Jika Istana Penuh Bara Tak Pernah Ada...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #7

Bisikan di Lorong Istana

Tekanan udara di dalam kompleks Istana Negara terasa semakin berat dan menyesakkan di minggu-minggu berikutnya, seperti langit Jakarta yang menggantung kelabu pekat sesaat sebelum badai tropis besar mengamuk. Serangan terhadap proposal RUU "Rumah Dewasa Mandiri" terus bergulir tanpa henti di media massa dan ruang-ruang sidang parlemen. Sementara itu, fitnah keji yang menyasar integritas bisnis Reza, meski mulai sedikit mereda dari halaman depan koran, terus diembuskan dalam bisik-bisik di lingkaran elite politik dan bisnis, menciptakan pusaran energi negatif yang tak terhindarkan dan meresap ke dalam setiap aspek kehidupan mereka.

Nisa dan Reza berusaha keras mempertahankan benteng pertahanan terakhir mereka: kesatuan dan keharmonisan rumah tangga mereka. Di depan publik, mereka adalah potret kesolidan – tampil bersama dengan senyum profesional, bergandengan tangan erat saat menghadiri acara kenegaraan, bertukar pandang penuh dukungan yang telah terlatih. Namun, di balik pintu paviliun pribadi mereka yang biasanya menjadi surga kedamaian, kelelahan kronis mulai meninggalkan jejaknya yang tak bisa dihapus. Tawa lepas mereka yang dulu begitu mudah meledak kini terdengar lebih jarang, lebih tertahan. Obrolan santai sebelum tidur seringkali terpotong oleh keheningan yang sarat akan beban pikiran masing-masing, atau lebih buruk, tanpa sadar berubah menjadi evaluasi strategi politik atau analisis serangan terbaru dari lawan. Sentuhan hangat yang dulu begitu spontan dan menenangkan kini terasa sedikit lebih tergesa-gesa, lebih mekanis, kehilangan percikan magisnya. Api gairah yang pernah membara hebat di bab 1 kini terasa seperti bara yang meredup, tertutup abu kelelahan dan kecemasan.

Di tengah keruhnya suasana inilah, di celah-celah kerapuhan yang mulai tampak di antara pasangan paling berkuasa di negeri itu, Rahmat Iskandar menemukan panggungnya untuk bermain. Sebagai salah satu staf ahli kepercayaan di lingkaran dalam Istana, yang direkrut di awal masa jabatan Nisa karena kecerdasannya yang tajam dan rekam jejaknya yang mengesankan, Rahmat adalah sosok bunglon yang lihai. Di permukaan, ia adalah perwujudan profesionalisme dan efisiensi: selalu tepat waktu, analisisnya mendalam, tutur katanya santun dan terukur, siap sedia membantu kapanpun dibutuhkan. Namun, di balik senyumnya yang tipis dan sikapnya yang selalu tampak loyal dan suportif, tersimpan rapi sebuah ambisi dingin yang tak terpuaskan dan kekecewaan pribadi yang membara. Rahmat merasa "terlewati", merasa potensinya tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh gaya kepemimpinan Nisa yang dianggapnya terlalu populis, terlalu emosional, dan kurang menghargai analisis strategis yang dingin seperti miliknya. Ia mendambakan pengaruh yang lebih besar, mungkin posisi menteri atau setidaknya kepala staf, posisi yang tampaknya tak akan pernah ia raih selama Nisa masih memegang kendali dengan gayanya yang unik. Ia melihat celah dalam tekanan hebat yang sedang dihadapi pasangan presiden itu – sebuah kesempatan emas untuk menggoyang fondasi yang tampak kokoh itu dari dalam. Mungkin demi keuntungan politik pribadinya di masa depan, atau mungkin, sesederhana kepuasan sinis melihat Nisa Farha yang selalu tampak tegar itu akhirnya goyah dan rapuh.

Permainan Rahmat begitu halus, nyaris tak kasat mata, seperti racun yang bekerja perlahan. Ia memanfaatkan posisinya sebagai jembatan informasi informal antara Nisa, Reza, dan staf kunci lainnya. Ia menjadi penyampai pesan yang tampak "terpercaya" dan "efisien", tetapi selalu dengan sedikit modifikasi, sedikit penekanan yang berbeda, sedikit informasi kunci yang sengaja ia hilangkan atau tambahkan.

