Api kontroversi yang disulut oleh video dansa viral itu ternyata hanyalah percikan kecil, sebuah pemanasan sebelum kebakaran sesungguhnya dimulai. Bara dalam sekam itu mulai menyala hebat, menjilat-jilat pilar kekuasaan dan bahkan merambat ke ruang-ruang paling privat Istana, ketika Nisa Farha, dengan keyakinan penuh dan tanpa gentar, secara resmi mengajukan proposal Rancangan Undang-Undang "Rumah Dewasa Mandiri" (RUU RDM) ke jajaran kabinet untuk dibahas dan diteruskan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Inisiatif yang telah lama ia godok, yang lahir dari keprihatinan mendalamnya melihat kerapuhan pondasi banyak keluarga muda di Indonesia, kini terhidang di meja perdebatan nasional. Tujuannya mulia: membekali generasi muda dengan kematangan finansial, kecerdasan emosional, pemahaman utuh akan hak serta kewajiban dalam pernikahan, serta kesehatan reproduksi yang bertanggung jawab, sebelum mereka melangkah ke jenjang yang sakral, tapi penuh tantangan itu. Namun, di negara yang masih memegang teguh tradisi dan interpretasi agama yang beragam – kadang kaku – gagasan ini seketika menjadi titik panas, memicu perdebatan sengit yang jauh melampaui diskusi kebijakan biasa.
Dalam sebuah rapat kabinet terbatas yang berlangsung di ruang rapat Istana yang dingin dan ber-AC kuat namun terasa panas oleh ketegangan, Nisa mempresentasikan visinya dengan semangat yang membara, kontras dengan suasana formal di sekelilingnya. Slide-slide berisi data statistik perceraian dini yang melonjak, angka KDRT yang mengerikan, kasus stunting akibat ketidaksiapan orang tua, hingga prevalensi depresi di kalangan pasangan muda usia produktif, terpampang jelas di layar besar.
"Bapak, Ibu Menteri yang saya hormati," Nisa memulai, suaranya tenang namun bergetar oleh keyakinan yang kuat, matanya menatap satu per satu wajah para pembantu presiden di sekeliling meja oval panjang itu. "Kita tidak bisa lagi menutup mata, tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semua baik-baik saja dengan pondasi keluarga di negeri ini. Data-data ini bukan sekadar angka, ini adalah potret penderitaan, potret generasi masa depan yang terancam. Tingginya angka perceraian, KDRT yang merajalela, stunting yang menghambat potensi anak bangsa, bahkan depresi yang merenggut kebahagiaan – semua ini, jika kita telusuri akarnya, seringkali berawal dari satu hal: ketidaksiapan."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Kita terlalu lama membiarkan pernikahan terjadi hanya karena desakan 'sudah waktunya', karena tekanan sosial yang tak masuk akal, atau karena pemahaman dogma agama yang kaku dan sempit, tanpa pernah sungguh-sungguh membekali calon pasangan dengan fondasi mental, emosional, dan finansial yang kuat untuk mengarungi badai kehidupan berumah tangga."
Nisa kemudian menjabarkan konsep programnya dengan detail: pusat pelatihan intensif selama beberapa bulan bagi pemuda-pemudi usia pranikah (usia 17-20 tahun), yang mungkin akan menjadi syarat wajib bagi mereka yang ingin mendaftarkan pernikahan secara resmi di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. Kurikulumnya komprehensif: mulai dari literasi finansial dasar (mengatur anggaran rumah tangga, investasi sederhana, bahaya utang konsumtif), manajemen konflik dan komunikasi efektif antar pasangan, kesehatan reproduksi dan seksual yang bertanggung jawab (termasuk KB), pemahaman mendalam tentang kesetaraan gender dalam rumah tangga, hingga – dan ini bagian yang paling membuat beberapa menteri tampak gelisah di kursi mereka – usulan adanya syarat minimal kemandirian finansial bagi calon suami sebelum diizinkan menikah, sebagai bentuk tanggung jawab awal.
