Tubuh masih syok dengan kenyataan bahwa mafia bank abal-abal nekat mengakhiri nyawa orang tua Toni. Aku lupa, seharusnya dibiarkan saja kedua orang tua Toni dalam kondisi menggantung dua minggu lalu itu. Agar bisa diautopsi dengan baik, jejak-jejak janggal kematian. Agar polisi bisa tahu itu adalah pembunuhan. Memang sadis para pemeras darah, pemburu jeritan yang tak segan-segan menyingkirkan pesaingnya. Aku tak tahu berada di pihak mana. Aku ingin memberitahu kepada Toni, agar ia usut dan tumpas kedurjanaan mereka. Namun dua pikiran dalam otakku berdebat satu sama lain. Sehingga yang menang adalah keputusan untuk bungkam. Anton sang saksi mata, telah berhenti bekerja di bank abal-abal itu. Ia pergi ke luar kota. Tampaknya ia tak ingin turut campur lebih jauh. Kini aku sendirian yang mengetahui penyebab kedua orang tua Toni gantung diri. Apa yang bisa aku lakukan?
Sementara itu, hubunganku dengan Mei meregang. Semenjak aku menyatakan cinta kepadanya. Ketika kerjaan kelar ia langsung pulang. Menghindari obrolan daring via pesan yang berbalas panjang. Selalu beralasan, bila aku akan bertandang. Mei juga tak punya kawan dirumah maupun dengan anak-anak magang. Pun di dusun ini, sungguh mungkin kesepian dan kutahu sisi periangnya menghilang. Khawatir ia menggugu saranku, untuk tak terlibat dengan siapapun seperti di kota Malang. Sebab itu hanya akan menyiksanya bila uang yang telah dikumpulkan, diambil orang tanpa rasa tanggung jawab dengan alasan berutang. Pelik jadinya. Orang tua Mei dan sesiapa yang mengenalnya, tak bisa memberikan informasi. Semuanya masih meremang. Apa yang membuat Mei bimbang. Ada apa dengan Mei, apakah ia merasa punya beban ketika kulontarkan kata cinta kala itu? Aku ingin Mei seceria sebelumnya dan tak masalah, bila impianku satu pelaminan dengannya tumbang. Apa yang bisa kulakukan?
***
Aku juga mengajar sendiri para santri, malam-malam usai kejadian mencekam itu. Kutahu Toni juga tak mengajar di sekolah. Katanya sakit. Namun seminggu berlalu, berlanjut dua minggu hingga sebulan. Baik di musala maupun sekolah, Toni tak muncul. Menyembunyikan batang hidungnya, tapi berhasil mengabarkan dukanya dalam diam. Terkaanku bila tepat, Toni menjauhi gibah tentang ayah ibunya. Memang pesat beredar, kedua orang tuanya masuk neraka. Kafir akibat nekat bunuh diri. Neraka selamanya, disiksa dengan cara yang sama. Desas-desus itu lestari hangatnya. Sebulan, masih hangat. Tak tahukah para penggunjing itu, bagaimana terpukulnya hati Toni?
Sampai suatu malam di akhir bulan itu, ada donasi datang. Kebetulan aku masih di musala. Uang itu untuk disumbangkan kepada warga yang punya utang, kata donatur. Aku yang menerimanya. Namun aku tak berani mengeksekusi. Hanya berani menyimpan. Sering kupanggil Toni via telepon, atau sekadar mengirim pesan. Nyatanya, nomorku diblokir. Kusering mengetuk pintunya, tak digubris. Uang itu akan kujaga dan menunggu Toni mengajar kembali. Berharap ia bangkit, mengelola keuangan lagi, membantu kaum papa. Telah sepurnama, Toni tak kelihatan batang hidungnya di musala. Ia tinggalkan impian besarnya mengelola musala dan pemberdayaan zakat infak di dusun ini. Ia mengurung diri. Aku khawatir Toni nekat bunuh diri, tersebab keyakinanku bunuh diri itu menular. Khawatir depresi menjangkiti mentalnya yang telah tumbang, digerus pemburu jeritan.
Mafia itu berhasil memulung jeritan Toni, jerit histeris menyaksikan kedua orang tuanya wafat dengan cara tak biasa. Malam itu otak berdebat, mencari-cari alasan untuk bertindak atau urung berniat baik. Niatan baik yang menang. Maka pagi harinya, kuketuk pintu rumahnya. Aku ingin melakukan pengakuan. Bahwasanya aku tahu siapa dalang pencurian jagung setengah hektare itu, dan siapa pembunuh kedua orang tuanya.
“Tok tok tok.” Onomatope ketukanku.
Ketukan pertama tiada suara. Mungkinkah Toni yang rajin Subuh ini kesiangan? Ketukan berbunyi lagi kali kedua. Kali ini dengan salam dan menyebutkan namaku. “Aku Givesa. Ton, aku ingin bicara denganmu.”
Lama sekali Toni menanggapi. Kudengar slot pintu kamar digesernya. Terdengar derit pintu terbuka. Ia keluar dari kamar, membuka kunci pintu masuk dan menarik gagang pintu. Penampakannya acak-acakan. Sarung tergulung semrawut, tampil dengn singlet dan, maaf, bau badan seperti tak mandi berhari-hari. Ia menyambutku dengan muka kumal. Sunggingan senyum pejuang kaum papa itu lingkap. Orang alim yang digadang sang kiai muda karakternya melenyap. Ia pandangi mataku dengan alis yang mengerucut. Tanpa kata, saling bersitatap. Semenit kami bertahan dalam tatap. Sedang diriku yang telah bulat untuk berkata pun kelu, dipaksa berkata pun, malah tergagap.
