Sindrom stockholm adalah kelainan mental yang tampaknya sedang menjangkiti hampir seluruh penduduk di Dusun Pelita. Bahkan kurasa telah merata setanah air. Sindrom yang ditemukan tahun 1973 itu bersulur hingga di eraku dewasa. Kejadian yang serupa meski tak sama terjadi di dusun kelahiranku. Jika penemuan awalnya dimulai dari para sandera yang setia pada penculiknya, sedangkan temuan terbaru yang kusaksikan dengan mata kepala sendiri adalah adanya kesetiaan para peminjam terhadap lintah darat yang meliar dan melilitnya di dusun ini. Orang-orang yang terjangkit sindrom ini punya kesetiaan yang membabi buta pada orang-orang yang memburu jeritannya, tanpa memperdulikan lagi risiko yang akan dialaminya bila tak melepas lilitan pemburu itu. Bahkan kian tampak gejalanya ketika para peminjam membela mati-matian jasa para pemberi pinjaman. Bahwa mereka seolah pelita yang mampu melepas dahaga akan diri mereka yang belum terpuaskan bila tak punya barang yang diinginkan. Mereka membela dengan slogan “tak utang maka tak punya apa-apa”. Mengerikan menurut hikmatku.
Sindrom yang merata di sini, tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengubah penyakit membudaya. Mereka membutuhkan psikiater atau psikolog atau kiai yang bisa membantu menyadarkan. Sayangnya, yang disebut guru ngaji di musala adalah seorang yang masih muda. Tokoh terlalu muda bisa dipandang sebelah mata. Tak lain adalah Toni.
Orang-orang yang kian kentara terkena stockholm, bukannya suka kehadiran Toni. Malahan hanya manis di bibir, pahit di hati. Mereka membenci Toni yang menentang rezim lintah darat. Mereka seolah membentengi diri untuk tetap angkuh. Tetap meriba. Tambah angkuh dengan enggan membayar infak dan sedekah, sepersen pun ke musala.
Setahun tata kelola musala itu menuai hasil. Banyak donatur dari luar desa bahkan luar pulau yang tertarik untuk mendanai usaha Toni. Donasi yang dikumpulkan itulah yang membuat sebagian warga- terutama para janda- terlunasi utangnya. Warga yang menerima manfaat tersadarkan dan berangsur pulih dari sindromnya. Sadar bahwa harus bersabar untuk bisa memiliki suatu barang, ketimbang pinjam meminjam. Sadar untuk berwirausaha dan menerima dengan senang hati uluran tangan dari Toni atas nama musala.
Berbeda dengan teman-temanku yang bekerja di bank abal-abal yang eksistensinya tak pernah ada di desa lain bahkan di negeri ini. Katanya berpusat di kota sebelah, hanya saja itu akal-akalan kata Anton, temanku yang bekerja di sana. Toni tak ketinggalan informasi mengenai hal itu. Toni melawan langsung direktur bank ilegal ini. Disebarkanlah berita itu bahwa bank tempat mereka meminjam adalah abal-abal. Namanya juga terkena sindrom stockholm, nyaris saja Toni dipukuli masa. Untung Pak RT menengahi perdebatan mereka di dalam musala itu.
Para penderita stockholm tak terima kalau bank tempat mereka meminjam disebut ilegal. Kabar tersiar bos bank ini mendapat kecaman. Bahwa Toni membawa seabrek bukti. Bos merasa terusik dengan ulah Toni. Sedangkan menurut informasi yang aku dapat, bos itu akan berbuat durjana demi menyingkirkan Toni. Sebagai kawan satu musala dengan Toni, aku ingin menjaganya dari mara bahaya. Tapi bagaimana caranya? Kapan aksi durjana bos bank itu terlaksana? Separah apakah teror terhadap Toni dan keluarganya nanti?
***
Satu purnama lewat. Tiada tanda-tanda bos bank itu beraksi. Aksi yang tentu menghancurkan mental dan martabat Toni di depan khalayak. Setahuku, orang-orang mulai terhasut untuk membenci ceramah Toni. Kiai muda yang sok-sokan, kata warga.
Beberapa santri Toni- mendaku santriku pula- ditarik mundur oleh wali santri. Santri beringsut pergi untuk masuk ke tempat mengaji di tempat yang cukup jauh dari rumahnya. Hasutan semakin menjadi-jadi. Ketika salam Toni tak lagi diindahkan oleh orang-orang sekitarnya. Sungguh malang nasib Toni. Anehnya, ia tetap bersikukuh menjalani tata kelola keuangan musala. Pemberdayaan zakat, infak dan sedekah. Walau jatuhnya seorang diri, ia akan tetap bangkit. Ia akan berjuang sendirian.
