Jika Harap Itu Tidak Ada

Sindi E
Chapter #10

KELIMA: Kalau aku adalah kamu Pt. 1

—Kamis, 9 Desember 20XX || dingin, kecewa, dan penuh harap

Heru

Sepi.

Stasiun kereta listrik malam ini sepi. Ya, memang jam sibuk para pekerja pulang dan pergi sudah lama lewat, menyisakan satu jadwal kereta malam menuju kota pusat yang bisa jadi ditunggu hanya oleh gua dan Avriel, duduk bersebelahan di salah satu kursi panjang tanpa berbagi isi kepala.

Gua lihat-lihat tampaknya pundak gadis itu tidak ada tanda-tanda untuk melemas—pandangan matanya menajam jauh ke depan entah bisa atau tidak menembus kegelapan—maka dari itu, gua izin meninggalkannya sebentar sebelum kembali membawa sebotol air dingin dan permen kola. Gua gunakan botol air dingin itu untuk mendapat atensi di pundaknya. Avriel menoleh, membuyarkan sesuatu yang sekejab hilang di matanya, melirik botol air dingin di tangan gua yang kemudian dia ambil. Gua kembali duduk di sebelahnya, agak risau mau gua bawa kemana gadis ini. Risau karena bisa jadi—no, pasti—ada seorang ibu atau ayah yang gelagapan mencari putrinya di waktu menuju tengah malam ini.

Sebelah tangan kurus muncul di depan wajah gua, menggoyang-goyangkan pelan botol air dingin. Avriel menyerahkan botol air dingin yang telah dibuka tutupnya kepada gua.

“Eh? Kaga. Lo aja. Gue emang sengaja beli itu buat lo.”

Tidak gua sangka jawaban itu membuat mata Avriel membulat bersamaan dengan wajahnya merona. Dia bilang dengan berbisik, “Gue pikir, lo minta bukain.”

Bisa tidak bisa gua tergelak sebelum akhirnya mengulum tawa gua agar pipi gadis itu tidak meledak akibat digembungkan, dia tengah kesal. Kalau gue bawa lo jauh dan agak lebih lama, apa gua bakal temukan banyak hal yang ga terduga kaya gini?

Namun, tidak bisa, ‘kan? Karena seperti yang gua bilang sebelumnya, ada seseorang—entah ibu, ayah, atau siapapun—menunggu gadis itu kembali dalam keadaan utuh dan sebaik sebelum pergi. Ada hati yang perlu ditenangkan dan itu termasuk hati Avriel sendiri. Maka dari itu, ketika di balik punggung kami ada suara memanggil dan punggung Avriel yang menegak seketika, sesuatu yang menggumpal di dada gua sejak mengirim pesan melalui ponsel adalah rasa bersalah.

Gua berdiri dan berbalik untuk mendapati Hana berdiri beberapa meter di depan, tecermin khawatir sekaligus lega di wajahnya, napas terengah dan dia masih mengenakan seragam. Di belakangnya, ada Theo yang keadaannya serupa. Namun, satu lagi jenis emosi terpancar di wajah laki-laki itu, kecewa.

Gua melirik Avriel yang memandang kedua orang di hadapan kami dengan terbelalak sebelum berganti menjadi marah. Namun, dia tidak melihat gua, seperti tidak berharap menemukan salah gua.

“Pulang, Ril.” Hana berkata dengan tenang, terlalu tenang meski dalam keadaan seperti ini.

Avriel menatap Hana dengan kekosongan yang seperti pertama kali gua lihat ketika dia keluar dari rumahnya tadi, seperti jiwanya hilang dibawa imajinasi yang hancur. Lalu, jawabannya pelan dan tak beremosi, tapi berhasil menimbulkan emosi di wajah Hana yang sempat begitu tenang.

“Kemana?”

____

—Jumat, 10 Desember 20XX

Hana

[Heru 11 IPA x] han, avriel minta gua bawa pergi dia. Gua harus gimana?

Aku mendapatkan pesan itu di tengah aku dan Theo berpencar mengelilingi sekolah. Kami sudah mencari Avriel di taman komplek rumah. Kami sudah menghubungi teman-teman OSIS dan kelasnya yang menurut Theo dekat. Nihil, tidak ada yang sedang bersama gadis itu. Bahkan, melihatnya terakhir kali pun mereka tidak ingat. Aku sampai di tahap putus asa. Itu, dan merasa tidak berguna karena aku tidak tahu apa-apa.

Aku tidak tahu bahwa Avriel bahkan sedang dibicarakan tidak enak di dalam lingkup OSISnya. Aku tidak tahu dia tidak terlalu dekat dengan teman-teman sekelasnya. Aku tidak tahu apa yang tengah Avriel alami. Theo tidak tahu tepatnya tempat seperti apa yang mungkin didatangi Avriel ketika seperti ini karena—sekali pun—gadis cerita itu tak pernah keluar dari emosi yang kami kenal.

Avriel itu ya ceria, emosinya stabil, dan kalau memang tidak dalam mood yang baik, es krim atau makanan yang dibanjiri kecap mampu mengembalikan bahagia gadis itu—

—Sehingga aku dan Theo seperti cuma mengenal Avriel dulu. Pertumbuhan karakternya yang kami tahu hanya sebatas itu. Hanya sebatas Avriel yang suka kostum feminine dan makanan manis, hanya Avriel yang suka menyenangkan hati semua orang. Di lini waktu mana aku kehilangan jejak tumbuh Avriel? Dadaku ngilu luar biasa.

Ketika aku mendapatkan balasan tempat Heru dan Avriel berada, sedetik kemudian aku dan Theo meluncur ke sana menggunakan taksi. Aku dan laki-laki itu tidak bicara, bahkan ketika saling mencari dengan berpencar, kami tidak berdiskusi. Kami hanya bergerak sesuai isi kepala yang begitu penuh dan hati yang perlu ditambal sana sini sesegera mungkin.

Lihat selengkapnya