Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #17

Siapa yang Membawanya Kemari?


Jangan tanya soal malam pertama. Bagaimana adegan juga sensasi yang luar biasa di dalam kamar. Oh jangan pura-pura tak tahu. Itu karena kau telah mengalaminya lebih dulu. Jangan salah paham soal bapak yang kurang dari dua bulan menikmati tidur di kamarnya itu. Khawatir mengira gara-gara mau malam pertama ini, ia pindah menginap di rumah depan. Kalau kau tak kuberitahu sekarang, dikiranya aku mengusir bapak secara halus, agar ia pindah ke kamarku di Rumah Gadai. Lalu terkaanmu, bapak pergi dari kamarnya atas ucapanku yang mengusir halus, tersebab ini acara yang sakral bagi suami istri muda. Bagi pengantin baru. Bulan madu di gubuk sendiri istilahnya. Ketahuilah, ini atas karsa bapak sendiri, kalau ia ingin tidur di Rumah Gadai. Percayalah. Bukan ulahku. Perkiraan, katanya bapak, ia ingin sebulan tinggal di sana. 

"Untuk sementara waktu, bapak menginap bareng Roy dan Soni. Mereka anak-anak yang baik. Bapak senang tinggal bersama mereka. Bapak akan memasak untuk mereka juga. Kamarmu nganggur di sana. Sayang juga bila kamarmu yang di sana dibiarkan kosong. Lagipula, sabun dan barang-barang bapak juga masih ada di sana," pintanya sendiri. Langsung kusambut meriah permintaannya. Daripada mengikis tabungan untuk berlibur, bulan madu di gubuk sendiri itu jauh lebih hemat.


Engkau tahu bagaimana hidup berdua. Bagaimana susah senangnya hidup paska pesta pernikahan. Untungnya aku menghindari hal itu. Tepatnya, mengurangi resiko salah perhitungan yang mendesak kami kian terlilit utang. Bersama istri aku sepakat, untuk nikah sederhana. Sebagaimana meminta kepada Sang Maha agar diberikan cinta sederhana, sehingga yang dipintal untuk kehidupan rumah tangga adalah pintalan kesederhanaan. Baiknya tabungan tak dihamburkan demi jadi raja dan ratu barang sehari itu. Aku belajar darimu, kawan. Belajar dari betapa borosnya pengeluaran sewaktu menikahmu dulu. Secara percaya diri telah merekap uang yang akan keluar. Realitanya membengkak. Beruntungnya istrimu juga bekerja, mertua kaya raya. Dengan tenda dan singgasana yang mewah seperti itu masih bisa ditalangi bersama. Suara dentuman bertalu-talu dari sound system menggetarkan sekujur badan juga tak mungkin aku setel di KUA. Biarlah, aku dan istri begini adanya. Duduk di singgasana sederhana. Meski dikira golongan kaum papa. Oh, tak masalah kalau jadi buah bibir begitu. Tak berbahaya sama sekali atas cibiran orang-orang terhadap kami. 

Engkau juga lebih paham. Sependek yang kau tahu minimal, atau sepanjang pengetahuanmu. Ketika berdua di gubuk dengan istri, masa-masa menyesap madu seolah tiada habisnya. Serasa kau ingin bercumbu dengan permaisuri tanpa tahu waktu. Tak jauh beda dengan apa yang kualami. Sehingga bapak mengerti akan hal itu. Semoga klarifikasi ini sudah jelas. Tentang bapak dan keputusannya. Namun, aku tanya satu hal hari ini. Heran aku dibuatnya, bahkan menaruh curiga kepadamu. Sosok yang lengkara untuk bermukim di negeri ini telah kembali. Bukankah negeri yang disinggahinya menyajikan kemewahan dan kesejahteraan? Bukankah atas pernyataannya tak akan berpijak lagi ke bumi pertiwi? Lantas, siapa yang membawanya kemari?

