Seminggu telah berlalu sejak kilauan blitz dan kehangatan perayaan satu dekade pernikahan mereka. Gema tawa lepas mereka di ruang konferensi pers dan bisik-bisik kagum atas kejujuran mereka mungkin masih terdengar samar di lorong-lorong Istana, namun kini, realitas kembali mengambil alih. Di sayap kantor Ibu Negara - sebuah jabatan yang diemban Nisa dengan interpretasi yang jauh melampaui sekadar pendamping seremonial, mengingat ia juga secara de facto adalah otak di balik banyak kebijakan sosial progresif - ritme kerja telah kembali ke tempo yang sesungguhnya. Ritme yang, seperti Nisa sendiri, seringkali jauh dari kata konvensional, penuh energi, dan kadang, sedikit mengundang kontrove
Ruang kerja Nisa adalah cerminan langsung dari kepribadiannya yang kompleks: perpaduan antara ketajaman intelektual, semangat pemberontak, dan kehangatan yang tulus. Dindingnya tidak dihiasi lukisan pahlawan berbingkai emas atau potret resmi berwajah kaku. Sebaliknya, karya seni kontemporer berwarna cerah dan berani dari seniman-seniman muda Indonesia mendominasi ruangan, diselingi beberapa kutipan inspiratif yang ditulis tangan dalam kaligrafi modern di papan tulis kaca besar. Rak buku menjulang tinggi, dijejali campuran literatur hukum dan politik yang serius, novel-novel fiksi ilmiah pemenang penghargaan, biografi tokoh-tokoh perempuan dunia, hingga tumpukan komik satir politik yang sering ia baca untuk melepaskan penat. Tidak ada meja kayu mahoni besar yang mengintimidasi. Sebagai gantinya, ada sebuah standing desk modern di sudut dekat jendela besar yang menghadap taman Istana, tempat Nisa sering mondar-mandir sambil berpikir keras, secangkir teh melati - selalu tanpa gula - di tangan. Di sudut lain, sebuah sofa beludru berwarna teal yang nyaman mengundang siapa saja untuk duduk santai, tempat Nisa kadang meringkuk membaca laporan tebal atau sekadar memejamkan mata sejenak di tengah hari yang padat.
Pagi itu, cahaya matahari Jakarta yang cerah menembus jendela tinggi, menerangi partikel debu halus yang menari di udara. Nisa berdiri di depan standing desk-nya, keningnya berkerut dalam konsentrasi penuh. Jemarinya menari lincah di atas layar tablet berukuran besar yang menampilkan draf awal proposal program yang menyita sebagian besar energi dan pikirannya belakangan ini: "Rumah Dewasa Mandiri". Sebuah inisiatif yang terdengar radikal di telinga banyak birokrat tua, namun bagi Nisa, ini adalah jawaban logis atas keprihatinannya yang mendalam. Program ini digagasnya untuk mempersiapkan pemuda-pemudi di usia krusial 17-18 tahun, sebelum mereka terburu-buru atau terpaksa memasuki gerbang pernikahan. Fokusnya jelas: membangun kematangan emosional, kemandirian finansial, pemahaman realistis akan hak dan tanggung jawab dalam berkeluarga, serta edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif. Ini bukan sekadar kursus pranikah basa-basi selama beberapa jam. Nisa membayangkannya sebagai program intensif, mungkin residensial, yang benar-benar membekali generasi muda dengan fondasi kuat sebelum membangun keluarga. Ini adalah salah satu "proyek gila"-nya, jawaban atas angka perceraian dini yang terus merangkak naik, data KDRT yang mengerikan, masalah kesehatan mental pasangan muda, hingga isu stunting yang berakar dari ketidaksiapan orang tua.
"Ibu..." suara lembut namun tegas Angel, asisten pribadinya yang selalu sigap, efisien, dan sedikit terlalu kaku untuk selera Nisa, memecah keheningan konsentrasinya. Angel berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka, sosoknya rapi dalam balutan blus dan rok pensil standar Istana, memegang sebuah map berwarna krem dengan kedua tangan. Sikapnya selalu penuh hormat, namun Nisa kadang berharap Angel bisa sedikit lebih santai.
"Jadwal kunjungan Ibu ke pusat pelatihan UMKM di Tangerang Selatan sudah final. Transportasi dan pengamanan sudah dikoordinasikan. Dan... ada beberapa memo tanggapan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Sosial, dan BKKBN mengenai draf awal proposal Rumah Dewasa Mandiri, Bu." Angel sedikit ragu saat menyebutkan bagian terakhir.
