Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #3

Tim di Hari Keluarga

Lapangan luas di jantung kompleks Gelora Bung Karno hari itu telah bertransformasi menjadi sebuah lautan manusia yang bergelora dengan warna dan suara. Langit Jakarta, meski seringkali malu-malu di musim pancaroba, tampak berbaik hati membentangkan kanvas biru cerah, seolah ikut merayakan Peringatan Hari Keluarga Nasional. Acara tahun ini terasa jauh lebih semarak, lebih hidup dari tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran Ibu Negara Nisa Farha, sosok yang popularitasnya terus menanjak seiring dengan kontroversi yang membayanginya, tak diragukan lagi menjadi magnet utama. Udara dipenuhi simfoni aroma yang menggoda: gurihnya kerak telor yang baru diangkat dari wajan, manisnya harum kue cubit setengah matang, asap sate ayam yang mengepul dari panggangan arang, berpadu dengan tawa riang anak-anak yang berlarian bebas di hamparan rumput hijau, sejenak melupakan gawai di tangan orang tua mereka. Suara dari panggung utama silih berganti mengumumkan pemenang lomba keluarga ceria atau memutar lagu-lagu pop bertema keluarga yang ceria. Puluhan tenda pameran dari berbagai kementerian, lembaga non-pemerintah, hingga komunitas akar rumput berdiri megah dalam barisan rapi. Ada stan yang menampilkan kerajinan tangan unik dari pelosok negeri, produk pangan lokal organik, layanan konsultasi keluarga gratis dari psikolog dan konselor pernikahan, hingga pojok dongeng anak yang selalu ramai. Ini adalah perayaan kebersamaan dalam segala bentuknya.

Nisa baru saja turun dari panggung utama setelah menyampaikan pidato sambutan. Seperti biasa, pidatonya disambut tepuk tangan meriah, bahkan beberapa standing ovation dari barisan depan yang dipenuhi aktivis perempuan dan keluarga muda. Gayanya selalu memikat: perpaduan antara kehangatan seorang ibu yang memahami denyut nadi persoalan keluarga, dengan ketajaman analisis seorang pemimpin yang tak segan menunjuk akar masalah. Ia bicara tentang pentingnya komunikasi dua arah yang setara dalam keluarga, perlunya dukungan tanpa pamrih antar pasangan dalam meraih mimpi masing-masing, dan – ini bagian yang mungkin sedikit 'menyenggol' beberapa telinga konservatif – ia kembali menekankan pentingnya kesiapan mental, emosional, dan finansial sebelum pasangan memutuskan untuk memiliki anak. Sebuah tema yang konsisten dengan kampanye "Rumah Dewasa Mandiri" yang sedang ia perjuangkan di ranah kebijakan. Ia sengaja tak melirik ke arah beberapa pejabat berwajah kaku di barisan VIP saat menyampaikan bagian itu, fokusnya pada audiens yang lebih luas, pada mata-mata penuh harap di depannya.

Kini, dikawal beberapa anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berwajah datar namun sigap, dan didampingi Angel yang setia membawa catatan kecil, Nisa berjalan perlahan di antara kerumunan massa yang antusias. Senyum tulus tak pernah lepas dari bibirnya. Ia bukan tipe pejabat yang menjaga jarak. Ia berhenti sejenak untuk mendengarkan dengan penuh perhatian curhatan seorang ibu muda tentang sulitnya mencari pengasuh anak yang terpercaya di ibu kota. Ia berjongkok tanpa ragu, menyamakan tingginya dengan seorang gadis kecil berpita merah jambu yang malu-malu menyodorkan gambar bunga matahari hasil karyanya, menerimanya dengan ucapan terima kasih yang hangat. Ia bahkan sempat tertawa lepas saat seorang bapak-bapak berkumis tebal dengan logat Jawa medok nyeletuk memintanya menaikkan tunjangan pensiun PNS golongan rendah. Inilah Nisa yang dicintai sekaligus kadang membuat pusing tim protokoler – hangat, mudah didekati, terasa begitu nyata dan membumi.

Setelah beberapa saat menyapa dan berinteraksi langsung – sebuah cara baginya untuk mengisi ulang energi dan mendengar langsung suara rakyat – Nisa berencana mengunjungi beberapa stan pameran kerajinan tangan unggulan dari berbagai daerah. Ia menoleh ke samping, ke tempat di mana ia merasa Reza biasanya berdiri, sedikit di belakangnya, menjadi bayangan suportif yang tenang. Namun, tempat itu kosong. Hanya ada Mas Anto, salah satu ajudan Paspampres kepercayaannya, yang berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.

Alis Nisa bertaut seketika. Sebuah kerutan kecil muncul di antara alisnya yang rapi. Ia memindai kerumunan di sekitarnya, matanya bergerak cepat mencari sosok familiar suaminya. Reza tidak terlihat. Di tengah lautan manusia seperti ini, tentu wajar jika mereka terpisah sejenak. Tapi entah mengapa, detak jantung Nisa sedikit bertambah cepat, ada rasa tidak nyaman yang samar mulai merayap di perutnya. Ini bukan sekadar suami yang hilang di keramaian pasar malam; ini adalah Reza Satria, First Gentleman, belahan jiwa presiden. Berbagai skenario prosedur keamanan standar langsung terlintas sekilas di benaknya meski ia berusaha keras menepisnya. Reza pasti aman, ada Paspampres lain yang menjaganya. Pasti.

"Lho, kok Bapak nggak keliatan ya dari tadi?" gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri, sambil terus celingukan, berusaha terlihat santai agar tidak menimbulkan kepanikan di sekitarnya. Ke mana perginya Reza? Jangan-jangan ia tergoda mencoba kerak telor gratis di stan Betawi yang tadi mereka lewati? Nisa tersenyum kecil membayangkan kemungkinan itu; Reza memang pencinta kuliner kaki lima sejati. Atau, kemungkinan yang lebih besar, ia terjebak kerumunan ibu-ibu penggemarnya yang berebut minta selfie dan Reza, dengan sifatnya yang tidak tegaan, tak bisa menolak? Pikiran terakhir itu membuatnya sedikit geli sekaligus gemas. Reza memang punya titik lemah pada permintaan ramah, terutama dari ibu-ibu paruh baya yang mengingatkannya pada almarhumah ibunya.

Ia menoleh pada Mas Anto, ajudan Paspampres yang paling dekat dengannya. "Mas Anto," panggilnya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang dan datar, menyembunyikan sedikit nada cemas yang mulai menyelinap. "Lihat Bapak tadi terakhir ke arah mana?" Ia menambahkan dalam hati, Rame banget begini suasananya... bikin khawatir aja.

"Siap, Ibu. Izin melaporkan," jawab Mas Anto sigap dan profesional, tanpa menunjukkan kepanikan sedikit pun. "Terakhir Bapak terlihat di dekat area panggung sebelah kanan, sekitar sepuluh menit yang lalu, sedang mengobrol dengan beberapa peserta dari stan pameran produk daur ulang. Saya coba periksa kembali melalui komunikasi internal, Bu." Mas Anto langsung berbicara lewat earpiece yang tersembunyi di telinganya, menyampaikan instruksi dengan kode-kode singkat.

Lihat selengkapnya