Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #15

Usut dan Tumpas


Ibu kandungku sendiri telah menghilang dan katanya pantang ingin menginjakkan kaki di negeri sendiri. Betapa susahnya mengurus administrasi perpindahan dari negeri sendiri ke Negeri Jiran. Dulu aku pasang tampang bodoh amat. Mungkin itu yang membuat ibu kian sulit bepergian keluar dari negaranya sekarang. Tapi semisal ibu kembali, aku tak menaruh dendam. Dendamku hanya pada ketakberdayaanku hidup mandiri. Aku hanya perlu membuktikan, apa-apa yang biasanya melibatkan ibu, aku bisa tanpa ibu. Aku rela tak memiliki ibu. Sekarang aku harus fokus pada yang bisa kumiliki. Yakni Mei, bila berhasil lolos dari maut dan bapak.

Bapak, hanya dialah satu-satunya keluarga berhubungan darah yang akan kumiliki. Aku akan mengindahkan wasiat Mei. Bahwa aku kudu berangkat ke Malang. Tuju rumah sakit jiwa yang ada di foto wasiat Wahyu. Akan kuboyong kembali bapak pulang. Sudah terlalu kesepian diriku. Memang benar, ayah dan ibu Mei dititipkan kepadaku tetapi keberadaan orang tua yang kutanggung ini tak bisa seratus persen menggantikan orang tua kandungku sendiri.

Mei masih kritis. Tiga hari berada di ruang ICU. Lehernya digips. Napasnya disokong selang dan tabung oksigen. Ayah Mei memintaku pulang. Tiga hari lamanya aku tak pulang. Dimintanya oleh ayah Mei agar aku istirahat dan mengikhlaskan segala apa yang akan terjadi kedepannya. Justru kesedihanku memuncak di sini, ketika ada kata ikhlas. Menangis yang tertahan tiga hari ini akhirnya tumpah ruah. Membayangkan, elegi kehilangan yang belum terjadi.

“Saya hanya ingin Mei tetap hidup Pak. Hidup untuk merasakan udara kebebasan baru. Hidup dipenuhi rasa syukur. Bila memang sudah selayaknya ia berlayar, pergi tentang ke alam barzah saya ingin dia bersyahadat.” Ucapku di tengah derai.

“Semoga Allah menentukan yang terbaik Nak. Tenanglah dan serahkan semua kepada Allah, pasrah yang mana keinginan kita akan dikabulkan-Nya.” Tanggap ayah Mei dan sejurus kemudian ia memelukku.

“Sekarang pulanglah Nak. Istirahatlah. Sudah tiga hari kau di sini. Biarlah yang menjaga Mei itu aku dan ibu. Nak Givesa punya pekerjaan yang harus diutamakan. Sekali lagi aku sampaikan, serahkan semua kepada Allah. Tolong, penuhi permintaan bapak ini."

***

Aku menunggu kendaraan umum melintas agar tak merepotkan Roy dan Soni. Pulang sendiri, dan rehat sejenak dari penatnya kening. Sungguh bahu amat berat, serasa jarum menusuk ke tulang-tulang. Lengan juga makin linu. Mata berat sekali. Sembari menanti kendaraan umum melintas, untuk bisa ke Dusun Pelita. Pikiran kembali membuka arsip bacaan yang telah rampung dilihat tadi malam dan malam-malam sebelumnya. Tentang kejadian utuh, alasan Mei mengakhiri hidup. Rupanya ia ingin membebaskan orang tuanya dari beban utang. Bebas memang, tiada berutang sedikit pun. Namun Mei merepotkan dirinya sendiri dengan tumpukan utang sendiri. Hingga ia memohon kepadaku untuk menjualkan sepeda motornya. Agar lunas utang-utangnya. Mei telah mengaku bahwa ia gagal membahagiakan kedua orang tuanya. Sehingga ia ingin mengakhiri detak nadinya. Menyerahkan orang tuanya untuk kurawat. Dalam pelamunanku memikirkan nasib Mei, dabak Toni datang dari ruas jalan berlawanan. Ia menyeberang dan menghampiriku. “Mau pulang? Ayo!”

Toni melajukan pelan sepeda motornya. Ia tak berkata sepatah kata pun dalam perjalanan. Aku pun sedang kelelahan. Dalam benak, hanya ada ranjang yang bisa kupikirkan untuk memanjakan punggungku. Selang beberapa menit, Toni menghentikan laju kendaraan. Terhenti ke tempat yang cukup sepi. “Kenapa lewat sini?” tanyaku.