Nisa menghela napas panjang, menekan ikon save pada tabletnya sebelum meletakkannya. Ia memutar kursinya menghadap Angel, meski tidak sepenuhnya. "Memo lagi?" tanyanya, nadanya datar namun menyiratkan sedikit kelelahan. "Jangan bilang isinya masih sama seperti minggu lalu, Ngel? Cuma basa-basi normatif, kalimat-kalimat aman tanpa substansi?"
Ia memijat pelipisnya. "Saya butuh masukan konkret, kritik membangun, atau dukungan jelas. Bukan cuma kalimat andalan 'pada prinsipnya kami mendukung namun perlu dilakukan kajian mendalam dari berbagai aspek'. Kajian mendalam terus, kapan kita mau mulai melangkah?"
Wajah Angel tampak sedikit salah tingkah, jelas tidak nyaman harus menyampaikan kabar yang mungkin tidak disukai atasannya. "Ada beberapa poin teknis yang diangkat, Bu," jawabnya hati-hati. "Terutama terkait sumber pendanaan jangka panjang, kriteria peserta yang inklusif, dan... beberapa pertanyaan mengenai potensi benturan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut masyarakat."
"Yang intinya," potong Nisa, kali ini menatap Angel lurus, sorot matanya tajam namun tidak ada kemarahan di sana, hanya sedikit frustrasi, "mereka khawatir program ini terlalu nyeleneh, terlalu berani, dan bakal memicu kontroversi lagi, kan? Terutama setelah insiden video dansa itu, mereka jadi lebih hati-hati dengan apapun yang saya usulkan." Ia tersenyum tipis, senyum getir. "Saya tahu, Ngel. Saya sudah menduganya. Tapi kalau kita nggak berani nyeleneh untuk hal sepenting ini, kalau kita takut pada bayangan kontroversi, kita hanya akan terus-menerus menambal masalah di hilir, bukan membereskan akarnya di hulu."
Sebelum Angel sempat merespons dengan kalimat diplomatis yang mungkin sudah ia siapkan, sesosok pemuda jangkung dengan gaya effortlessly cool muncul di belakangnya, bersandar santai di kusen pintu seolah itu adalah pintu kamarnya sendiri. Kaus band rock indie luar negeri yang sedikit pudar, jeans belel di lutut, dan sneaker edisi terbatas yang mencolok - kontras total dengan suasana formal Istana. Alex, putra tunggal Nisa dan Reza, yang kini beranjak dewasa dan entah bagaimana selalu berhasil menyelinap masuk ke area terbatas ini tanpa terdeteksi protokoler. Ia menyeringai tipis, mewarisi tatapan jenaka Reza dan bibir Nisa yang mudah tersenyum.
"Kontroversi itu kan nama tengah Mama," celetuk Alex santai, nadanya datar namun jelas menggoda. "Lagian, ngapain sih repot-repot mikirin nikah? Siapa juga yang butuh nikah kalau bisa bahagia jadi jomblo berkualitas kayak Tante Angel ini?" Ia mengedipkan sebelah matanya pada Angel, yang wajahnya langsung memerah padam dan buru-buru membuang muka, pura-pura merapikan map di tangannya.
"Alexander Damar Satria!" tegur Nisa, nadanya tegas, tapi sudut bibirnya tak bisa menahan senyum geli. Meski kadang komentar sinis dan gaya slengean putranya itu membuatnya pusing tujuh keliling, ia diam-diam menghargai kejujuran brutal Alex - warisan darinya sendiri, mungkin? - yang seringkali menjadi penyeimbang di tengah basa-basi dunia politik. "Mama lagi serius bahas program penting. Dan berhenti menggoda Angel, kasihan dia."
"Cuma bilang fakta kok, Ma," Alex mengangkat bahu acuh tak acuh, melangkah masuk tanpa permisi dan menjatuhkan diri dengan nyaman di sofa teal, menyilangkan kakinya yang panjang. "Tapi serius, Ma. Program itu bagus idenya, revolusioner malah. Tapi ya siap-siap aja diserang habis-habisan sama gerombolan 'penjaga moral bangsa' atau kelompok 'anti-liberalisasi keluarga' atau apalah nanti nama keren yang mereka pakai." Ia menatap Nisa, kali ini sorot matanya lebih serius.