Jessica sudah menunggu setengah jam di teras rumah yang dipasarkannya. Pagar rumah dibiarkannya terbuka lebar untuk menyambut Moses, rekannya sesama agen properti tetapi beda kantor, yang akan datang bersama klien-kliennya.
Katanya mereka adalah sepasang calon suami istri muda yang sedang mencari-cari rumah untuk ditempati setelah menikah.
Semua pintu di dalam rumah itu sudah dibuka lebar-lebar supaya udara segar bisa keluar-masuk dengan bebas. Pengalaman gadis itu selama lima tahun bekerja sebagai agen properti profesional mengajarkan kepadanya untuk datang setidaknya tiga puluh menit sebelum klien tiba sehingga bisa membenahi keadaan propertinya terlebih dahulu agar lebih sedap dipandang dan memikat hati calon pembeli ataupun penyewa.
Gadis cantik berambut pendek sebahu dan dicat warna coklat itu meraih ponsel di dalam tas kerjanya. Ia lalu menelepon Moses.
Terdengar nada sambung selama dua kali yang kemudian berganti dengan suara seorang laki-laki, “Ya, Jess. Aku lagi on the way ke tempatmu. Klienku menyetir di belakang mobilku, jadi aku nggak bisa ngebut. Mohon sabar menunggu ya, Cantik.”
“Ok, kutunggu. Bye.”
Jessica lalu memutuskan sambungan teleponnya. Begitulah Moses, laki-laki tampan berusia tiga puluh tahun yang sudah dikenalnya sejak terjun ke dunia properti, biasa menggodanya.
Mereka berkenalan ketika sama-sama mengikuti training sebagai agen baru lima tahun yang lalu. Jessica yang waktu itu masih berusia dua puluh dua tahun dan awam dengan dunia real estate banyak dibimbing oleh pemuda itu selama masa training yang berlangsung selama lima hari berturut-turut di sebuah hotel bintang empat.
Moses meskipun sama-sama agen baru seperti gadis itu, namun dia telah berpengalaman sebagai tenaga pemasaran selama tiga tahun di sebuah pengembang properti yang cukup punya nama di kota ini.
Dia pernah menjual puluhan ruko dan rumah tinggal yang dibangun oleh perusahaan tempatnya bekerja. Komisi total puluhan juta di luar gaji pokok telah dinikmatinya selama dua tahun pertama.
Namun ketika krisis moneter terjadi pada tahun berikutnya, penjualan properti menurun drastis dan perusaahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan yang berat.
Moses akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri setelah gaji dan komisinya tidak dibayar selama tiga bulan. Ia meneguhkan tekadnya untuk terjun sebagai agen properti profesional saja yang tidak mendapatkan gaji namun mendapatkan murni enam puluh persen komisi dari properti-properti yang berhasil dipasarkannya.
Keputusannya itu ternyata tepat. Tak sampai setahun kemudian keadaan ekonomi negeri ini membaik dan daya beli masyarakat terhadap properti perlahan-lahan meningkat. Kini penghasilannya berlipat-lipat lebih besar dibandingkan sewaktu bekerja di pengembang properti dulu.
Tiba-tiba sebuah mobil Rush berwarna hitam meluncur masuk melewati pagar rumah yang terbuka lebar dan berhenti di samping mobil Sigra putih milik Jessica yang diparkir di carport.
“Hai, Cantik. Selalu keren seperti biasanya,” sapa laki-laki tampan bertubuh tinggi tegap itu sambil mengacungkan jempolnya. Jessica tersenyum simpul. Ia sudah terbiasa mendengar pujian itu dilontarkan oleh teman baiknya ini.
Pandangannya beralih pada dua orang muda-mudi yang baru turun dari dalam mobil Honda CRV warna silver keluaran terbaru yang diparkir di depan pagar.
Deg! Ulu hatinya tiba-tiba terasa sakit sekali. Dia mengenali pemuda berambut cepak dan berbadan kekar yang menggandeng tangan seorang gadis cantik.
Perempuan itu berdandan agak menor dan mengenakan rok mini yang ehm…memamerkan kaki panjangnya yang putih mulus tak bercela. Klien kesukaan Moses ini, gumam Jessica dalam hati.