Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #1

Dekade Penuh Gairah

Istana Negara, Jakarta, 30 Oktober 2044

Kilatan blitz kamera menyambar tanpa henti, bertalu-talu seperti rentetan kembang api perak yang memantul dari dinding marmer dingin Ruang Kredensial Istana Negara. Sore itu, ruangan yang biasanya menjadi saksi bisu penyerahan surat kepercayaan duta besar negara sahabat, telah disulap menjadi arena konferensi pers dadakan yang riuh rendah. Udara terasa pengap oleh campuran aroma parfum mahal, keringat para pemburu berita, dan antisipasi yang menggetarkan. Puluhan wartawan, dari media besar hingga portal berita daring yang baru seumur jagung, berdesakan dalam formasi tak beraturan. Mikrofon teracung ke depan, seperti sekumpulan ular logam lapar yang berebut mangsa, semuanya mengarah pada dua sosok di meja utama. Mereka adalah pusat gravitasi ruangan itu, episentrum perhatian bangsa: Ibu Negara Nisa "Nisa" Farha dan belahan jiwanya, sang suami, Reza "Reza" Satria.

Hari ini bukan sekadar hari biasa di tengah pusaran politik ibu kota. Hari ini menandai satu dekade lebih, sembilan belas tahun perjalanan pernikahan mereka, sebuah tonggak sejarah yang terasa langka, bahkan nyaris mustahil, bagi pasangan yang hidup di bawah sorotan mikroskopik kekuasaan tertinggi. Terlebih lagi, mereka adalah Nisa dan Reza, pasangan yang dinamikanya seringkali membuat dahi protokoler berkerut, namun justru dicintai publik karena kejujuran dan kehangatan mereka yang tak dibuat-buat. Sepuluh tahun lebih mengarungi bahtera rumah tangga di tengah badai politik, tekanan publik, dan tanggung jawab negara yang maha berat – itu bukan pencapaian kecil.

Nisa, seperti biasa, tampil dengan keanggunan yang bersahaja. Ia mengenakan tunik batik modern berwarna biru lembut dengan potongan yang anggun dan lengan panjang, serasi membungkus figurnya yang ramping. Untuk bawahannya, ia memilih rok panjang berwarna putih gading yang rapi, memberikan kesan profesional, tetapi tetap feminin. Hijab berwarna senada yaitu biru pucat ditata dengan gaya modern yang simpel, tetapi elegan, membingkai wajahnya yang berkulit langsat terawat. Sebuah bros mutiara disematkan apik di sisi hijabnya. Senyum hangat yang selalu berhasil menenangkan—senyum yang menjadi ciri khasnya—terkembang tulus di bibirnya meskipun sorot matanya yang cerdas dan tajam tak bisa sepenuhnya menyembunyikan jejak kelelahan tipis di baliknya. Sisa rapat maraton hingga larut malam tadi tentang proyeksi defisit anggaran negara masih terasa memberati pelipisnya.

Senyumnya tersungging lebar, senyum khas Nisa yang selalu tampak siap meledak menjadi tawa renyah kapan saja, menular dan melucuti ketegangan. Ia duduk tegak, memancarkan aura percaya diri seorang pemimpin, namun dengan gestur santai yang mengundang kedekatan. Matanya yang biasanya setajam elang saat memimpin rapat kabinet, kini berbinar jenaka menatap kerumunan media.

Di sampingnya, Reza adalah personifikasi ketenangan yang meneduhkan sekaligus jenaka. Dalam balutan kemeja batik lengan panjang dengan motif parang berwarna senada dengan kebaya Nisa – detail kecil yang tak luput dari mata jeli para wartawan mode – ia memancarkan aura suportif yang solid. Rambutnya yang mulai diselingi uban perak di pelipis justru menambah karismanya. Tangannya sesekali bergerak ringan, menyentuh punggung kursi Nisa, sebuah gestur kecil nyaris tak terlihat, namun bagi mereka yang mengenal dinamika pasangan ini, itu adalah bahasa isyarat dukungan tanpa kata, sebuah pengingat bahwa ia selalu ada di sana, menjadi jangkar bagi Nisa di tengah lautan perhatian ini. Ada kelembutan dalam tatapannya saat melirik Nisa, campuran antara cinta, kekaguman, dan sedikit geli melihat bagaimana istrinya dengan mudah menguasai panggung.

"Bu, Bu Nisa! Pak Reza!" Seorang wartawan muda dari sebuah portal berita hiburan di barisan depan, tampak tak sabar, bertanya dengan nada antusias yang nyaris berteriak menembus keriuhan. Suaranya sedikit melengking karena gugup dan semangat. "Gimana rasanya anniversary-nya sama Pak Reza yang ke-19 tahun ini?? Sembilan belas tahun lho, Bu, Pak!"

Ia berhenti sejenak, mungkin menyadari pilihan katanya yang kurang formal, lalu dengan wajah sedikit memerah, buru-buru meralat, "Maksud saya... Enak dan nikmat, Bu? Eh, bukan! Maksudnya... khidmat, Bu? Ya, khidmat?" Ralat yang canggung itu justru mengundang tawa kecil dari beberapa rekannya.

Nisa tak bisa menahan diri. Tawa lepasnya yang renyah dan menular seketika memenuhi ruangan, memecah ketegangan formal yang sempat terbangun. Tawa itu seolah memberi izin bagi semua orang untuk sedikit lebih rileks. "Ya, alhamdulillah, Mas," jawab Nisa, matanya mengerling jenaka ke arah wartawan muda itu, sengaja menggunakan panggilan akrab. "Enak dan khidmat, hehehe." Ia sengaja mengulang pilihan kata wartawan itu. "Udah, nggak usah dihapus, nggak usah disapu kalimat kamu yang pertama tadi itu." Serentak semua orang malah jadi tertawa.

