Jeritan yang Diburu

Mustofa P
Chapter #18

Epilog

I

Suyanto

Sisa-sisa Tsunami itu tidak membatalkanku salat, pikirku. Aku ingin mencoba salat. Di ruangan ini, yang kuduga tempat orang sakit. Kulihat genangan air bercampur sampah-sampah yang mengambang di kamar ini, memenuhi ruangan. Sampai setinggi ranjang teman-teman yang lain. Oleh karena diriku berada di dalam ruangan, amanlah dari sambaran petir. Pagi-pagi sekali, ketika azan berkumandang. Aku mencoba hendak turun dari ranjang. Menyangkal keberadaan genangan.

Benarlah, ketika menginjakkan kaki di dasar genangan, tepatnya lantai keramik. Air itu tiada beriak. Tak juga bergelombang. Kulangkahkan kaki keluar ruangan. Tangan menyentuh pintu jeruji. Rupanya slot pintu masuk ruangan digembok. Padahal aku ingin salat. Namun kesekian kalinya, penjaga tak akan percaya bahwa aku baik-baik saja. Pada intinya, hari itu aku urung salat. Lihat baju yang kukenakan, baju pasien berwarna hijau muda. Entah suci atau kotor. Meragu jadinya. Namun tak boleh panik. Panik, memicu kecemasan tinggi. Ingatanku akan hilang lagi nantinya akibat kecemasan. Tenang, yang kubutuhkan tenang. Tanpa obat penenang.

Dengan memejamkan mata. Mencoba mencari ketenangan. Napas dihela, ditahan, dan dihembuskan perlahan. Aku memimpin seisi kepala sendiri. Kudu ambil alih kendali memang. Abaikan genangan air dan tumpukan sampah yang menggenang. Tiga menit kemudian… mata kubuka. Betapa semringahnya diriku melihat genangan tadi menghilang.

Selagi diriku bisa membedakan, mana yang nyata dan mana yang khayalan. Aku bisa mengklaim, bahwa diriku sudah normal. Aku juga sadari, ini adalah rumah sakit jiwa. Tempat orang-orang tak waras berkumpul.

***

Aku tak tahu bagaimana cara memberitahu dokter dan perawat kalau aku sudah sembuh. Diriku ingin pulang. Mereka sering menguji tingkat kewarasan pasien. Namun mereka abai perkembanganku. Sekadar pemeriksaan rutin biasa jadinya.

"Pak Suyanto, apa ada yang sakit?" tanya perawat. Demi menunjukkan aku sembuh, diriku mengirit ucapan. Diganti anggukan.

"Dimana rumahnya Pak Suyanto?"

"Di Dusun Pelita, Sus," jawabku kepada suster. "Maaf Sus, Saya ini sekarang ada di mana?"

"Bapak ada di Malang. Di rumah sakit. Bapak lagi dirawat di sini. Semoga segera sembuh ya. Bisa bertemu keluarga lagi."

Aku butuh dialog yang menandakan orang waras. Namun bila terlalu banyak meracau, dikira belum pulih. Bagaimana ini?

Aku ditinggal begitu saja. Perawat hanya memeriksa tekanan darah. Ditambah basa-basi yang menganggap diriku belum pulih. Hari ini, lagi-lagi diriku gagal memberitahu. Beruntungnya, aku ingat. Pada hari Kamis, dua hari lagi. Psikiater akan datang memeriksaku. Kamis pun tiba. Diantarnya diriku, oleh perawat laki-laki menuju ruang psikiatri. Di sana sudah ada psikiater yang tersenyum. Aku balas dengan menjura, anggukan dan senyuman. Seketika senyuman psikiater hilang. Terkejut reaksiku bisa sesopan ini dihadapannya.

"Bagaimana dengan Tsunami yang melanda bapak hari ini?"

"Tidak ada, Bu. Tidak ada tsunami."

"Apakah bapak tidak takut berada di ruangan ini?"

"Sama sekali tidak."

"Oh iya, siapa nama anda tadi? Apakah anda tahu nama saya? Bagaimana dengan nama perawat yang sering mengantar anda?"

“Saya Suyanto. Nama anda Dewi. Nama perawat yang mengantar saya Budi."

"Anda punya keluarga? Apakah anda punya anak? Apakah anda tahu bulan lahir keluarga anda masing-masing?

“Saya punya keluarga. Istri dan juga anak saya. Gita nama istri saya. Bulan lahirnya Februari, usia 45 tahun sekarang. Nama putra saya Givesa. Bulan lahirnya Juni, 25 tahun usia sekarang. Saya sendiri September. Usia sekarang 47 tahun."

Sepertinya psikiater tersenyum puas. Ia mencatat sesuatu di atas laporannya. Tulisan yang kulirik coretannya unik. Tak bisa dibaca dengan jelas apa maknanya. Lalu ia diam sejenak. Ia sedang memikirkan sesuatu.

"Bagaimana pendapatmu tentang pengamen yang masih berkeliaran di jalanan?"

“Kalau itu, saya kurang paham. Semestinya yang memikirkan mereka adalah pemerintah dan saya sebagai rakyat biasa tidak berhak memikirkan mereka. Satu yang bisa saya lakukan adalah tidak menjadi orang-orang yang seperti mereka."

Psikiater tersenyum puas akan jawabanku. Sekali lagi ia mengangguk-angguk. Ia torehkan tintanya kepada kertas laporan itu. Perawat menuntunku kembali ke kamar. Tiada tindak lanjut setelahnya dari psikiater. Padahal kupikir aku akan dibebaskan.

***

Lihat selengkapnya