***

Rupanya kau menjadi telik sandi untuk sosok yang kusebut lengkara itu. Bagaimana mungkin ia tahu aku berhasil meraih impian. Bila tiada yang melaporkan. Tahu aku dan Mei menempati rumah yang sempat terjual kepada Toni. Ia tak mungkin tahu sebetulnya. Apalagi sepeninggal Toni, diriku ditemani istri tetap mengajar ngaji di musala, yang sebentar lagi menjelma jadi masjid. Telah dibuatkan pondasinya untuk perluasan gedungnya. Keramik didatangkan berundak-undak susunannya. Keramik yang ditujukan untuk memanjat-manjat dindingnya telah berundak pula. Batu bata dan pasir Takmir mulai dibentuk. Toa calon masjid ini juga dipersiapkan. Ada sudut untuk menara. Sementara kubah masjidnya menyusul. Mengajar di tengah kerumunan bahan-bahan bangunan dan pondasi yang melingkari musala.

Pemberdayaan zakat infak masih berlanjut. Ada pungutan berkah, jimpitan beras yang dijadikan satu. Di Musala, beras itu bisa diminta kepada yang memegang kunci. Dulu Toni, sekarang aku yang memegang kunci. Para janda yang kehabisan beras bisa datang menjemput haknya barang sekilo. Para pejuang pelunasan utang, salah seorang keluarganya boleh menjemput haknya itu. Orang-orang yang hidup kekurangan tapi selalu menahan diri agar tak meminta-minta, ia juga boleh mengambil beras. Entah bagaimana ceritanya, kotak amal besar yang berisikan beras iitam pernah kosong. Selalu terisi, bahkan kadang berlebih satu atau dua karung.

Selain itu, tak mungkin sosok lengkara itu tahu, kalau Mei jadi istriku. Namun ia tahu namanya. Benarkah ia punya ingatan tajam akan Mei si adik Wahyu yang dulu ditemuinya masih dekil? Satu lagi, tentang usaha yang kupunya yakni Rumah Gadai. Juga mana mungkin ia tahu hanya dengan telepati. Tak pernah kuunggah satu pun di media sosial informasi Rumah Gadai, Mei, santri dan musala. Apalagi aku telah memprivasi akun media sosialku yang baru. Facebook yang lama kubuang, Instagram juga hanya untuk mengikuti dan membuka video yang viral-viral. 


Setelah lama terpekur, sehari setelah kedatangannya, aku bisa mengurutkan kronologi. Kronologi lengkapnya informasi yang diterima dirinya. Ketika kutanya, "Siapa yang memberitahu semua ini?"

Ia amat enggan menjawab. Aku bertanya, sebab ada rasa kurang nyaman akan kehadiran orang yang sudah kumaafkan secara lisan. Namun hati masih belum sembuh dari retisalya atas perbuatannya dulu.

Waktu terpekur itu, aku terduduk pada pukul dua dini hari. Semenjak duduk itulah, aku yakin telik sandinya adalah engkau. Telik sandi yang memikirkan, bagaimana bisa ia kembali dengan membawa putranya berusia lima tahunan. Aku pun memikirkan, banyak hal yang tak mungkin dilakukan oleh orang lain, kecuali dirimu. Sobri.

Ibuku kembali, Sob. Siapa yang membawanya kemari? Kalau bukan engkau, mustahil Roy dan Soni yang melakukannya. Ibuku kembali dengan membawa putranya yang bernama Azis bin Muth'im. Bahasa sehari-harinya Melayu, yang kadang beberapa kata tak kumengerti.

Ibuku kembali, tatkala bapak pindah ke Rumah Gadai. Hanya selang tiga hari suami istri yang baru menyesap madu ini, yang bercumbu tanpa kenal waktu. Kudu klarifikasi kepadamu kenapa bapak pergi. Eh, tahu-tahu kedatangan tamu. Ibuku dan anaknya, Azis, si saudara tiri juga turut serta. Kepalaku mulai semrawut. Kompleksitas yang terjadi bukan lantaran tak sudi ia kembali. Lebih tepatnya, aku takut tertular perangai buruknya lagi. Perangai yang suka memutus urat iba.

Bukankah aku telah menyampaikan, bahwa serasa diriku terlahir kembali? Bahwa aku telah keluar dari rahim ujian sang nyali, keluar dengan kulit kepribadian yang masih merah. Diri ini telah membuka persepsi baru yang sebelumnya belum dicoba. Seolah baru datang ke dunia. Dimandikan keberanian, kemenangan, keakraban dan berdamai dengan masa lalu. Tali pusar keberingasan yang sempat melilit jiwa, dipotong rapi dengan ketabahan. Apa aku akan kembali jadi yang dulu? Marah-marah, beringas, bahkan murka. Lalu marah kepadamu, Sob. Tidak! Aku tak akan lagi begitu. Aku ingin berdamai dengan masa lalu. Namun kenapa ibuku datang tiba-tiba?