Aku terharu usaha Toni. Dulu aku membencinya, ingin menjungkalkan pamornya, ingin merebut rumah yang memang dulu rumahku. Kini yang tersisa hanyalah impian untuk memiliki rumah itu. Sisanya adalah rasa iba dan sayang sebagai kawan seperjuangan. Kawan jihad memakmurkan musala. Hatiku sangat puas saat menghitung dan mengatur keuangan musala bersamanya. Betapa tentramnya hati tatkala uang yang kami kelola bisa melepaskan lilitan pemburu jeritan di tubuh janda-janda duafa.
Terus terang dan cukup mencengangkan. Selama beberapa bulan terakhir, musala berhasil mengumpulkan dana sebesar seratus juta. Seratus juta per bulannya, dan habis tak tersisa untuk melunasi utang warga dan mengadakan wirausaha untuk para janda. Tak hanya janda, orang yang sehat pun kami bantu asal ia mau mengubah gaya hidup. Ia harus mau meninggalkan kredit dan memilih bersabar memiliki barang-barang dengan cara menabung, berdagang dan investasi.
Baru ketika memiliki dana yang cukup, bisa memiliki barang yang diinginkan. Aku sih, tak pernah dengar orang membenciku dan pegadaianku. Aku juga dilindungi teman-teman bank ilegal, agar aku bersih dari target kedurjanaan mereka. Lagipula mereka fokus satu orang: Toni saja.
Bank ilegal itu tahu bahwa aku juga punya pegadaian yang kejamnya sebetulnya sama dengan mereka tapi tak kentara. Pasalnya, aku menilai sebuah barang entah itu baru atau sudah bekas, kuhargai seperempat dari harga barang itu. Gadai laptop misalnya, harga beli lima juta maka kuberikan pinjaman kepada nasabah seperempatnya saja. Belum lagi bunga delapan persen tiap bulannya untuk perpanjangan. Bila nasabah tak sanggup menebus. Aku telah siap menjual laptop mereka, bila telat melakukan perpanjangan. Untung yang tak kentara tapi sangat menggunung adalah mengadaikan. Pinjam saja dua juta, akan aku beri. Dengan syarat, kalau harga laptopnya delapan juta saat pembelian langsung dari toko maka bisa dapat pinjaman dua juta. Biar saja dua juta itu tak mampu dilunasi. Setidaknya laptop miliknya ada ditanganku dan kujual enam juta. Bila benar-benar tiada harapan, tanpa adanya iktikad baik, aku pun tak merugi menjualnya.
***
Dua purnama lewat. Aku kian gusar. Mulai takut terjadi apa-apa kepada Toni. Apa rencana besar para pemburu dari bank abal-abal itu? Aku, tak lagi seberingas dulu. Sempat ingin mencari kambing hitam memang. Orang yang digunakan untuk adu domba dengan Toni. Namun itu dulu. Benci muncul kepada Toni, sejak ia menasihatiku soal riba semasa masih kerja di koperasi. Telinga panas bahas riba. Apalagi membawa nama jembatan siratal mustakim yang begitu tipis dan mengerikan bila terperosok. Jembatan yang hanya ada di akhirat, dan aku meyakininya memang. Namun telanjur telinga panas, hati mendendam bila sekali lagi Toni berceramah. Memang semula benci akan nasihat seperti itu. Lambat laun hati ini melunak. Apalagi setelah ada wujud nyata dari pemberdayaan zakat infak dari musala. Hati mulai empati. Tersentuh lantaran banyak orang yang sembuh. Sembuhnya janda-janda dan duafa dari pilu dan beratus keluh. Terlebih sembuh dari stockholm. Toni sudah jadi sahabatku yang kubanggakan. Selain itu Toni ramah. Patut dibanggakan sebagaimana aku bangga memiliki teman Sobri, Roy, Soni dan Fandi.
Aku mulai terbiasa dengan sisi melankolis ini. Semenjak terjerumus kubangan danau cinta yang menyejukkan. Disnilah membuatku makin peka perasaan Mei. Kian peka kepada Toni ketika dirundung. Jadilah pula aku budak cinta setelah bersua Mei di tenda pernikahan. Mulai ada rasa takut ditinggal Mei, juga mulai ada rasa iba kepada Toni. Cinta kepada Mei. Memantik diri jadi penyair dikala senja. Cinta mengubah perangai kasar jadi lemah lembut. Itu kurasakan ketika bersua dengan Mei. Toni dan Mei kini merajai kepalaku. Satunya karena sahabat berjihad, sedangkan satunya lagi wanita idaman.
***
Bicara soal Mei, dia sudah bekerja di pegadaian. Tiga bulan telah lewat, dan dirinya tampak betah. Saking penasaran, kutanya ia.
“Bagaimana kerja di sini?” tanyaku di suatu kesempatan pagi hari.