“Cari jalan pintas.”

“Kenapa berhenti?” tanyaku menelisik. Aneh. Di tengah jalan rawan begal, ia malah berhenti. Aku melepas helmku, demi meringankan beban di pundak.

“Aku mau kencing di semak-semak.”

Mentari pagi seharusnya sudah memanasi punggung anak sapi. Waktu duha, masih dingin di tempat yang rimbun pepohonan di kanan dan kiri. Memang jika dinalar, pagi begini begal tak akan menampakkan batang hidungnya. Lagipula bila melalui jalur ini, lebih dekat menuju rumah.

Aku melilau suasana pagi itu. Sembari menunggu Toni rampung buang hajat. Melilau pepohonan yang mengerikan, bila berlalu di jalan sempit ini. Akan tampak gelap dan mencekam di malam hari. Terbesit dalam hati, mungkin Toni sudah selesai kencing. Ketika berbalik, dabak hantaman kepalan tangan mengenai pelipisku. "DUAKKK!!!"

Tubuh yang lelah ini tak kuasa menahan bebannya. Nyaris pingsan. Tiada sempat membalas.

"DUAAKK!!

Terkapar, aku tumbang. Aku menelungkup agar kepalan tangan Toni tak menyerang wajahku. Tetap bertubi-tubi ia memukuli kepala. Aku tahu apa maksud serangannya. Agar aku mati gagar otak. Aku pasrah, izrail datang pun tak masalah. Setidaknya aku mati, bukan tertular hasrat bunuh diri.

"DASAR PEMBUNUH! MATI KAU!!"

"Aku bukan pembunuh," kilahku. Badanku yang terngkurap, diangkat dan dibaliknya. Tubuh ini dibantingnya, dengan sekali tendangan. Terlempar jauh dan terlentanglah tubuhku. Posisi yang empuk untuk ditonjok di muka. Bertubi-tubi. Aku siap berdarah-darah. Tangannya menghujam pipi. Rahang berdenyut kesakitan. Lalu hidung seperti patah. Terasa aliran darah mengucur pula dari hidung. Lagipula, aku yang telah remuk badan ini. Rela napas berhenti kapan pun.

"Akan kumasukkan kau ke penjara! Membusuklah di sana," terengah-engah napas Toni dan ia berhenti menghajar habis-habisan tubuhku. "Aku tahu kau mengincar rumahku. Tapi kenapa kau tega membunuh orang tuaku?’

Sekuat tenaga kucuatkan kata-kata dari mulut yang kesakitan dan lemah. Kubetulkan sedikit rahang yang sakit. Kebetulan ia terhenti menghujam muka, hanya menindih badanku saja. Ini kesempatanku menyampaikan apa keinginan terakhirku.

"Bunuh aku Ton. Jika ini memang suratan akhir hayatku. Seret aku, seret! Aku tak berarti lagi dan mungkin bui adalah tempat ternyaman. Kau tak akan pernah percaya, kalau aku bukan pembunuhnya. Aku mana tega, melihat orang yang kucintai saja berniat meregang nyawa, tak tega. Sebegitu parahkah aku tak bisa menolong orang yang kukasihi? Aku memang menginginkan rumahmu, tapi bukan jalur membunuh. Maafkan aku baru memberi tahu. Aku yang salah, menyentuh mayatnya. Seharusnya kubiarkan saja, agar polisi segera menangkap yang membunuh orang tuamu.”

***

 Toni mempobong badanku yang melemah. Sepertinya ini yang dinamakan sensasi setengah sadar. Ketika lunglai semua anggota badan. Remuk. Semuanya nyaris susah digerakkan.

"Angkat kakimu, hati-hati. Kita kembali ke rumah sakit sekarang," pinta Toni.

Sekuat tenaga, kaki kuangkat. Duduk dan berusaha tegak di boncengan. Pusing, ingin tumbang. Sampai Toni berada sempurna berancang-ancang menancap gas motornya. Saat itulah aku condong, menyandarkan badan ke punggungnya. Tangan kiri Toni memaksa kedua tangan yang lemas memeluknya. "Jangan dilepas!"

Lihat selengkapnya