Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #5

Badai Pertama

Hari-hari setelah video dansa privat mereka meledak dan mengguncang dunia maya terasa seperti berjalan di bawah awan mendung yang pekat dan enggan beranjak pergi. Langit Jakarta mungkin masih membiru cerah di luar jendela-jendela tinggi Istana Negara, agenda kenegaraan dan rapat-rapat penting tetap berjalan sesuai jadwal yang padat, namun ada lapisan kelabu tak kasat mata yang membayangi setiap langkah Nisa dan Reza. Lapisan itu berupa sorotan tajam yang terasa menusuk, bisik-bisik di koridor kekuasaan yang kini terdengar lebih nyaring, dan tatapan penuh selidik dari kolega maupun lawan politik yang mengikuti ke mana pun mereka pergi. Badai pertama telah datang. Bukan dalam bentuk angin topan dahsyat yang merusak seketika, melainkan lebih seperti gerimis dingin yang konstan, yang perlahan namun pasti meresap ke dalam pori-pori kehidupan mereka, menguji ketahanan fondasi terkuat sekalipun: ikatan cinta dan kepercayaan mereka.

Di dalam ruang kerjanya yang biasanya menjadi sumber energi dan inspirasi, Nisa berusaha keras mempertahankan fokusnya. Tumpukan laporan evaluasi program bantuan sosial, jadwal pertemuan maraton dengan para menteri, draf pidato untuk konferensi internasional minggu depan – semuanya menuntut perhatian penuh dan keputusan cepat. Namun, pikirannya terusik. Konsentrasinya mudah buyar. Setiap kali ia membuka portal berita daring di tabletnya untuk memantau isu-isu nasional terkini, kolom-kolom opini atau tajuk rencana dengan judul-judul seperti "Menyoal Etika Pejabat Publik di Era Digital" atau "Menjaga Sakralitas dan Wibawa Jabatan Kepresidenan" seolah melompat ke arahnya, menari-nari mengejek di depan matanya. Tak perlu disebut secara eksplisit pun, ia tahu persis apa pemicu gelombang diskusi moralitas publik yang tiba-tiba meninggi ini. Acara-acara bincang-bincang politik di televisi yang biasanya membahas isu ekonomi atau hubungan luar negeri kini memiliki topik baru yang lebih gurih dan sensasional untuk digoreng: pantas tidaknya seorang Ibu Negara berdansa riang gembira di ruang pribadinya yang entah bagaimana caranya bisa menjadi konsumsi dan bulan-bulanan publik.

"Ada lagi yang baru pagi ini?" tanya Nisa datar, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop di depannya. Suaranya terdengar lelah.

Angel berdiri kaku beberapa langkah di depan mejanya, memegang tablet dengan kedua tangan, ekspresinya tampak ragu dan tidak nyaman. Angel menelan ludah, tampak jelas enggan menyampaikan berita buruk lagi. "Ada kolom opini baru di Harian Suara Bangsa, Bu," jawabnya pelan. "Judulnya cukup provokatif... 'Dari Istana ke Panggung Hiburan: Krisis Kepemimpinan Serius?' Isinya agak... menyudutkan peran Ibu."

Nisa mengibaskan tangannya di udara dengan gerakan tak sabar, masih menatap layar laptopnya. "Biarkan saja, Ngel. Biarkan mereka menggonggong sepuasnya. Kafilah akan tetap berlalu," ujarnya, mengutip peribahasa lama dengan nada yang terdengar lebih seperti mantra untuk dirinya sendiri daripada keyakinan penuh. Ia mencoba menerapkan prinsip let them be yang sering ia dengungkan pada orang lain dan pada dirinya sendiri, tapi rasanya jauh lebih sulit ketika serangan itu terasa begitu personal, begitu invasif, dan terus-menerus datang tanpa henti. "Ada hal lain yang lebih penting dan substantif, Ngel? Bagaimana dengan persiapan kunjungan ke sentra batik tulis di Pekalongan lusa? Semuanya sudah siap?" Ia berusaha mengalihkan pembicaraan ke agenda kerja yang nyata.

"Sudah siap semua, Bu," jawab Angel cepat. "Logistik, akomodasi, daftar pengrajin yang akan ditemui, materi untuk media lokal... Tapi," Angel ragu sejenak, menggigit bibir bawahnya, "ada saran dari tim protokoler dan keamanan, Bu. Mengingat situasi media saat ini, mereka menyarankan untuk menggunakan rute alternatif saat menuju lokasi acara di Pekalongan. Mungkin melalui jalur belakang untuk menghindari kerumunan media yang kemungkinan besar akan menunggu di pintu masuk utama dan bertanya soal... insiden video itu."