“Em… A-aku. Ingin kau, buka blokiran nomorku. A-ada, ada banyak hal yang ingin kutanyakan.”
Toni menatap penuh curiga. Menelisik kegagapan ini. Bukan hanya ciut nyali, tapi lantaran baunya yang mereduksi konsentrasi. Aku terapkan ilmu biologi SMA, tentang konsep otak dan hidung yang menghirup bau menyengat. Maka kuhirup bau itu, dipaksa hirup lebih banyak dan lama. Tahan tiga detik, lalu kulepaskan. Itu berhasil. Membuat indera pencium lebih toleran dan kian menghilang baunya. Nyaliku bisa kuperbaiki, agar tak gagap lagi. Demi menghiburnya yang menaruh curiga. Urung mengakui salahku kini. Apakah hasil hibernasinya di kamar, ia mampu menemukan pelakunya? Dan aku, dikiranya terlibat? Entahlah.
“Sebulan kau menghilang di peredaran. Apa kau tak merindukan santri dan murid-muridmu? Bagaimana pemberdayaan donasi yang tertumpuk di musala? Terhentikah langkahmu untuk…”
“Enyahlah. Aku tak sudi bicara dengan orang munafik.”
Pintu itu dibantingnya. Tak biasanya ia seperti ini. Hilang kesempatanku untuk membuat pengakuan. Kembali diriku kerumah, membuka Rumah Gadai. Bersih-bersih, dan bersih diri. Lalu bersiap menyambut dua gadis SMA yang magang, dua karyawan lulusan SMA dan Mei. Gadis berambut sepundak yang amat menyiksaku dengan diamnya kini.
Pikiranku saling terajut masalah demi masalah. Antara Toni dan Mei. Seandainya aku tak mengungkapkan bahwa aku mencintai Mei, mungkin hubunganku dengannya akan baik-baik saja. Pada peristiwa menonton di bioskop untuk kesekian kalinya, dengan nuansa romantis semestinya ia teranasir percintaan. Terjebak asmaraloka. Sayangnya saat melamar dengan cincin, aku dabak gagap. “A-aku c-ci-cin-ta, ka-mu. Ma-maukah ka- kau...”
Sudah memakai busana terbaru, demi menampakkan kegagahan. Ternyata Givesa si pengecut yang muncul ke permukaan. Dan, aku menyesalinya. Hari ini, semoga Mei masuk. Niat hati ingin meminta maaf, dan berharap ia melanjutkan kehidupan seperti biasanya. Bekerja dengan keceriaan semula. Meski setahuku, bagi perempuan, hubungan pertemanan tak akan sama kembali.
***
Sampai jam sembilan pagi. Mei tak masuk kerja. Nomorku terblokir. Parah, kenapa Toni dan Mei main blokir segala. Sialan. Mereka diperhatikan malah melonjak. Ah, tidak. Bukan begitu. Ternyata Toni sudah daring. Ia tak memblokir lagi. Seperti targetku, aku harus mengakui salahku. Kudu buat pengakuan. Padahal sudah kusiapkan kata-kata, “Ton, maaf sebelumnya. Aku sebetulnya tahu siapa dalang pencurian jagung setengah hektare itu. Aku juga tahu siapa yang membunuh kedua orang tuamu.”
Kata-kata yang kelu tadi, akhirnya kusampaikan lewat ketikan jari. Aku hati-hati menulis agar tiada kesalahan pengetikan. Dan, akhirnya dengan basmalah, ketikan itu kukirim. Langsung ia membaca pesanku. Namun tiada balasan.
***
Hal yang paling tak dinyana adalah datangnya sebuah pesan daring. Malam hari, ketika Toni absen ke musala lagi. Aku ditemani dua sahabatku, Roy dan Soni. Akhirnya mereka turut berjamaah, telah tiga hari duduk di musala. Ini hari keempat duo sahabatku di musala. Katanya, tenang batin mereka ketika duduk di musala sewaktu Magrib hingga Isya. Tenang batin, selama empat hari ini. Fenomena duo sahabatku ini jadi hiburanku, di tengah kepala yang kelabu. Namun pesan daring menggangguku. Ada swafoto Mei yang mengurai rambut sepundaknya, wajah tanpa riasan dan datar. Terpampang jelas di pesan daring di akunku. Disertai kata-kata umpatan. Ini karyawan anda kan? Tanya pesan yang masuk itu.
Berdasarkan data pada platform kami, karyawan anda atas nama Mei Dwi Pinurbo telah meminjam sejumlah uang dan menandatangani kontrak perjanjian digital saat aplikasi terunduh. Teman anda sudah melanggar perjanjian, dan memiliki keterlambatan membayar satu minggu. Sampai saat ini teman anda belum punya iktikad baik. Bunga akan bertambah setiap harinya. Jika tidak segera dibayarkan, maka data teman anda akan disebar ke seluruh kontaknya. Kami akan permalukan dan mengungkap aibnya. Akan kami buat hidupnya tidak tenang sampai bisa membayar tagihan.
Jadi, ini yang membuat Mei berubah drastis? Aku harus cepat-cepat ke rumahnya. Sebelum terlambat. Kulihat Roy dan Soni duduk terpekur. Aku tak mendengar mereka berzikir, maka kupanggil mereka. Mengacuhkan santri di depanku yang sedang kusimak bacaannya. "Ssst! Roy, Son!!"
Keduanya menoleh. "Gawat! Mei. Antarkan aku!!"
"Yang belum ngaji bagaimana? Salat Isya siapa yang jadi imam?" Soni celetuk.
"Salah satu dari kalian."