Jika Berteduh Namun Tetap Basah

Juu Ajisastro
Chapter #3

Diary

Akhirnya bulan ini aku dapat pulang kampung. Untuk yang ketiga selama aku bekerja di perusahaan kontruksi ini. Beruntung sekali saat pulang kemarin bertepatan dengan hari kepulangan ayahku. Kebahagiaan untuk melepas rindu pada orang tua benar-benar terbayar. Rencana Tuhan memang selalu yang terbaik. Mungkin kegagalanku pulang beberapa kali memang yang terbaik untukku. Sebab selain pas dengan kepulangan ayah kemarin, tepat juga dengan waktu kosongnya rumah Elna. Jadi nampaknya kian lancar usahaku untuk melupakanya. Tinggal Ayahnya saja yang sealalu memiliki jadwal cuti sama dengan ayahku. Elna dan Efin bekerja di Surabaya. Saat aku datang ke Jombang. Mereka berdua belum pulang sehingga tidak terlalu menjadi beban bagiku. Sebab move on bertahun-tahun bisa sia-sia hanya karna satu kali bertegur sapa.

Jujur saja benar-benar tidak mudah pulang kampung. Bukan karena jaraknya yang jauh, bukan pula karena sering kali apes tertinggal pesawat namun karena setiap kali aku pulang. Kenangan-kenangan itu seolah kembali bergulir di depan mataku tanpa sedikitpun kurang adegan yang ada. Bagaimana detik-detik acara ulang tahun Efin, bagaimana detik-detik dimana aku berlari memberikan hadiah keluluasan pada Elna melalui tempat jemuran tempat bermain kami kala kecil. Bagaimana detik-detik mata ini menyaksikan senyum dan pelukan gadis yang kucintai bersarang pada laki-laki lain yang baru saja ada di hidupnya. Bagaimana waktu yang selama ini menjadi sahabat terbaik yang menemani kebersamaanku dengan Elna menjadi musuh terdepan yang mengabadikan momen pahit nan menyiksa itu. Belasan tahunku bersama Elna sirna ditelan oleh belasan detik percakapan Elna dengan Erick.

Beberapa saat selepas laptopku menyala. Panggilan rapat mendadak terdengar lewat load speaker yang terpasang di langit-langit. Bisik teman-teman selantai bertanya ada apa tiba-tiba rapat mendadak di awal bulan seperti ini. Kebiasaan setiap karyawan adalah salah tingkah ataupun bingung jika ada panggilan mendadak. Sebab kebiasaan asal bicara saat ditanya atasan terkait progres pekerjaan. Tidak berbicara berdasarkan data. Sehingga saat ada panggilan mendadak seperti ini sebagian besar karyawan akan takut untuk diklarifikasi. Menuju ke lokasi dimana rapat diadakan. Suasana hening di lantai tiga. Barisan meja kerja dengan susunan interior futuristik yang menawan berbanding terbalik dengan raut muka para Staff yang tengah bekerja. Nampak duduk di depan meja Section head  HRGA seorang berkumis serta perawakan tinggi, berkulit putih merah kearab-araban. Benar nampaknya ini rapat penting sampai direksi datang. Orang dengan perawakan kearab-araban yang kesebut tadi adalah direktur perusahaan ini. Dr. Ashraf Akbar, M.T.

Sesampainya di depan ruang rapat kami mengetuk pintu. Sesaat sebelum masuk seluruh ketenangan hatiku pudar. Tergantikan risau dan gelisah. Begitupun raut wajah rekan di sebelahku. Pak Ridwan. Sesaat sebelum tangan kananku mengetuk pintu kami di kagetkan dengan suara dari belakang yang ramah menyapa namun sangat gusar terasa.

"Selamat pagi, apa kabar ? terimakasih ya sudah datang lebih awal!" tanya dan sapa dari pria yang tadi kubicarakan bersama pak Ridwan.

"Pagi juga pak, baik." jawabku bareng dengan pak Ridwan sembari membuka pintu ruang Rapat yang masih belum ada penghuninya itu.

"Silahkan pak, bapak sendiri apa kabar?" Tanya pak Ridwan kepada direktur itu. Cukup mencairkan suasana. Pak Ridwan lebih senior daripada aku terkait masalah dan situasi seperti ini.

Kutengok arlojiku. Masih lima menit kami datang sebelum jam rapat mulai. Kamipun berbincang terkait proyek renovasi stasiun di daerah Surabaya timur serta rencana pembangunan pelabuhan di daerah pulau Laut, Kalimantan selatan. Karena aku tidak terlalu mengerti tentang ilmu sipil aku hanya menyimak apa yang mereka berdua perbincangkan. Dengan sesekali aku mencatat istilah ataupun hal-hal yang kurasa penting. Ini mungkin kebiasaanku yang tak hilang dari diriku yang dulu. Menulis. Sebab jelas dalam prinsip hidupku. Pembeda antara zaman prasejarah dengan zaman ini adalah tulisan. Oleh karena itu aku selalu menuliskan hal apapun yang berbau unik, penting, atau hal yang tidak aku mengerti. Bahkan sampai hari ini hal teraneh yang di lakukan oleh laki-laki mungkin masih kulakukan. Ya, Menulis diary. Entah kenapa sangat sulit untuk kutinggalkan kebiasaan ini. Dan kebiasaan menulis diary inilah yang membuat satu kail kecil yang menghambatku dalam usaha move on dari Elna. Kembali seluruh sel otak ku melesat melalui mesin waktu yang kita kenal dengan nama kenangan.