Nisa melanjutkan, nadanya ringan namun mengandung pesan, "Jujur aja nggak apa-apa kok di depan saya mah." Tawa kembali terdengar, kali ini lebih riuh. Para wartawan seolah mendapat lampu hijau untuk sedikit keluar dari skrip pertanyaan formal mereka. "Ya jelas nikmatlah," Nisa menambahkan dengan percaya diri, menoleh sekilas pada Reza yang tersenyum geli di sampingnya. "Orang Pak Reza ini kan suami saya yang paling saya cintai..."

Sebelum Nisa sempat menyelesaikan kalimatnya, wartawan lain, kali ini seorang wanita paruh baya dari majalah wanita ternama, menyambar dengan cepat, mungkin takut kehilangan momentum. "Loh, Bu? Emang Ibu punya suami lain selain Pak Reza?" tanyanya dengan nada ingin tahu yang dibalut sedikit provokasi halus. "Kok tadi bilangnya 'suami saya yang paling saya cintai...?' Ada penekanan di kata 'paling', Bu."

Nisa menggeleng pelan, senyumnya masih terpasang, sama sekali tak terpancing. "Oh ya enggaklah, Mbak," ujarnya, nadanya dibuat sedikit pura-pura jengkel, sebuah taktik yang sering ia gunakan untuk meredakan situasi canggung. "Nah, makanya kalau orang ngomong tuh, didengerin dulu sampe beres, sampe titik komanya jelas dulu, baru nanya, baru komen." Ia menatap lembut wartawati itu. "Biar nggak salah sambung dan korsleting melulu kan dari tadi jadinya, hehehee..." Protes lembutnya yang dibungkus humor itu justru semakin menghangatkan suasana, membuat wartawati itu tersenyum sedikit malu. Reza di sebelahnya terkekeh pelan, tatapannya pada Nisa penuh puja - istrinya memang ahli dalam menavigasi situasi seperti ini.

"Iya, Bu, maaf," wartawan pertama tadi menyahut lagi, kali ini suaranya lebih tenang, seolah belajar dari interupsi sebelumnya. "Kalau boleh tahu, rahasia awetnya apa, Bu, Pak? Bisa sampai sembilan belas tahun pernikahannya, apalagi di tengah kesibukan luar biasa seperti ini?" Ini adalah pertanyaan yang paling ditunggu-tunggu.

Nisa menoleh pada Reza, sebuah kebiasaan yang menunjukkan rasa hormat dan kemitraan mereka. Seolah meminta persetujuan dalam diam sebelum menjawab pertanyaan yang menyangkut mereka berdua. Reza mengangguk kecil, senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Ada pemahaman mendalam di antara tatapan mereka, komunikasi tanpa kata yang terbangun selama bertahun-tahun.

"Rahasia?" Nisa memiringkan kepalanya sedikit, pura-pura berpikir keras. "Justru," lanjutnya, nadanya kembali ringan, "nggak ada rahasia-rahasiaan apa-apa di antara kitalah yang jadi rahasianya. Keterbukaan total. Itu yang bikin bisa awet dan menyenangkan sampai sekarang ini." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap, lalu menoleh lagi pada suaminya dengan tatapan penuh arti, "Ya, kan, Pak?" Komunikasi terbuka, fondasi yang selalu mereka pegang teguh, bahkan ketika sulit sekalipun.

Sebelum Reza sempat menjawab dengan gayanya yang biasanya lebih puitis atau filosofis, seorang wartawan pria yang lebih senior, dikenal dengan pertanyaannya yang kadang blak-blakan, nyeletuk dari samping dengan nada sedikit menggoda, "Yaa... paling hubungan seksual aja kan, Bu, yang dijaga biar tetap 'panas'?" Pertanyaan itu begitu langsung, melanggar batas kesopanan yang biasanya dijaga dalam konferensi pers kenegaraan. Namun, alih-alih marah atau tersinggung, Reza justru tertawa terbahak-bahak, tawa lepas yang menggema. "Eh, Bapak ini! Wkwkwk!" serunya, tampak benar-benar geli. "Jangan di sini dong, Pak, bahasnya... malu saya bilangnya." Ia menoleh ke Nisa, yang pipinya tampak sedikit merona meski ia tetap tersenyum lebar menahan tawa. Momen ini begitu khas Reza-Nisa, mampu mengubah potensi kecanggungan menjadi humor.

"Ya kalau saya sih sebagai laki-laki," Reza melanjutkan, memutuskan untuk bermain bersama, nadanya jenaka namun ada binar jahil di matanya, "ya terutama itu ya... biar saya selalu 'hot’," ia memberi jeda dramatis, melirik Nisa, "dan bergairah." Tawanya meledak lagi, lebih keras dari sebelumnya, diikuti tawa riuh para wartawan yang terkejut sekaligus terhibur oleh keterusterangan dan humor sang First Gentleman. "Emang apa lagi? Kamu juga kan, Bu? Juga suka... itu..." Reza menatap Nisa dengan tatapan menggoda, "Hahahahaaah!" Ia tak menyelesaikan kalimatnya, membiarkan imajinasi liar para pendengarnya bekerja.

Ruangan itu kini benar-benar dipenuhi gelak tawa. Nisa mencubit pelan lengan suaminya di bawah meja, sebuah gestur intim yang tak sengaja tertangkap oleh beberapa kamera. "Ya tapi kan nggak di sini juga kan bilangnya, Pak... Heheheheeee..." balas Nisa, separuh menegur gemas, separuh ikut geli. Pipinya masih sedikit bersemu, tapi matanya bersinar bahagia.

Lihat selengkapnya