Angkuh asap dan gas emisi dari beberapa kendaraan berlomba kelangit. Tak lama kemudian akan disusul dengan gemerlap cahaya dari lampu jalan, kendaraan, gerai, dan papan reklame. Tidak terlalu buruk untuk di lalui, setidaknya kita bisa menganggap itu sebagai hiburan. Toh kesal dengan kemacetan hasilnya juga tidak lebih baik. Sedikit menipu diri lebih baik daripada hanya memprotes keadaan yang tidak akan berubah. Hanya dengan kesal dan mengeluh tidak akan pernah bisa memperbaiki lalu lintas Ibukota.
“Nanti lu jadi ambil penerbangan jam berapa?” tanya Irina, menghentikan gumamku.
“Paling akhir tentunya, atau mungkin bisa-bisa gagal take off malam ini, lihat saja; Sudah lima puluh menit kita cuma berjalan tak lebih dari sepuluh kilometer, sedang bandara masih jauh.” Jawabku sambil melemparkan senyum kecut.
"Gue takut lu ketinggalan pesawat lagi?" tanya Irina menambah risau hatiku.
"Ya kamu harus tanggung jawab dong, ini semua gara-gara laptopmu.” Jawabku kesal karena perempuan di sampingku yang tidak bisa diam sejak awal berangkat.
"Iya-iya maaf, habis takut gak keburu kalau nunggu Senin. Karena meski besok dan Minggu libur tapi gue punya acara penting dan bisa jadi akan makan waktu." Jawabnya.
Irina adalah teman kerjaku sekalipun beda departement namun dalam keseharian kami sering bersinggungan. Aku sebagai kordinator inspector lapangan, sedang Irina adalah supervisor logistic. Sekalipun kadang kami sering bersih tegang terkait barang yang aku kembalikan atau reject. Namun diluar pekerjaan kami cukup akrab. Jujur saja aku tak tahu apakah keakraban kami hanya di buat-buat untuk menipu diri atau kata orang jawa abang-abange lambe. Saling pura-pura akrab, saling sungkan karena sudah sering berselisih paham dalam bekerja, masak di luar pekerjaan juga tetap berselisih. Mungkin juga karena setiap akhir pekan kami selalu bersama dalam satu mobil inventaris kantor yang digunakan karyawan luar kota untuk pulang, jadi terpaksa akrab. Rumah perempuan yang selalu punya tema perbincangan dan perdebatan ini kebetulan searah dengan arah bandara.
Sibuk mengobrol dengan Irina akhirnya kamipun sudah sampai dirumahnya. Rumah dengan pagar tinggi hingga tak terlihat jelas bangunan di dalamnya, dari luar pagar hanya terlihat bagian lantai dua rumah dengan cat putih dan asesoris pagar balkon dari besi putih anti karat. Diapun segera beranjak turun dari mobil dan mengucap salam-terimakasih. Aku dan pak supir membalas sekenannya sambil membuka ponsel yang barusan terdengar bunyi notifikasi. Segera kumatikan ponselku sebab ternyata bunyi notifikasi low bath. Satu jam lebih perjalanan dan aku telah sampai di bandara. Setelah mengambil tas dari bagasi belakang dan berpamitan pada supir yang mengantarku. Bergegas lari ke arah pintu check in sebab waktu benar-benar mepet. Lalu lalang pengunjung aku lewati dengan berkali-kali menabrak bahu orang lain, entah berapa kali aku melempar kata maaf. Akhirnya aku sampai juga di pintu check in terminal G-1, na’as ternyata aku benar-benar terlambat. Padahal terakhir kali aku lihat jam di ponsel saat keluar kantor masih ada sisa waktu sekitar dua setengah jam lebih. Harusnya terkejar. Disinilah kenapa aku muak dengan penyakit kronis Ibukota. Macet.
Sekalipun marah, kesal itu semua percuma. Kuputuskan untuk mencari kedai di tenant-tenant bandara yang terkesan elit untuk men-charging ponselku dan mencairkan penat dengan segelas kopi. Mungkin aku bisa santai saat tertinggal pesawat karena ini yang keenam kalinya selama aku bekerja di perusaahaan baruku ini. Semakin terbiasa aku menipu diri. Sewajarnya untuk kesal dan menyesal namun karena sebegitu seringnya dan jika difikir toh itu sudah terjadi. Kesal, marah, mengumpat juga tidak merubah keadaan.