Terasa tubuh terlahir kembali. Lahir dari rahim ujian sang nyali. Keluar dari liangnya, dengan kulit kepribadian yang masih merah. Membuka raga dari persepsi baru yang belum dicoba. Seolah baru datang ke dunia. Dimandikan keberanian, kemenangan, keakraban dan berdamai dengan masa lalu. Tali pusar keberingasan yang sempat melilit jiwa, dipotongnya rapi dengan ketabahan. Selamat bertemu dengan versi terbaru dari mentalku, wahai dunia. Dengan akalku yang perlu dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan di tempat yang berjibun kegetiran, kepalsuan, kasih sayang, cinta, kepercayaan, dan keyakinan.
***
Siang itu, sehari usai bapak menginap di Rumah Gadai. Kami berdelapan, berkumpul di tempat pemakaman umum. Ziarah ke makam orang tua Toni. Sobri dan istrinya, Mei, Bapak, Roy, Soni, Fandi dan aku berkumpul. Kami berdoa di atas gundukan pusara kedua orang tua Toni yang telanjur difitnah bunuh diri. Sementara buah hati kedua mendiang, terpukul dengan fitnah itu. Bukan sekadar dipukul, tapi diremukkan palu godam keputusasaan. Dihujani cibiran dan pandangan mata jahat dari warga yang terus menggaungkan kematian yang mengenaskan. Penyebab Toni mendekam berhari-hari dalam rumah. Hibernasi. Entah makan apa. Sampai dirinya yang senang kerapian, ditemukan tak terawat. Acak-acakan. Bahkan maaf, sampai bau serupa bangkai lantaran lama tak mandi.
Mati suri mental Toni. Pribadi sakhi sang guru ngaji lenyap. Akalnya tercekat. Gelap mata, membuatnya menerka, mencari kambing hitam atas kematian mendiang.
Saking gelap mata, aku jadi bahan prasangka. Toni menonjok pipi ini bertubi-tubi. Mengira aku dalang pembunuhan dan pencurian. Sekujur badan yang kelelahan mengurusi Mei kala itu, tambah remuk sampai-sampai tak kuasa melangkah.
Membabi buta memukuliku ia main hakim sendiri kepadaku. Aku telah pasrah, terbaring dengan ditindihnya. Bersiap, kala nyawa di ujung tanduk. Mati dengan sendirinya aku segan. Hidup kurang kegairahan. Entah bagaimana ia akhirnya sadar, bahwa ia salah sasaran.
Dirinya juga yang mengantarku ke dalam bangsal. Ruangan khusus yang hanya ditempati satu orang. Aku terbangun dengan urat di punggung tanganku yang tertusuk jarum. Ia pun menerima permintaan maaf dariku. Sebaliknya juga berlaku, ia telah kumaafkan walaupun aku hampir tewas di tangannya.
Di atas pusara ini bukti bahwa kami bisa bersatu. Menyingkap kabut kemunafikan. Saling menghangatkan hubungan, dan berdoa untuk kedua mendiang yang syahid di sisi Tuhan. Betapa bahagianya Toni kini. Di tengah elegi, ada keyakinan religi dalam dirinya yang mengiringi. Yakin bahwa yang terbunuh, tak berdosa. Sudah pasti dijanjikan surga, dan tinggal abadi. Bahkan tanpa hisab, bahagia di hadapan Ilahi. Nyaris saja retisalya Toni tak terjahit lantaran nestapa mendiang yang dijamin neraka, bila tak terkuak apa yang diduga warga sebagai bunuh diri. Nyaris saja hubungan kami meregang dan korbannya adalah para santri mengaji. Untungnya semua usai. Santri mengaji tetap diajar dengan dua guru ngaji. Pun kadang dibantu Roy dan Soni.
Kami yang jongkok sembari menengadahkan tangan, mengusapkan kedua tangan ke wajah. Tanda rapalan doa Toni telah usai. Kami bangkit dari jongkok dan kembali tegak berdiri. Sejurus kemudian aku memulai pembicaraan, seolah takjiyah. Menghibur yang sedang berduka.
"Sekarang kau bisa tenang, Ton. Ayah dan ibumu telah syahid. Jaminan keabadian bisa dinant. Kau pun bisa hidup dengan tenang."
"Terimakasih, Ves."
"Kalau boleh memberi saran, saya ingin menyampaikannya kepada kalian." Ujar bapak kepada orang yang masih mengitari pusara. Sebelum buyar, aku menantikan ujaran bijaknya. Bukankah ia telah waras? Ia tahu yang boleh dan tak boleh diladeni dari daya imajinasinya. Maka kami siapkan telinga, menggugu kata bijak untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama pikiran warasnya menghilang, kini kembali.
"Anggap kita membuka lembaran baru dalam hidup. Kita tutup luka yang lampau. Laksana kita terlahir kembali, dengan pribadi yang baru."
"Sekarang, hanya ada satu tujuan. Semua yang hadir sekarang ini harus sepakat. Tak ada saling sikut. Semua fokus berlomba. Kita itu sama. Tua-muda, miskin-kaya. Punya benar. Punya salah. Bagi yang tua seperti saya, belum tentu di sisi Allah lebih mulia. Sedang yang muda belum tentu banyak dosa. Semua orang itu sama, kecuali yang bertakwa. Jadi, mari. Mari kita berlomba. Siapa yang paling bertakwa menurut Allah diantara kita. Saya pun ikut berlomba."
