Jika Harap Itu Tidak Ada

Sindi E
Chapter #7

KEEMPAT: Kita beda banyak hal Pt. 1

—Kamis, 9 Desember 20XX || gerimis, lega, dan merasa sedikit menang

Heru

Kenapa?

Satu kata bentuk tanya itu adalah apa yang ingin gua ucapkan entah dengan lirih pelan atau teriak sengit kepadanya, kepada dia yang sudah lama tidak gua lihat dan tambah gua teliti tambah banyak kerut di wajah dan helai rambut putih di kepala. Wajah itu tidak mencetak ekspresi, pun menyimpan sedikit emosi. Sangat khas Bapak. Sangat khas pria yang makin tambah tahun makin bungkam.

Malam itu, setelah gua memberikan punggung lunglai kepada Hana, gua tidak pulang ke rumah, melainkan pulang ke rumah Bibi. Ketika gua memberikan senyum tipis dan tatapan sendu di ambang pintu yang dibuka sedikit, Bibi balas tersenyum lembut sembari membuka lebih banyak ruang untuk wanita itu bisa memeluk gua. Dia berikan tepukan yang amat lambat di punggung.

Gua dibiarkan masuk dan duduk di sofa ruang tamu, sementara pemilik rumah masuk ke dalam dan membuatkan secangkir teh tawar hangat. Ruang sendiri yang diberikan membuat gua menikmati sejenak pemandangan tumpukan-tumpukan buku yang berserak di seluruh penjuru ruangan. Gua tebak jumlahnya sudah tidak bisa dihitung berapa banyak buku di dalam rumah itu. Itu mengapa pemiliknya membiarkan berserak sembarang di lantai ruangan manapun. Gua menghidu aroma lembar buku menguning yang biasa identik ada di tiap perpustakaan dan bagaimana hal itu bisa menenangkan deru jantung yang tidak juga menenang sejak pagi membuat gua agak mengantuk sekarang. Harumnya mengingatkan gua akan Hana. Gadis itu gemar ke perpustakaan.

Singkat cerita untuk malam itu, gua menandaskan isi cangkir teh gua lalu berganti dengan setelan yang diberikan Bibi. Dia menyuruh gua untuk istirahat terlebih dahulu di kamarnya. “Kebetulan malam ini, aku ada rencana menghabiskan dua buku. Aku perhitungkan, nanti pagi aku baru bisa tidur.

Dasar gila buku!

Gua pikir, bolos satu hari tidak akan membuat banyak masalah. Toh, gua bukan tipikal yang suka membolos, tetapi kecerdasan gua tidak bertambah barang sepersen. Jadi, tidak ada rugi di sini. Kendati demikian, begitu gua terbangun pukul 6 pagi dan tengah menyikat gigi dengan mata setengah terpejam, Bibi mengetuk pintu kamar mandi dan bilang, “Ada bapakmu.” Seketika kantuk gua menguap hilang. Gua berkumur asal dan berjalan terburu-buru ke ruang tamu, tetapi tidak ada pria itu.

“Bapakmu mana sudi masuk ke rumahku.”

Dan, benar. Bapak berdiri di garasi kosong rumah Bibi. Dua tangannya menenteng masing-masing ransel yang membengkak bak ingin meledakan isi. Wajahnya tidak berubah emosi bahkan ketika menemukan gua yang terkejut melihatnya, dalam hati menghitung berapa lama kami tidak berhadapan dan saling melihat begini. Dia mengerjap mata beberapa kali dan menyodorkan dua buah tas yang beratnya bukan main. Berikutnya, dia pamit.

Kenapa? Untuk semua hal yang bergerayang di kepala, yang memorinya masih membekas di sudut-sudut ingatan, satu kata tanya itu mampu menjawab banyak hal. Seharusnya. Namun, pria itu tidak akan menjawab. Pria itu tidak akan berdiri di hadapan gua untuk waktu yang lama, lagi. Hati ini berbisik apa dia begitu benci keluarganya? Namun, gua terkadang merasa pria itu hanya sedang kabur. Sebab, dulu sekali, gua pernah merasakan cinta yang berlimpah di rumah itu. Dulu sekali, gua bermimpi untuk seperti pria itu tiap kali melihat caranya menatap Mama.

