Jika Harap Itu Tidak Ada

Sindi E
Chapter #8

KEEMPAT: Kita beda banyak hal Pt. 2

—Kamis, 9 Desember 20XX || gerimis, lega, dan merasa sedikit menang

Avriel

Binar mataku selalu padam ketika menghadapi kenyataan yang sayangnya tak pernah sesuai harap senangku. Namun, seperti melarikan diri dari kebenaran, mataku selalu berbinar nyala tiap dihadapkan olehnya.

Kenyataan yang kumaksud sebelumnya adalah Theo dan patahnya hatiku, sedangkan dia yang kubilang mampu menyalakan nyawa di mataku adalah Heru. Aku tentu butuh mencari alasannya karena bisa jadi aku bisa menemukan solusi dari patah hati yang rasanya tidak berkesudahan perihnya. Namun, nanti. Nanti dulu. Aku masih menikmati menunggu lelaki itu di pinggir lapangan di bawah langit yang mulai menggelap. Heru berbanjir keringat dan bersorak menyemangati temannya untuk memberikan tendangan umpan padanya di sisi lain dekat gawang lawan sebelum dia sendiri memasukannya ke dalam gawang dengan tendangan kencang yang melambung pendek. Seluruh tim Heru berseru merayakan tambahan poin. Aku tersenyum yang kemudian menunduk memandang layar ponselku yang dipenuhi barisan pesan dari banyak teman OSIS, bergulir cepat dengan berbagai jenis emosi. Senyumku berubah kecut.

Hari ini, aku kabur lagi. Bukan hanya kabur dari pemandangan seberapa bahagia Theo menyentuh dan memandangi telapak tangan Hana di salah satu lorong rak perpustakaan sekolah, tetapi juga kabur dari organisasiku. Aku tahu aku tidak professional, tidak kompeten. Aku tak kuasa menahan fokus ketika kepalaku sudah ingin meledak oleh banyak hal yang mendadak naik ke permukaan dalam waktu yang bersamaan. Tetiba, aku ingin menangis. Tetiba, aku ingin marah. Tetiba, aku hanya ingin diam saja, tidak ingin bicara, tidak ingin melakukan apa-apa.

Lalu, aku menemukan Heru. Aku tidak bilang laki-laki itu menyempurnakan misi kaburku, tetapi kepada laki-laki itu, aku merasa aku tidak perlu berbohong keadaan. Aku juga tidak perlu pura-pura senang. Hanya seperti ini, menunjukan apa adanya aku dengan wajah sembab dan penampilan serba berantakan, luka-luka imaji bercecer di wajah dan mataku, dan laki-laki itu tidak perlu tahu aku mengapa untuk mengulurkan dua tangannya yang dingin.

Guliran pesan di layar ponsel terus kubaca, tetapi aku tengah lumpuh perasaan. Ada yang membela, ada yang terang-terangan mengkritisi habis-habisan. Ada pula yang menyindir soal aku yang punya hak bahagia karena cantik makanya perlu dibela. Aku segera mematikan layar ponsel ketika Heru datang dengan setelan bersih, rambut lembab sehabis keramas, dan tas besar tersampir di salah satu pundak.

“Kamu udah selesai?” tanyaku padanya.

Heru tersenyum lebar. “Udah. Ayo, gua antar pulang.” Jawabannya membuatku mengernyitkan. Melihat kebingunganku membuatnya melanjutkan bicara, “gua bawa motor. Soalnya, gua dari rumah bibi gua.”

Aku mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri. “Rumahnya dimana emang? Engga ngerepotin?”

“Enggak lah!—”

Sebelum Heru meneruskan bicara, seseorang menyelanya kegirangan. Dia salah satu teman futsal laki-laki itu. “Enggaklah! Dari biasanya engga mandi, jadi mandi dulu sebelum pulang mah tandanya prepare buat anter lo pulang, Ril.”

Meski gelap, aku masih bisa lihat telinga Heru yang memerah. “Berisik lu! Gua gebok lu!”

Yang dimarahi hanya tertawa-tawa sebelum pamit berlalu duluan. Heru berpaling padaku lalu tersenyum lagi. “Yuk! Mau, ya? Gua jajanin pangsit goreng enak nanti.” Aku tergelak sembari mengangguk menyetujui. Kami berjalan bersebelahan menuju area parkir motor sekolah, membicarakan soal teman-temannya yang langsung ribut di ruang ganti pria. Katanya, pasti ributlah. Orang super cakep kaya lo masa rela pulang telat buat gua. Mikirnya gitu mereka. Aku meringis, menyadari pernyataan terakhirnya terdengar menyengat. Sampai aku duduk di jok penumpang dan Heru menyalakan mesin tua yang membatukan asap gelap melalui knalpot itu, dia baru menjalankan motornya dengan kecepatan sedang, masih sambil membicarakan topik yang sama. Dia tidak berhenti tertawa disela ceritanya, reaksi satu persatu teman-teman clubnya melihatku yang menunggunya di pinggir lapangan atau ketika Heru melihatku dan aku melihatnya—kami saling tersenyum. “Heboh mereka!” Dia tertawa lagi.

Dan, aku tersenyum. Mungkin, semisal aku memang harus berada di posisi ini terus, duduk di jok belakang yang keras dan tersapu angin malam yang menusuk, aku tidak keberatan. Atau, seperti sekarang, motor tua itu mendadak mati di tengah jalan. Kami turun dari motor itu, sempat khawatir, tetapi Heru segera mengerang pelan ketika dia mengecek tangki bensin di bawah jok motor. “Abis? Tapi di spidometer masih penuh?” lalu, seperti telah sadar ditipu seperangkat mesin tua, laki-laki itu menepuk kaca spidometer itu. “rusak lu ya? Bibi aturan buang lu aje!”

Aku tidak keberatan membantunya mendorong motor tua itu dari belakang, mendengar laki-laki itu mengucapkan maaf tiap detik pertama aku ikut serta mendorong ke pom bensin terdekat. Awalnya, Heru menatapku dengan khawatir, menawarkan aku untuk pulang lebih dulu naik ojek. Aku menolak dan bagaimana cengiran miliknya terpatri di wajahnya membuat dadaku menghangat. “Nanti gua jajanin yang banyak!” katanya. Itu, dan bagaimana lelaki itu merasa aku punya suara untuk didengar karena kalau dia bersikeras untuk kali kedua, aku pasti akan mengiyakan meski dengan berat hati.

“Kalau orang-orang di sekolah tahu—ujung-ujungnya—gua buat cewek cakep dorong motor rongsok, gua digebukin kali, ya?”

“Masa gitu?” Aku jadi sewot. Dia memandangku sebentar melalui bahu. “susah juga ya jadi cantik.” gumamku lalu tersadar bahwa aku terdengar angkuh. “Eh! Maksudnya—”

“Emang lu cantik dan jadi cantik tu susah. Gua setuju. Banyak orang yang suka sama lu jadinya.” Mendadak, laki-laki itu mengatupkan bibir, kelihatan salah bicara.

Aku tidak bertanya, tetapi mengoreksi yang sebelumnya, “Maksud aku, jadi cantik itu susah karena orang-orang jadi banyak menilai yang engga seharusnya dinilai, mendebatkan sesuatu yang seharusnya engga dipikirin atau dibikin repot,”

“plus, mereka suka aku ya cuma karena aku cantik. Sedangkan cantik itu bukan selamanya. Kalau nanti aku menua, cantik itu ikut memudar. Lama-lama hilang. Aku maunya orang suka aku ya karena suka, bukan karena aku cantik.”

Lihat selengkapnya