***

Aku ingat, saat menyampaikan rasa sakit hati kepadamu. Semua tragedi kucurahkan hanya kepadamu sebagai karib. Bila sedang menginap, kau dengarkan penuh, cerita gelap itu. Awalnya sebelum berkarib, aku selalu jaga jarak dengan kawan. Lambat laun batin tersiksa pula memendam dan menanggung sendiri. Engkau hadir untuk jadi wadahnya kegelisahan. Roy dan Soni tak mengerti kisahku sebelum keduanya serumah di Rumah Gadai, di Dusun Pelita ini. Oleh karena itulah, orang yang paling nekat membawa ibu kemari adalah kau. Cerita kelam dimulai, ketika aku memutuskan rasa iba kepada bapak. Kuturuti mau ibu dan dibuanglah bapak olehku sendiri ke ladang antah berantah baginya. Padahal, setelah dua tahun lebih tak bersua, ibu sendiri yang memutuskan rasa iba kepada putranya. Dendam itu telah hilang, lalu dinding keangkuhan tak ingin menyapa itu roboh juga. Sehingga rasa getir ketika melihat ibuku di depan pintu amat tampak dari raut wajah ini. Bercampur serpihan rindu dan penyesalan. Diaduk dengan pribadi baru pemaaf

Apa mungkin, kau sempat menyimpan nomor ibuku kala itu? Ketika aku putuskan hidup sendiri. Bercerita semuanya bahwa aku akan blokir nomornya. Menghapus kontak dan akun media sosialnya. Keluar dari akunku sendiri. Buat akun baru yang privasi.

Apa benar begitu? Kau simpan nomor ibu. Setelah tabungan habis, dengan amat berani meminjam uang di aplikasi daring. Terjebak dua bahkan akhirnya tiga platform pemburu jeritan. Anak kuliahan yang sebatang kara, banting tulang seremuk-remuknya bekerja. Dikedor pintu oleh ibu pemilik kontrakan, dan dipanggil oleh nomor telepon tak dikenal. Berkali-kali, berjam-jam. Pesan chat pinjol yang tak kubalas, saking banyaknya bertumpuk-tumpuk. Stres, sampai tak mau membuka android selama sehari gara-gara pinjol.

Pesan-pesan yang mencekik, meneror syaraf-syaraf ketenangan. Memaksa otak anak kuliahan terus berpikir bagaimana cara melunasi. Namun sayangnya tak banyak punya relasi.

"Kesepakatan di awal meminjam bagaimana?" tanya abang-abang penagih, seingatku.

"Saya meminta keringanan Pak. Saya masih usahakan untuk membayar."

"Jangan menghindar dari tagihan anda. Data yg dicantumkan disini semua valid. Dengan adanya proses tindak lanjut, jelas ini hanya akan mempersulit anda. Kami harap anda tidak sepelekan pesan kami. Konsekuensi jelas akan berdampak dengan anda. Silakan lakukan pembayaran tagihan anda, sebelum jam delapan malam. Jangan menunggu sampai ada penagihan level lebih tinggi. Pastikan anda sudah fikirkan segala konsekuensinya."

Selesai meladeni satu pemburu, panggilan lain masuk. Satu ini mengaku dari aplikasi sebelah, dengan keterlambatan dua hari. Parah, pusing sekali kepala bercabang. Pinjol dan skripsi.

"Pak Givesa, masih bisa kooperatif perihal tagihan anda Pak?"

"Jangan sampai kredibilitas data anda buruk dan mengurangi tingkat kepercayaan kami kepada anda. OJK dan APPI akan mendeteksi baik buruknya kredibilitas nasabah dan akan mempertimbangkan ketika anda ingin pengajuan lagi, baik di aplikasi kami atau di aplikasi lain yang sudah berlisensi OJK dan APPI."

Tubuh gemetar ketakutan. Bingung mau jawab apa. Si penagih utang terus menerus bicara tanpa bisa disela. Tak bisa dipotong omongannya.

"Dana yang anda gunakan ini dana perusahaan bukan perorangan dan dari awal anda sudah mengetahui semua ketentuan dalam mengembalikan, kenapa bersikap seperti ini sekarang? Tolong dijawab."

Lihat selengkapnya