Jadilah gua berangkat ke sekolah karena, ternyata, isi tas yang kewalahan isi itu menyimpan lipatan-lipatan baju dan tumpukan buku sekolah. Bahkan, ada dua pasang jersey futsal yang paling sering gua pakai dari yang lain. Ada peralatan-peralatan yang sering gua bawa berangkat latihan. Lalu, ada ponsel yang baterainya terisi penuh.

Sesampainya gua memarkirkan motor Bibi di parkiran sekolah, gua tidak lantas ke kelas. Hari ini, ada sesi penuh latihan futsal karena turnamen tinggal menghitung hari. Itu mengapa seusai bel pulang berbunyi dan latihan diberi jeda satu jam, gua segera mencari seseorang yang sejak kemarin sulit ditemui. Gua ingat seharusnya hari ini adalah latihan perdana Hana sebagai anak atlet lapangan. Oleh karena itu, gua langsung bergegas ke sana tanpa mengecek kelas terlebih dahulu. Kendati demikian, gadis itu masih nihil di pandangan gua. Padahal, anggota atlet lapangan sudah ramai bersiap untuk latihan.

Salah seorang tengah asik makan kerupuk dengan sebelah tangan mencubit tangkai cabai hijau. Ada kawanan cabai lainnya di dalam plastik yang tergantung di sela jarinya. Gua merasa waswas, sebetulnya gadis berkuncir berantakan itu tengah mencemil cabai atau kerupuk yang kelihatan baru digigit sekali? Gua mengenalnya dengan baik—bahkan jika dia menggunakan setelan rapih yang tidak biasa, tetapi tengah menyantap cabai itu sendiri, gua masih bisa mengenalinya.

“Biru.” Gua memanggilnya dan menanyakan keberadaan teman gua yang seharusnya datang latihan sore ini, tetapi gadis itu justru menggedik bahu, menyebabkan kerut-kerut di dahi gua.

Dia mengerucutkan bibirnya yang memerah, mungkin akibat pedas cabai yang disantap seperti sepiring mi goreng jumbo. “Jangan tatap gue kaya gue kurang kompeten begitu. Temen lo yang engga dateng,” Lalu, “lo bukan yang pertama kasih mata begitu!”

Agak terganggu dengan kalimat terakhir, tetapi gua mengabaikannya. Toh, sepertinya gua tahu siapa. “Lo ketuanya, jir … Carilah.”

Biru seketika keki. “Ngapa gitu ye konsepnya?” lalu, “lagian, waktu dia ngerasa tempat ini adalah wadah dia, dia bakalan dateng kok,” Diberinya gua sebuah seringai. “lagian, ini mimpi pertama dia ‘kan lo bilang? Pacar lo itu bakalan dateng setelah siap keluar dari guanya.”

“Dia bukan pacar gua, Sialan.”

“Terserah lo, Anakonda.” Dia mengibas-ngibas tangannya yang memegang kerupuk.

Sore itu, gua tidak memaksa lagi untuk bertemu Hana. Meski gua sudah benar-benar ingin meledak menceritakan soal semalam, gua tidak akan mendatangi rumahnya nanti. Apa gua terdengar kecewa? Ya, entahlah. Semalam gua marah, jengkel bukan main, tetapi mengingat gadis itu membuka pintu dengan mata sembab dan hidung berair membuat gua urungkan niat untuk pertahankan ego. Sekarang, gua tidak cukup bertenaga untuk mendapati gua tidak punya kesempatan lagi meski mendatangi rumahnya untuk kedua kali. Mental gua tidak cukup kuat menerima banyak kekalahan dalam waktu dekat.

“Heru.” Sampai suara itu menggeletik telinga dan perut gua dengan lembut, gua tidak sadar selama meninggalkan area lintasan tadi, gua melamun. Itu, dan gerimis.

Lihat selengkapnya