Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #4

Dansa yang Mengguncang Dunia Maya

Langit Jakarta baru saja memamerkan lukisan lembayung senja terbaiknya, semburat jingga, merah muda, dan ungu yang memudar perlahan di ufuk barat, ketika Nisa dan Reza akhirnya menemukan sebuah pulau ketenangan di tengah lautan kesibukan mereka yang seolah tak pernah surut. Akhir pekan itu terasa seperti lari maraton tanpa henti – rapat-rapat strategis yang alot, persiapan detail untuk kunjungan kenegaraan minggu depan, tumpukan dokumen yang menuntut tanda tangan dan keputusan segera. Malam Minggu ini, oleh karena itu, terasa seperti hadiah yang tak ternilai: jeda singkat untuk bernapas, untuk sekadar menjadi Nisa dan Reza, bukan presiden dan First Gentleman. Mereka memutuskan untuk menghabiskannya di paviliun pribadi mereka, surga kecil mereka yang tersembunyi di balik tembok tinggi Istana, jauh dari hiruk-pikuk sayap utama yang selalu berdenyut dengan energi politik dan protokoler.

Di ruang keluarga yang nyaman, tempat sofa beludru zamrud dan rak buku tinggi berdiri sebagai saksi bisu keintiman mereka, suasana terasa damai. Jendela-jendela besar terbuka ke arah taman yang kini mulai diselimuti kegelapan lembut, hanya diterangi lampu-lampu taman temaram yang menyorot bentuk-bentuk eksotis tanaman tropis. Aroma tanah basah setelah hujan sore dan melati yang mulai mekar terbawa angin malam yang sejuk. Nisa meringkuk nyaman di salah satu sudut sofa favoritnya, kakinya terlipat di bawah tubuhnya. Bukan laporan negara atau draf RUU yang ada di tangannya malam ini, melainkan sebuah novel misteri karya penulis Skandinavia yang sudah lama ingin dibacanya, hadiah ulang tahun dari Alex beberapa bulan lalu. Kacamata bacanya bertengger di hidung, sesekali ia tersenyum tipis atau mengerutkan kening mengikuti alur cerita yang menegangkan. Ia tampak begitu rileks, begitu lepas dari beban pekerjaannya.

Reza duduk bersila di atas karpet Persia tebal di lantai, bersandar di sisi sofa dekat kaki Nisa. Suasana hatinya tampak ringan. Ia sedang asyik memilah-milah koleksi piringan hitam vintage mereka yang cukup banyak, warisan dari ayahnya dan koleksi yang terus mereka tambah berdua selama bertahun-tahun. Jari-jarinya bergerak lincah menelusuri sampul-sampul album yang sedikit usang namun penuh kenangan. Suara gemerisik sampul album berbahan karton tebal dan decitan lembut jarum stylus yang sesekali ia coba di atas piringan hitam menjadi latar belakang suara yang menenangkan, sebuah simfoni nostalgia yang kontras dengan dering telepon dan notifikasi digital yang mendominasi hari-hari mereka.

Setelah beberapa saat menimbang-nimbang antara jazz Miles Davis atau rock klasik Queen, Reza akhirnya tersenyum puas. Pilihannya jatuh pada sebuah album legendaris dari era disko funk: Earth, Wind & Fire. Dengan hati-hati, ia meletakkan piringan hitam berwarna hitam mengkilap itu di atas turntable, menurunkan jarumnya perlahan. Tak lama kemudian, intro ikonik yang langsung dikenali siapa saja yang tumbuh di era 70-an atau 80-an – dentingan kalimba yang ceria diikuti hentakan drum dan bassline yang groovy – mengalun memenuhi ruangan. Lagu "September". Nada yang penuh semangat optimisme, membawa nostalgia akan era disko yang riang dan tanpa beban.

Nisa tersenyum dari balik novelnya, tanpa mengalihkan pandangan. "Lagu favoritmu," gumamnya pelan, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Reza menoleh ke arahnya dari lantai, seringai lebar dan jahil tersungging di wajahnya, matanya berbinar. "Lagu kita," koreksinya lembut namun tegas. Lagu itu memang punya tempat spesial dalam sejarah hubungan mereka, lagu latar kencan pertama mereka yang canggung namun manis bertahun-tahun silam.

Tanpa berkata-kata lagi, seolah terdorong oleh energi ceria musik itu, Reza bangkit berdiri dengan gerakan gesit. Ia mengulurkan tangannya pada Nisa yang masih meringkuk di sofa. Sebuah undangan bisu. "Ayo."

Nisa tertawa kecil, tawa yang terdengar sedikit lelah, tetapi juga geli. Ia ragu sejenak, melirik novelnya yang sedang seru, lalu menatap uluran tangan Reza dan senyumnya yang menawan. Godaan itu terlalu kuat untuk ditolak. Ia menandai halaman novelnya, meletakkannya di meja samping, lalu menyambut uluran tangan Reza yang hangat. "Aku lagi capek banget lho, Za," protesnya manja, separuh sungguhan separuh pura-pura, tapi ia sudah berdiri, membiarkan Reza menariknya lembut.

"Justru itu," balas Reza sambil tersenyum penuh arti, menarik Nisa ke tengah ruangan yang cukup lapang di antara sofa dan rak buku, tempat karpet tebal terhampar. "Ini obat capek paling mujarab sedunia. Terapi dansa ala Reza Satria."

Dan mereka pun mulai berdansa. Awalnya hanya gerakan shuffle and sway yang sederhana dan sedikit kaku. Tangan mereka saling menggenggam lembut, tubuh mereka bergoyang ringan ke kiri dan ke kanan mengikuti irama mid-tempo yang menghentak namun santai. Mata mereka bertemu, bertukar senyum penuh kebahagiaan dan kelegaan. Di momen ini, di ruang aman ini, mereka sejenak melupakan beban negara yang berat, ekspektasi publik yang menyesakkan, dan intrik politik yang melelahkan. Yang ada hanyalah mereka berdua, musik yang mereka sukai, dan kebersamaan yang tak ternilai. Reza, dengan jiwa jahilnya, sesekali menarik Nisa mendekat secara tiba-tiba saat bergoyang, membuat Nisa tertawa kecil karena terkejut dan sedikit kehilangan keseimbangan.

Saat irama mulai meningkat di bagian reffrain, "Ba de ya, say do you remember? Ba de ya, dancing in September...", gerakan mereka menjadi lebih hidup, lebih lepas. Kelelahan fisik seolah menguap, tergantikan oleh endorfin kebahagiaan. Pegangan tangan mereka semakin erat namun tetap santai, langkah maju-mundur kecil kini diselingi putaran sederhana yang Reza pimpin dengan lembut namun percaya diri. Nisa mengikutinya dengan anggun dan tawa tertahan, piyama sutranya yang longgar tampak menari bersamanya, menciptakan siluet indah dalam cahaya temaram. Tawa kecil kembali terdengar saat mereka hampir bertabrakan karena salah langkah akibat terlalu bersemangat.

Lihat selengkapnya