun itu bukan nama warga. Dan, jangan sok hebat menerka lahirku." Ucapmu. Menurutku, malah tampak seksi ketika wanita berbicara tegas seperti itu, tapi disisi lain dibalut sikap ramahnya.
Sembari menyuapkan sedadu daging rawon ke dalam mulut kucerna dulu isi perintahnya agar tak tanya lahirmu. Oh, Dwi adalah tanggal dua dan Mei itu bulannya. Benak berbicara, tegas sekali caramu menyikapi diriku yang berharap kau takjub bila kuterka lahirmu. Kuulik lagi tanyaku tadi. "Oh iya, Mei. Kenapa bisa sampai disini seorang diri? Malang dan Dusun Pelita itu jaraknya amat jauh."
Sebelum kau menjawabnya, kusela lebih dulu. "Tunggu tunggu. Bukan maksudku memandang sebelah mata atas dirimu ya, Mei. Namun, justru menurut hikmatku, kau adalah manusia terkuat di muka bumi bahkan sejagat lantaran mendobrak budaya. Biasanya nih, wanita terutama. Mereka beramai-ramai datang ke kondangan. Berbondong demi rasa aman kalau-kalau dirundung sindiran kapan nyusul."