Teringat jelas saat di dalam kelas di salah satu SMP negeri di Jombang saat itu. Rintik hujan cukup untuk menahan para siswa-siswi yang terjaring sebagai pengurus OSIS untuk tidak pulang. Beberapa teman saling bergurau dan saling usil bermain air tadah hujan dari atap. Tanpa terkecuali aku. Saat itu kuambil air yang telah kukumpulkan dalam kukupan kedua telapak tanganku dan coba ku siramkan pada Elna yang masih tenang duduk di atas meja menghadap ke jendela. Membelakangi kami. Aku terkejut saat itu sebab dia benar-benar marah padaku. Dia marah sekali sebab berlembar-lembar buku diary usangnya basah dan tintanya luntur. Mebuat lembaran buku diary tersebut nampak lebih usang dan kotor. Spontan aku meminta maaf. Dia membalas permintaan maafku dengan melemparkan buku tersebut padaku. Dengan diam dia meninggalkan ruang kelas tersebut. Aku yang masih terdiam dan ditakut-takuti beberapa teman OSIS terkait ngambeknya si Elna.

Sesampai di rumah aku langsung di marahi Ibuku. Elna lebih dulu mengadu. Saat masih SMP Elna yang baru pindah ke Jombang bersama adiknya oleh ayahnya di titipkan pada Ibuku. Mungkin karena ayah kami sahabat dekat dan bekerja di tempat yang sama. Elna saat itu tidak mau menemuiku sama sekali. Selepas masuk kamar dia mengunci pintu. Hanya turun sesekali untuk ke kamar kecil dan ambil makan. Karena tidak ada yang di ajak bermain kurebahkan diriku di kamar. Tanpa sadar aku tertidur pulas hingga menjelang maghrib. Teringat bahwa besok ada tugas mapel Fisika yang harus di kumpulkan segera ku cari buku dan membuka tas untuk ambil alat tulis. Kubuka saku tas terdepan, terabah sebuah buku yang masih agak lembab. Buku harian Elna. Kubaca dan bolak balik lembar demi lembar. Tercatat delapan kali dari tiga puluh satu halaman dia menulis tentangku. Yang paling berkesan adalah tulisannya terkait hadiah ulang tahun kemarin serta keahlianku dalam ilmu matematika yang membuat dia merasa nyaman dan terbantu dalam belajar. Tertawa bangga dalam hati.

Membaca catatan diary-nya yang asyik dan menarik. akupun segera keluar kamar membawa sisa uang saku selama empat hari yang terkumpul. Berlari menerobos langit isya' yang basah dengan rintik hujan. Mengarah ke gerai fotokopi seberang jalan yang juga jual alat tulis untuk membeli buku harian. Akhirnya aku mendapatkan yang sama persis dengan miliknya. Bersampul biru dengan gambar Doraemon. Tak sabar ingin kutorehkan tinta di lembar-lembar buku tersebut tentang apa saja khususnya hal-hal antara aku dan Elna. Berlari sesegera mungkin menuju kerumah dan na'as.

Tahu-tahu besok paginya aku sudah terbaring di Puskesmas. Saat buka mata aku melihat Ibuku mengusap mukanya seakan penuh syukur. Tangan kananku terasa bergoyang dan nyeri. Terlihat jarum infus menusuk di lenganku. Dan dia yang menggoyang-goyangkan tanganku dengan mata berkaca. "Yoga kamu nggak kenapa-napa ?" Tanya gadis berponi dengan suara parau. Aku tak menjawabnya. Dalam hatiku saat itu juga bertanya “kenapa dan sedang apa aku disini? Beberapa lama aku masih kembali terlelap. Beberapa kenangan saat itu tak mampu kuingat. Sampai aku di rumah lengkap dengan asesoris medis berupa perban dan kapas yang menempel di beberapa bagian tubuhku. Tak kusangkah ayahku dan ayah Elna pulang. Ayah menggendongku menuju kekamar di ikuti Elna, Efin dan Ibu. Tak ada hentinya Efin menyalip langkah kami dan berusaha bertanya keadaanku. Sedang kutengok kebelakang Elna masih sembab tertunduk. Mengikuti langkah ayah yang menggendongku. Sesampainya di kamar aku masih terdiam dan meminta istirahat sendiri. Ayah, Ibu, Efin dan Om Rudi, Ayah Elna pun beranjak keluar kamar. Saat Elna beranjak ikut pergi aku memegang pergelangan tanganya dengan lengan kananku yang masih di perban dan memakai ban pengikat. Sedikit nyeri menahan geraknya. Elna pun mengerti dan berhenti sambil jongkok menatapku. Saat itu dia untuk pertama kalinya mengolokku dengan sebutan bodoh. Dengan terisak dia mengatakan untuk apa aku berlari saat hujan untuk mengganti buku diary-nya.

Lihat selengkapnya