Nisa mendengus keras, kali ini ia memutar kursinya menghadap Angel, tatapannya tajam menusuk. "Menghindar?" ulangnya tak percaya. "Kenapa kita harus menghindar? Memangnya kita habis melakukan kejahatan? Korupsi? Membunuh orang?" Ada nada sengit dan kemarahan yang tak lagi bisa ia sembunyikan dalam suaranya, yang membuat Angel sedikit tersentak kaget. "Kita hanya berdansa di rumah kita sendiri! Pakai rute biasa saja, Ngel. Kalau ada wartawan yang bertanya, saya akan jawab. Tegas dan jelas. Selesai." Ia kembali memutar kursinya membelakangi Angel, menatap layar komputernya dengan kaku, memberi isyarat tak terbantahkan bahwa diskusi soal rute itu sudah selesai.

Tapi di dalam hatinya, Nisa merasa jengkel luar biasa. Jengkel karena momen paling privat dan bahagianya diobrak-abrik dan dijadikan komoditas politik murahan. Jengkel karena ia merasa terus-menerus dipaksa untuk berada dalam posisi defensif, menjelaskan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dijelaskan. Dan, sejujurnya, ia juga sedikit jengkel pada dirinya sendiri karena membiarkan semua ini begitu mempengaruhinya, mengganggu ketenangan batinnya. Ia merindukan Nisa yang dulu, yang lebih cuek, yang lebih mudah menepis serangan-serangan seperti ini. Tekanan di puncak kekuasaan ini perlahan mengikis lapis baja pertahanannya.

Sementara itu, di belahan lain kota Jakarta, Reza Satria juga merasakan dampak dari badai kecil ini, meski dengan cara yang berbeda. Serangan utama memang ditujukan pada Nisa, pada citra dan kepantasannya sebagai pemimpin. Namun, namanya tak luput dari seretan arus. Lawan politik mereka cukup cerdik untuk memahami bahwa menyerang Reza secara halus bisa menjadi cara efektif untuk menggoyang Nisa. Beberapa kali dalam pertemuan bisnis penting atau acara sosial kelas atas yang dihadirinya sendirian, ia merasakan tatapan penuh selidik dari kolega atau pertanyaan basa-basi yang jelas menyindir dari kenalan lama. "Wah, Pak Reza, kelihatannya enjoy sekali ya menikmati masa-masa jadi First Gentleman? Banyak waktu luang untuk... berdansa?" atau "Saya lihat Ibu Negara energik sekali ya, Pak. Bapak tidak kewalahan mengimbanginya?" Komentar-komentar itu, meski disampaikan sambil tersenyum, terasa seperti duri kecil yang menusuk.

Hardiman Suryo, seperti yang sudah diduga sejak awal, tak tinggal diam dan memainkan perannya dengan lihai. Dalam sebuah wawancara eksklusif di stasiun televisi yang dikenal dekat dengan partainya, ia dengan wajah penuh keprihatinan palsu menyatakan "kegelisahannya" pada "fokus dan prioritas" pemerintahan saat ini. "Rakyat kita sedang menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan, stabilitas regional juga perlu perhatian serius," ujarnya dengan nada bijaksana yang dibuat-buat. "Kita butuh pemimpin yang seratus persen fokus pada masalah-masalah krusial ini, yang serius bekerja siang malam, bukan yang... mohon maaf, mungkin terlalu sibuk dengan urusan citra personal atau... aktivitas-aktivitas yang kurang relevan seperti tarian misalnya," ujarnya, tanpa menyebut nama Nisa secara langsung, tapi semua orang di negeri ini tahu persis siapa yang ia maksud. Bahkan ada kalimat tersirat yang lebih menusuk tentang pentingnya peran "pendamping" yang bijaksana, yang bisa "mengingatkan dan mengarahkan" pasangannya agar tetap menjaga marwah dan kesakralan jabatan tertinggi negara. Sebuah sindiran halus namun telak yang jelas ditujukan pada Reza.

Reza, yang biasanya dikenal santai, humoris, dan mudah bergaul, kini merasa harus melangkah lebih hati-hati. Setiap ucapan, setiap gestur, bahkan pilihan dasi yang ia kenakan, terasa seperti bisa dipelintir dan dianalisis oleh media dan lawan politik. Ia secara sadar menambah frekuensi kemunculannya di sisi Nisa dalam acara-acara publik resmi maupun tidak resmi. Bukan untuk pamer kemesraan seperti yang dituduhkan para pengkritik, tapi sebagai sebuah pernyataan visual yang diam namun tegas: kami solid, kami tidak terpengaruh oleh serangan murahan ini, kami adalah tim. Ia bahkan meminta tim komunikasinya untuk mengeluarkan pernyataan pers yang halus, tetapi tetap cerdas, menekankan tentang hak privasi setiap warga negara, termasuk pejabat publik, selama tindakan mereka tidak melanggar hukum atau etika publik yang berlaku. Pernyataan itu juga secara tersirat mengingatkan bahwa kebahagiaan personal seorang pemimpin justru bisa menjadi sumber energi positif dalam menjalankan tugas negara. Sebuah langkah defensif yang tak biasa baginya, menunjukkan bahwa serangan ini mulai mengenai sasaran.

Lihat selengkapnya