JIHAD JULIA. Jihad? Setidaknya ada dua makna yang bisa diberikan kepada kata-kata besar ini dalam konteks Julia Suryakusuma, sang penulis. Pertama, boleh jadi ini adalah jihad Julia Suryakusuma melawan apa yang dilihatnya sebagai kesempitan dalam ruang aturan keislaman, ruang sosial politik, budaya, dan lain-lain, khususnya di kalangan masyarakat Indonesia. Ruang yang menyebabkan dirinya merasa pengap di tengah derap kehidupan modern yang luar biasa dinamis ini. Kedua, boleh jadi ia juga berarti pergulatan internal (batin) Julia untuk terus memberikan makna kepada agama, bangsa, dan tanah airnya yang tak hendak dia lepaskan, meski barangkali dia rasakan bahwa penafsiran banyak orang atas ketiganya perlu dipersoalkan. Yang penting disadari pembaca sejak awal adalah, tanpa sedikit pun mengurangi nilai penting buku ini, ia adalah kumpulan kolom—esai—yang biasanya memang lebih merupakan opini penulisnya atas apa-apa yang dirasakannya perlu ditanggapi.
Memang bukanlah The Trouble with Islam Today karya Irshad Manji. Tak seperti Manji yang dengan jumawa menyebut proyeknya sebagai “Project Ijtihad”, siapa saja yang membaca buku ini akan merasakan bahwa Julia menulis dengan cara yang tak dibebani dengan arogansi dan kekenesan. Terkadang, bahkan, Julia tak menutup-nutupi kesan bahwa pendapatnya yang terkumpul dalam kolom-kolom ini sesungguhnya lebih muncul dari kegelisahan akibat terantuk-antuk dengan berbagai legalitas, keagamaan, isu-isu sosial politik, etnis, dan lain-lain. Kami percaya bahwa bahkan Julia sendiri pun tak pernah menganggap dirinya seorang mujtahid yang ijtihadnya perlu diikuti orang, betapapun luas wawasannya, betapapun tinggi kecerdasannya, dan betapapun terampilnya dia menulis—tulisan-tulisan Julia sudah menjadi rujukan internasional paling tidak sejak 20 tahun terakhir, bahkan di beberapa universitas menjadi bacaan wajib.
Tinggal terpulang kepada para sarjana (scholar, ulama) Islam, para politikus, dan pihak-pihak lain yang mungkin terkait dengan topik-topik yang dibahas Julia, untuk menangkap ungkapan kegelisahan dalam tulisan-tulisan ini dan kemudian meng-address-nya sebagai sebuah tantangan untuk dicarikan pemecahan yang sebaik-baiknya: untuk yang berkaitan dengan ajaran Islam, pemecahan itu tentu harus tetap autentik dipandang dari sudut ajaran Islam tapi, pada saat yang sama, melepaskan orang-orang seperti Julia dari apa yang dirasakan sebagai kesempitan yang membuat pengap itu. Mungkin dengan melakukan penafsiran yang “membebaskan” atau, setidaknya, memberikan penjelasan yang masuk akal sehingga siapa pun dapat menerima ajaran itu dengan keikhlasan dan kelapangan dada.