Jika Harap Itu Tidak Ada

Sindi E
Chapter #5

KETIGA: Luka dan Batasan Pt. 1

—Rabu, 8 Desember 20XX || mendung, patah, dan terluka

Avriel

Aku patah.

Bukan hanya soal hati, tetapi juga perihal empati. Aku sadar bahwa aku punya itu selama ini, sebuah empati yang mengungkung egoku untuk melangkah tegap tanpa menunduk siapa yang bisa jadi kuinjak. Cinta mematahkannya. Theo mematahkannya.

Jadi, ketika aku menghabiskan waktu di atas tempat tidur lebih lama dari yang seharusnya, ketika aku berbohong melalui sambungan telpon singkat bahwa aku kesiangan dan meminta mereka untuk lebih dulu berangkat ke sekolah, ketika air mengalir dari keran kubiarkan tumpah ruah dari bak agak lama, ketika aku memilih tidak mendengar percakapan di tengah makan pagi bersama Mama, ketika lapar tidak kunjung datang meski makan malam kemarin tidak kusentuh, ketika kabar Papa mengenai tour pamerannya yang Mama jabarkan dengan girang tidak lagi menggugah pagiku, ketika Mama sibuk menceritakan kehidupannya dan taman-taman yang dia buat menjadi indah, aku menyalahkan cinta.

Aku menyalahkan Theo yang mematahkan cintaku sebelum sempat benar-benar mekar.

Aku menyalahkan dia yang membuatku terus menatap cermin, mencari celahku atau celahnya yang bisa kuejek untuk kubur dalam-dalam rasa rendah diriku. Aku di dalam bayanganku yang rapuh meretak, wajahnya basah dan sembab, serta bibirnya yang dikulum untuk hentikan gemetar sehingga loloskan isak yang lebih kencang, aku kehilangan banyak kepinganku dan aku kesulitan mengisi tenaga untuk menyatukannya karena aku sudah lebih dulu menghabiskan banyak hari—atau bahkan bulan—menyangkal fakta bahwa bayangan di matanya bukan milikku.

Sejak lama, bayangan yang ada di dalam mata Theo bukanlah aku.

Aku hanya terbesit sekilas sebelum fokusnya benar-benar bersih disikat olehnya. Aku hanyalah sisa dan bagaimana fakta itu perlahan menggilas hatiku adalah yang paling melelahkan yang detik ini baru dan makin terasa.

Lagi, aku ingin menangis dan pulang, tetapi tanpa aku tahu aku sudah ada di ambang gerbang. Bahkan, aku tidak peduli bahwa keramaian menyapaku dengan keheranan karena aku adalah idealis-idealisnya siswi teladan yang masuk 3 teratas peringkat pararel.

Namun, aku teringat, aku bukan yang pertama. Aku tidak pernah menjadi yang pertama di mana-mana. Pikiranku berkabut dengan pertanyaan dimana sesungguhnya aku bisa menjadi yang pertama? Dimana aku bukanlah sebuah sisa melainkan barang utuh?

Pikiran-pikiran itu berkelebat menusuk tiap sisi dalam kepalaku, tetapi segera kabur ketika seseorang menepuk bahuku pelan dan ragu. Aku berpaling sembari mengerling mataku beberapa kali—upaya melenyapkan bulir yang mungkin berjejak—dan menemukan cengiran yang bisa jadi mampu menghalau mendung pagi ini.

Tersenyum jenaka di pagi hari saja sudah sangat aneh, Heru tersenyum sampai mata, tercetak seperti telah menemukan harta karun. Keanehan lelaki itu tidak sampai di sana, dia mengenakan helm seakan lupa melepasnya. Namun, setahuku, dia tidak mengendarai motor untuk sampai ke sekolah.

“Avriel.” Bisiknya menyapa dan aku menyadari bahwa langkahnya juga mengendap-endap.

Sembari menunjuk kepalanya, “Helm kamu….” Aku berucap lirih, setengah khawatir juga.

Dia tertegun sebentar sebelum terkekeh pelan, “Tenang aja. Gua punya rencana.”

Lalu, “Heru!”

Aku ikut menolehkan kepalaku cepat ke asal suara meski bukan namaku yang dipanggil begitu lantang. Bu Herma menatap garang siswa di sampingku, memberikan isyaratnya untuk segera datang dan menjelaskan soal helm di kepalanya. Atau, menunjukan sesuatu sehingga di razia rambut hari ini tidak ada yang perlu diburu sampai sepulang sekolah nanti. Oh, di depan sana, di tengah jalan menuju lobi, sedang ada razia rambut dan seragam. Beberapa orang diperintahkan untuk minggir dan diperiksa—atau malah terkena sanksi.

Bu Herma juga menyempatkan untuk menatapku. Emosi sebelumnya hilang ditelan senyum kaku dan menanyakan apa aku tidak ada urusan organisasi sehingga bisa datang lebih lambat dari biasanya. Aku balas tersenyum, tetapi tidak lantas mengambil langkah pergi. Aku mengikuti bayangan Heru menghampiri Bu Herma dengan langkah lucu yang dibuat-buat, membuat guru tersebut makin geram. Aku ikut tersenyum kecil.

Lihat selengkapnya