"Bismillah," sahut istri Sobri yang menurutku istikamah. Perilakunya lebih salih daripada kami semua. Ucapannya itu membuat kami juga tersentak. Lalu serentak membaca basmalah.
Senyum merekah di wajah kami masing-masing. Dan jangan tanya senyum Mei yang baru. Pada pribadinya yang baru. Senyumnya segar, tak jemu kuperhatikan rekahan sekuntum mawar di bibirnya. Indah, disinari wajah yang mulus nan cerah. Dibalut baju dan kerudung hitam yang membuatku, terfokus. Menjurus hanya pada sinar rembulan di wajahnya.
Sayangnya, Mei kini sadar aku menatapnya. Ia balas menatapku. Aku mulai malu, ketika ia tantang diriku agar saling tatap. Tapi enak juga, bila bersitatap di tengah orang-orang yang tak sadar kami saling tenggelam di telaga rindu. Entah apa yang dirindukan Mei dariku. Sementara aku merindu senyum di pribadinya yang baru itu. Mawar yang ranum, sungguh indah.
Ah, rupanya aku kena dehaman. "Ehem," kata istri Sobri yang berada di samping Mei. Setidaknya aku telah menyelam sejenak ke telaganya, saat bersitatap tak sampai lima detik itu. Cukup membasahi relung hati yang tandus. Kulihat, istri Sobri menyikut lengan Mei. Lantas Mei seolah tersadar, bahwa ada yang mau disampaikan Mei kepada khalayak.
"Kalau sudi, mampirlah ke rumah saya hari ini. Saya telah memasak prasmanan untuk acara tasyakuran. Nanti saya ceritakan apa yang membuat saya ingin menjamu orang-orang baik di sekeliling saya ini. Saya berharap tak ada yang terburu atau menolak undangan tasyakuran ini."
"Dengan senang hati, aku akan datang," sahut Roy.
"Oh, tentu. Sudah pasti. Bosan masakan Vesa yang cuma telur dan telur terus," seloroh Soni mengundang anasir ceria.
Bergegaslah kami keluar dari area pemakaman. Tuju sepeda motor kami yang tertata di parkiran pemakaman luar pagar. Kami lajukan perlahan, dengan berpasangan. Toni minta sendiri untuk membonceng bapak. Sobri-istri, dan Roy-Soni tak terpisahkan. Fandi memilih sendiri. Aku dan Mei, bak pangeran dan seorang putri. Berdua berada di depan, dikawal pemotor lain. Mereka bak prajurit dalam angan asmaraloka yang kucipta. Entah bagaimana, rupanya khayalanku sefrekuensi dengan Mei. Mungkin ia membayangkan akulah pengerannya. Terbukti dugaan ini, dengan kedua lengannya dijulurkan. Merengkuh badan. Ia memeluk hangat. Disaksikan malaikat. Prajurit riang mengawal. Begitu pula riangnya para setan yang memperindah pelukan tak halal ini.
***
Perjamuan syukur atas karunia Maha Suci tertata rapi di atas meja. Pinggan ditumpuk daging di atasnya. Sayur bening berkuah sepanci yang mengepul asapnya tersaji di tengah-tengah lauk lain. Masing-masing sepiring tahu, tempe, secobek sambal, stoples peyek. Mereka mengelilingi sayurnya. Nasi jagung teronggok di bakul. Berasap yang menggiurkan. Harum, bersaing dengan nasi putih sebelahnya.
Aku tahu pikiran Roy dan Soni, tentang perlombaan mengambil nasi sepiring menggunung. Berhias lauk yang mengelilingi lembah nasinya. Air liurku diproduksi berlebih di dalam mulut ini. Lalu kutelan perlahan. Aku pernah merasakan masakan Mei. Jadi tak mungkin aku kalah berlomba lahap dengan dua kawan gondrongku. Dengan cepat kita bertiga mengambil piring. Walaupun di pandang orang tampak santai, padahal dalam jiwa menggebu-gebu. "Ayo cepat, cepat!"
Kami pindah ke ruang tamu setelah menciptakan sepiring gunung kuliner. Bodoh amat tatapan Sobri dan Fandi yang sok diet. Alah, dasar Sobri dan Fandi. Sok jaga citra diri. Kalian ya juga pernah semenggila kami.
Tak lama, disusul yang lainnya duduk melantai dengan kami di ruang tamu, sebab ruang makan itu kecil. Ruang tamu telah dikondisikan, digelar karpet di sana. Semua keluarga Mei berkumpul, di sisi dinding menghadap pintu masuk.
Meskipun aku telah mengumumkan. Bahwa diriku terlahir kembali dengan pribadi yang baru. Namun insting lama untuk membuas soal makan masih terbawa di evolusi diri versi sekarang.
Usai makan, kami semua saling diam. Menikmati gerakan lambung yang sedang riang terisi penuh makanan lezat. Terpejam sesekali. Ngantuk istilahnya. Kekenyangan.
"Kalau boleh tahu, dalam rangka apa Nak Mei mengundang kami makan-makan?" tanya bapak menelisik.
"Biar orang tua saya yang menjawabnya," jawab Mei tampak malu-malu.