Jika Harap Itu Tidak Ada

Sindi E
Chapter #4

KEDUA: Kayanya aku jatuh cinta

—Senin, 6 Desember 20XX || mendung, sore, dan frustrasi

Avriel

“Ada apa sama Hana deh, Riel, kalo gua boleh tau?”

Ada sesuatu yang memukul dadaku mendengar pertanyaan Heru. Aku menelan ludah.

Setelah aku keluar dari ruang rapat tadi—susah payah membebaskan diri dari pertanyaan kenapa Heru dan bukan Theo yang duduk di kursi keramik pinggir lapangan—kami berjalan bersamaan keluar dari area sekolah. Kulihat permukaan jalan basah sehingga kuanggap tebakanku benar soal hujan tadi pagi. Kuharap, Theo dan Hana mendengarkan aku soal membawa payung. Mereka yang suka lupa. Meski sudah hujan, langit masih mendung dan harum tanah basah masih sangat pekat.

“setau gua, lo temenan sama Hana dari kecil. Jadi, lo yang paling tau dia, sih,” Lalu, Heru membelalak. Dia menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan dada. “bukannya gua engga mau ditanya! Gua seneng lo tanya soal orang yang menurut lo terdekat, tapi gua engga sepaham itu soal Hana. Dia tertutup.”

Aku tersenyum. Apa semua laki-laki itu terlahir tidak peka? Jelas-jelas Hana hampir luruhkan batasan jika yang ingin melintas adalah Heru. Aku terkekeh dan berujar, “Kamu istimewa buat dia, tau!”

Ada bingung di dua matanya yang bundar. Bibirnya makin tipis ketika laki-laki itu mengerucutkannya. “Masa, sih?”

“Kamu aja yang engga peka.”

“Kaya elo dong?”

Aku terenyak. Kenapa aku? Apa ada yang terlewat? lantas kupandang penuh tanya laki-laki itu, tetapi tidak kunjung mendapat jawab karena justru senyum misterius yang dia berikan. Itu, dan sendu. Lengkungan itu menyengat dadaku entah kenapa.

Ketika Heru berpaling, dia mengangkat sebelah tangan dan menunjuk sesuatu. “Tuh! Yang lo tanyain panjang umur, bareng sama pangeran.”

Pangeran.

Aku berpaling, Benar, dua sahabatku berdiri saling berhadapan di depan rumah Hana. Aku tidak bisa melihat Hana karena gadis itu memunggungiku. Namun, yang jelas, hanya ada senyum di bibir Theo, bukan pembicaraan. Jadi, aku bingung mengapa perlu ada senyum itu di bibirnya. Itu, dan bagaimana dadaku bergedup tak nyaman karenanya.

“Theo! Hana!” aku memanggil dan kaget sendiri menyadari tinggi nada suaraku tak wajar untuk aku yang biasanya. Mereka menoleh, memusatkan perhatian padaku, dan aku tersenyum. “kalian baru sampe?”

“Iya.” Dan, laki-laki itu, yang orang-orang bilang adalah pangeran, menghampiriku dengan langkah lebar. Dia mengangkat sebelah tangan dan mengusap telapak besar itu di kepalaku. Aneh. Sungguhan aneh ketika degub itu berganti menjadi jenis yang menyenangkan, hangat menjalar ke seluruh tubuh dan wajahku, dan senyum ini mengembang malu-malu. “ayo, pulang.”

Aku mengangguk, sumringah.

Dan, seperti biasa kami sejak 11 tahun lalu, aku mengeratkan genggamanku di lengan Theo, berjalan beriringan.

“Dah, Heru. Makasih banyak!” Seruku sambil melambaikan tangan dan lalu, “dah, Hana. Jangan lupa angkat telponku.”

Karena aku ingin kamu tahu degup di dadaku sekarang seperti euphoria telah memenangkan sesuatu, tetapi aku tidak tahu kenapa dan aku butuh bantuanmu.

***

Hana

Aku memandangi langit-langit kamarku. Putih. Polos dan bersih, berbeda dengan milik kamar Avriel. Ada lukisan langit senja hasil tangan ayahnya. Keluarga senimannya tidak pernah tidak membuatku terperangah. Ayah Avriel adalah pelukis terkenal yang pamerannya digadang banyak orang di berbagai kota. Harga tiap lukisannya selangit dan tidak pernah tidak diperebutkan oleh kolektor seni maupun pengusaha terkenal. Ada sesuatu di ulasan kuasnya yang membuat orang yang tidak paham seni sekalipun terdiam memandangi, merasakan sesuatu di dada, menyalurkan hangat sekaligus dingin yang menyesakan.

