Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.
“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”
Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?
“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatnya,” sahut pemuda itu seakan dapat membaca pikiran wanita itu.
Tubuh Wanda menjadi lemas seketika. Tatapan matanya kosong. Tommy yang jatuh kasihan melihatnya menghampiri wanita itu. Ia bersimpuh dan memegang kedua tangan ibunya. “Ma, Tommy minta maaf atas semua perkataan Tommy tadi. Selama ini aku sudah menganggap Mama seperti ibu kandungku sendiri. Percayalah, tak ada sedikitpun niat dalam hatiku untuk menyakiti perasaan Mama….”
Air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Wanda dan membasahi pipinya yang tirus. Dibelai-belainya rambut Tommy dengan penuh kasih sayang dan berkata, “Kau juga selau kuanggap layaknya putra kandungku sendiri, Nak. Tidakkah dirimu dapat merasakannya? Akulah orang yang telah mengasuh, membesarkan, dan mendidikmu….”
“Juga telah bekerja keras meneruskan perusahaan keluarga Papa demi membiayai hidup Tommy. Terima kasih banyak, Ma,” ucap pemuda itu sepenuh hati.
Wanda mengangguk-angguk mendengarkan perkataan anak kesayangannya. Bahkan aku telah melakukan perbuatan yang tercela demi melindungi masa depanmu, Anakku, gumam wanita itu dalam hati. Sedikit penyesalan singgah dalam hatinya. Teringat olehnya betapa dia dulu telah memberikan obat penggugur kandungan kepada Jessica dan mengatakan bahwa itu adalah vitamin. Aku telah berbuat sejauh itu, masa sekarang aku merelakan kau bersatu kembali dengannya?
“Tommy cuma ingin menikah dengan Sica, Ma. Bukankah selama ini Tommy jarang sekali meminta sesuatu. Bisakah kali ini Mama memikirkan perasaan Tommy?”
Pemuda itu menatap ibunya dengan sorot mata memohon. Wanda tak sampai hati melihatnya. Apakah aku harus mengabulkan permintaannya? Lalu bagaimana kalau gadis itu menceritakan perbuatanku dulu pada Tommy? Anakku ini pasti marah sekali dan aku bisa dibuangnya ke jalanan! pikir wanita itu galau.
Lalu dengan menguatkan hatinya, perempuan itu bertanya dengan hati-hati, “Apakah kau sudah mantap dengan keputusanmu untuk menikahi Sica, Nak? Takkan mundur barang sejengkalpun?”
Tommy menggeleng kuat-kuat sambil tersenyum penuh harap. Ibunya mengambil napas panjang dan menghembuskannya pasrah. “Baiklah, Anakku,” katanya menyerah. “Ajaklah Sica datang menemui Mama besok. Tentunya kami berdua harus ngobrol-ngobrol dulu kan, sebelum hubungan kalian melangkah lebih lanjut.”
“Terima kasih banyak, Mama!” seru Tommy senang sekali.
Dikecupnya kedua tangan ibunya berkali-kali sementara Wanda hanya memperhatikannya dengan hati yang perih. Anak yang kubesarkan dengan susah payah berani mengancamku demi menikahi gadis yang tak kusukai, batinnya sedih. Baiklah, kita lihat saja bagaimana reaksi Sica nanti waktu bertemu denganku. Kalau dia membeberkan perbuatan tercelaku dulu di hadapan anakku, ya sudahlah. Aku akan pergi dari rumah ini dan hidup sendirian dengan uang pribadiku, pikirnya tabah.