"Ini bukan untuk mempersulit ibadah menikah, Bapak Ibu," Nisa menegaskan, menatap tajam pada beberapa menteri dari partai koalisi berbasis agama yang tampak paling resah. "Justru sebaliknya, ini adalah upaya kita untuk memuliakan institusi pernikahan itu sendiri. Untuk memastikan bahwa pernikahan tidak lagi menjadi sumber masalah baru, tapi menjadi pondasi yang kokoh bagi kebahagiaan individu dan kemajuan bangsa." Ia melanjutkan dengan nada yang lebih menggugah, "Ini untuk memastikan bahwa anak-anak kita kelak lahir dari pasangan yang benar-benar siap secara lahir dan batin, pasangan yang bahagia, yang saling mendukung, dan mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi penerus. Ini adalah upaya kita untuk memutus lingkaran setan kemiskinan struktural dan masalah-masalah sosial yang terus diwariskan dari generasi ke generasi hanya karena pernikahan yang dipaksakan atau dijalani tanpa kesiapan yang matang."
Reaksi publik tak perlu menunggu lama. Begitu proposal RUU RDM itu – entah bagaimana caranya – bocor ke media massa (dan di era digital yang transparan sekaligus kejam ini, semua hal penting hampir pasti akan bocor), badai kritik yang sesungguhnya menghantam dari segala penjuru. Kali ini bukan sekadar gerimis, tapi hujan deras disertai angin kencang. Kelompok-kelompok masyarakat konservatif dan beberapa organisasi keagamaan garis keras langsung meradang. Mereka menggelar konferensi pers, mengeluarkan pernyataan sikap, menuduh Nisa dan pemerintahannya mencoba mengintervensi ranah privat keluarga yang seharusnya sakral, mencampuri ajaran agama, mempromosikan gaya hidup sekuler liberal yang permisif, dan yang paling sering diulang-ulang: mempersulit ibadah mulia yaitu menikah.
Media-media yang terafiliasi dengan partai oposisi atau memiliki haluan konservatif tak ketinggalan memanaskan suasana. Tajuk rencana dengan judul-judul bombastis bermunculan setiap hari: "Agenda Liberal Ibu Negara Ancam Nilai Luhur Keluarga Indonesia!", "Sekularisasi Terselubung di Balik Program Pranikah Wajib?", "Negara Mau Atur Jodoh dan Rezeki Rakyat?", "RUU RDM: Pintu Masuk Legalisasi Zina?" Protes-protes kecil, tetapi vokal mulai bermunculan di depan gedung DPR dan bahkan di depan gerbang Istana Negara. Spanduk-spanduk dibentangkan, menuduh Nisa "anti-keluarga", "anti-syariat", bahkan "agen asing" yang ingin merusak tatanan moral bangsa. Debat kusir di media sosial menjadi semakin liar, personal, dan seringkali dibumbui hoaks serta ujaran kebencian yang ditujukan langsung pada Nisa.
Nisa, seperti karakternya, mencoba menghadapi gelombang penolakan ini dengan kepala dingin. Dalam beberapa kesempatan wawancara atau dialog publik, ia berusaha menanggapinya dengan data statistik, argumen rasional, dan penjelasan visi kemanusiaan di balik RUU tersebut. Ia menekankan bahwa program ini justru bertujuan memperkuat keluarga, bukan melemahkannya. Namun, gelombang penolakan kali ini terasa berbeda. Lebih terorganisir, lebih masif, dan sepertinya didanai dengan baik.
Namun, yang paling membuat Nisa geram hingga ke ubun-ubun dan membuat Reza merasakan tekanan langsung yang menyesakkan adalah pergeseran strategi yang tampak jelas dari lawan-lawan politik mereka. Mereka tampaknya mulai sadar bahwa menyerang Nisa secara langsung – sosok perempuan kuat, cerdas, dan berani yang kini menjadi idola banyak kaum muda dan perempuan – justru hanya akan semakin mengukuhkan citranya sebagai pejuang yang tertindas di mata para pendukungnya. Serangan langsung bisa menjadi bumerang. Maka, mereka mulai membidik titik yang dianggap lebih lunak, lebih rentan, namun sama pentingnya dalam konstelasi kekuasaan Nisa: sang suami, Reza Satria. Jika Nisa adalah benteng baja, Reza adalah tanah di bawahnya; menggoyahkan tanah itu diharapkan akan meruntuhkan benteng di atasnya.