Ibu Avriel adalah pemain selo kebanggaan kampusnya dulu serta ahli tata taman yang ramai tawaran untuk bekerja sama. Seakan, jemari-jemari lentik wanita paruh baya itu sungguh magis dengan berbagai cara. Ketika bermain selo, perpindahan jemari dari satu interval ke interval lain selalu berhasil menyengat dada banyak audiens. Permainannya selalu memukau. Bagaimana alunan buatannya seakan tengah bercerita sesuatu dan menenggelamkan para pendengar. Selain itu, seperti ibu peri yang memangku Cinderella yang melayu, Ibu Avriel selalu bisa mengubah taman yang kehilangan jiwa menjadi sesuatu yang bernyawa lagi. Dia bisa menghidupkan taman yang kosong dan dilupakan. Sentuhannya menghasilkan serbuk ajaib seperti yang seorang peri punya.

Aku tengah membayangkan bahwa langit-langit kamarku adalah langit-langit kamar yang orang lain punya. Sampai suara di ujung ponselku menggertakku dengan nada jengkel.

“Lo kaga dengerin gua, ya? Mikirin siapaaa gua tanyaaa?”

“Ngaco.”

“Theo?”

Aku mengenyitkan dahi mendengar nama sahabatku disebut dengan jenis tanya yang mengganggu. “Makin ngaco. Kenapa jadi Theo?”

“Engga papa sih. ‘Kan tadi kita emang lagi bahas dia.”

Oh. Benar, tentang Heru yang kalah telak dengan si pangeran.

“Dari awal, lo udah tau garis start kalian beda banget. Lo ketinggalan jauh dalam berbagai aspek,” aku mengatakannya dengan gamblang, bahkan terdengar menyelekit lawan bicara, tetapi Heru perlu fakta itu sebelum aku menambahkan, “tapi bukan berarti garis finish kalian juga beda. Itu kalau lo mau coba lebih berani.”

“Gua agak kegugah sih sama kalimat lo.”

“Sialan.”

Laki-laki itu terkekeh dalam sambungan telepon kami sebelum sunyi mengiringi. “Tapi lo belum nambahin fakta pait lainnya.”

Aku mengangkat sebelah tangan, agak buyar akan gambaran langit-langit kamarku yang sedetik berubah-ubah. “Apaan dah?”

“Kalau peri udah terlanjur jatuh cinta sama pangeran.”

Aku terdiam, mendadak lidahku kelu, menilai apakah kemungkinan itu memang ada. Belum sempat aku menyahut, pintu kamarku terbuka tanpa aba-aba, membuatku bangun terduduk tak kalah cepat. Mama ada di ambang pintu dengan aura jengkel.

“Lagi ada sodara di bawah, tapi kamu malah di kamar terus.”

Ah, benar, dan aku beralasan bahwa ada tugas yang harus segera kuselesaikan tadi—bagian ini juga benar, tetapi ternyata menyelesaikannya tidak membutuhkan waktu banyak.

Sampai di anak tangga paling bawah, kudapati saudara-saudaraku duduk mengelilingi meja makan—bahkan kursi makan yang baru-baru ini disimpan di gudang sudah dikeluarkan lagi entah oleh siapa. Salah satu dari mereka menawarkan untuk ikut makan, tetapi mamaku bilang aku bisa makan nanti setelah mereka selesai. Aku hanya mengangguk.

Ketika salah satu dari mereka menanyakan soal salah satu sayur berkuah yang hambar, mamaku bilang aku yang membuatnya. Ketika salah satu lainnya menanyakan bahwa tanaman di taman kami banyak yang layu, mamaku bilang aku tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk merawatnya.

Ketika segalanya serba aku begitu disodorkan kesalahan, tetapi segalanya berubah serba Mama ketika disodorkan hal positif. Atap rumah yang tak berjejak sawang, permukaan kaca yang bersih, teras yang tidak bernoda kaki binatang, hal-hal seperti itu adalah salah satu yang kubilang akan menjadi serba Mama.

“Ma, aku keluar dulu.” Ucapku sembari menghampiri pintu rumah. Ketika pintu sudah kutarik terbuka, Mama bertanya aku ada keperluan apa. “Beli pulpen.” Bohongku.

Lihat selengkapnya