“Betah kok Mas,” jawabnya. Tak hanya sekadar ucapan saja, kebetahannya bekerja di sini tampak dari kedatangannya. Ia lebih pagi dari dua karyawan baru yang baru lulus SMA itu. Bahkan penampilannya mirip karyawan bank. Lebih cantik daripada awal bertemu. Kerlingan mata yang dicelak indah itu membuatku seolah bergelayut di kelopak matanya. Ingin kulumat mawar merekah di bibirnya dan menghirup semua wangi samponya hingga tak tersisa untuk ruangan pegadaian ini.
“Masnya sendiri, betah punya karyawan sepertiku?”
Aku bahkan berharap kau bisa tinggal seranjang denganku. Aroma tubuhmu bisa mendatangkan keganasan imajinasi. Angan-angan meliar hingga ke semak-semak atau kebun milik Toni dua kilo dari belakang rumahnya. Jika kau mau melakukannya. Ah, sudah gila rupanya aku ini.
“Jika kau ada kebutuhan, tolong sampaikan kepadaku.” Pintaku kepada Mei sebelum pergi ke ruangan pengepakan barang dagangan pemuas nafsu yang akan dikirimkan hari ini. Aku mulai berpikir untuk berbuat durjana, tapi tak mungkin dengan Mei atau boneka seks seperti itu. Aku seorang guru ngaji, yang tahu diri akan posisiku kini. Tak mungkin pula memaksa Mei langsung untuk menikah denganku. Meskipun sebetulnya ada tanda-tanda positif bahwa ayah ibunya menerima kehadiranku. Sebagai kandidat calon menantu terkuat.
Mei tak menjawab, dan ia juga tak sedang sibuk melakukan apa-apa di depan meja. Sepagi ini memang tak mungkin tiba-tiba nasabah berduyun-duyun. Masih jam tujuh lebih seperempat pagi. Di depan meja itu, dari kejauhan kulihat ia hanya mecorat-coret kertas di depannya. Kurasa aku perlu kembali menemuinya. Sepertinya, memang ada yang ingin perlu aku bantu. Ia merasakan kehadiranku. Dua gadis SMA di sekat sebelah mejanya tampak sibuk dengan androidnya. Tak mungkin tahu bahwa aku punya rasa spesial kepada Mei. Tak mungkin pula mereka iri lantaran aku menaruh hati kepada Mei. Apalagi turut campur dengan masalah yang akan disampaikan Mei. Mei tiba-tiba bersuara. Mengerti bahwa aku kembali berada di belakangnya.
“Mas, apakah Mas suka menjadi seorang yang memberi pinjaman?”
“Secara pribadi atau koperasi semacam ini? Kalau secara pribadi, aku lihat-lihat dulu siapa orang yang akan aku pinjami. Aku orangnya memang suka menaruh iba, kepada sahabat sendiri atau orang yang kupercaya. Kalau secara umum, aku suka berbisnis seperti pegadaian. Kalau memberi pinjaman, kepada orang tertentu saja.”
“Jadi kalau dana pribadi, Mas tak langsung meminjami seseorang, apalagi tanpa agunan. Begitu?”
“Ya, seperti yang aku bilang tadi. Aku lihat dulu orangnya. Mei, ada apa?”
“Gajiku sering habis untuk memberi pinjaman kepada seseorang.”
Aku kaget mendengar hal itu. Jadi, gaji menterengmu di perusahaan besar itu sebelumnya, sering dipinjami orang yang tak bertanggung jawab. Sungguh kasihan sekali. Beruntung Mei pindah kesini. Tak punya kenalan lebih baik, Mei.
“Itu alasan Mei pindah kerja?”
“Kurang lebihnya begitu,” jawabnya sembari tatapan nanar di atas kertas yang dicorat-coret. Coretan di atas kertas itu kian banyak. Kata Psikolog yang aku tonton di youtube kanalnya, itu menandakan Mei memiliki kecemasan yang tinggi. Cemas terhadap apa? Duhai cintaku, apa gerangan yang tak kuketahui tentangmu? Menurut Sobri, cara menarik simpati wanita idaman adalah dengan bersikap bijak.
“Mei, aku mengerti perasaanmu itu. Beruntunglah sekarang kau kerja di sini. Dekat dengan kedua orang tuamu juga. Saranku, berkenalanlah dengan orang-orang yang penting saja dalam hidup. Jangan sampai tepengaruh bahkan terlibat lebih jauh dengan teman-teman baru yang mungkin akan sama dengan temanmu di kota. Banyak orang yang tak bertanggung jawab, manis di lidah, demi pinjam uang. Ujung-ujungnya tak dikembalikan utangnya. Itulah kenapa aku tak suka meminjami orang yang baru aku kenal.”
“Begitu ya, Mas?”
Dengan nada yang bijak dan berusaha membuatnya nyaman, aku menasihatinya lagi. Ia mulai memandangi wajahku. Matanya teduh, seperti ada danau yang ingin kuselami airnya. Mata ketemu mata, larung bersama. Ada kesedihan di matanya, kebahagiaan, harapan dan kecemasan. Entah aku yang menjadi super peka atau memang hanya menerka-nerka. Aku tak tahu.