Kepada Reza, misalnya, setelah Nisa selesai rapat alot dengan tim hukum atau fraksi partai koalisi, Rahmat akan melaporkan hasilnya dengan nada prihatin yang dibuat-buat. Ia akan menonjolkan betapa Nisa begitu "keras kepala", "tidak mau mendengar" masukan lain yang lebih "aman", atau "terlalu emosional" dalam mempertahankan argumennya. Ia sengaja mengabaikan konteks perjuangan Nisa melawan tembok birokrasi yang lamban atau tekanan politik yang luar biasa, membingkainya seolah-olah Nisa bertindak gegabah dan impulsif. Tujuannya jelas: menanamkan keraguan di benak Reza tentang kebijaksanaan Nisa, membuatnya merasa Nisa tidak menghargai masukannya.

Sebaliknya, kepada Nisa (atau melalui Angel), Rahmat akan "secara tidak sengaja" dan dengan nada penuh simpati menyebutkan betapa Reza terlihat "muram", "tertekan", atau "sangat terbebani" setelah pertemuan bisnisnya yang membahas dampak serangan fitnah itu. Ia akan sedikit melebih-lebihkan cerita, menyiratkan bahwa serangan terhadap Reza benar-benar memukulnya jauh lebih keras dari yang diakuinya di depan Nisa. Tujuannya: menanamkan rasa bersalah yang lebih dalam pada Nisa, membuatnya merasa bertanggung jawab atas penderitaan suaminya, mungkin membuatnya berpikir untuk sedikit mengerem langkah progresifnya.

Tak hanya itu, Rahmat juga "secara tidak sengaja" beberapa kali salah menyampaikan detail jadwal pertemuan informal Nisa dan Reza, atau "lupa" meneruskan pesan singkat tentang perubahan rencana kecil di antara mereka. Hal-hal sepele – Reza menunggu Nisa di tempat yang salah, Nisa menyiapkan makan malam kesukaan Reza, tapi Reza pulang terlambat karena misinformasi jadwal – tetapi friksi-friksi kecil ini, yang terjadi di tengah badai besar yang sedang mereka hadapi, terasa seperti ribuan tusukan jarum yang mengganggu, mengikis kesabaran, dan menciptakan lahan subur bagi kesalahpahaman yang lebih besar.

Puncak dari permainan licik Rahmat terjadi di suatu sore yang mendung dan gerah di pertengahan minggu. Reza baru saja kembali ke Istana setelah serangkaian pertemuan maraton yang sangat melelahkan di luar. Sebagian besar waktunya hari itu habis untuk mencoba menenangkan para mitra bisnisnya yang mulai terdengar panik dan khawatir akibat pemberitaan negatif tentang dirinya yang terus digoreng oleh media oposisi. Ia merasa lelah luar biasa, frustasi karena harus terus membela diri dari tuduhan tak berdasar, dan sejujurnya, ia merasa sedikit kesepian dalam pertarungannya ini. Ia sangat menantikan makan malam berdua yang tenang dengan Nisa malam itu – sebuah janji yang telah mereka buat di awal minggu sebagai "waktu wajib" untuk meletakkan semua urusan pekerjaan dan benar-benar terhubung kembali tanpa gangguan. Momen itu terasa seperti oase yang sangat ia butuhkan di tengah gurun tekanan ini.

Saat ia sedang melonggarkan dasinya yang terasa mencekik di ruang kerja pribadinya yang bersebelahan dengan ruang kerja Nisa, bersiap untuk menyegarkan diri sebelum waktu makan malam, Rahmat Iskandar muncul di pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya menampilkan ekspresi prihatin yang tampak begitu tulus hingga sulit dicurigai.

"Selamat sore, Pak Reza," sapanya dengan nada lembut dan penuh hormat. "Mohon maaf mengganggu waktu istirahat Bapak."

Lihat selengkapnya