Beberapa minggu telah merangkak lambat sejak malam pertengkaran hebat yang meninggalkan luka menganga di hati Nisa dan Reza. Hari-hari di Istana berjalan dalam ritme yang aneh dan tidak nyaman. Di depan publik, di bawah sorotan kamera dan tatapan jutaan mata, mereka adalah perwujudan profesionalisme yang sempurna. Tetap tampil bersama di acara-acara kenegaraan, senyum terkalibrasi terpasang di wajah, bertukar pandang penuh arti yang telah begitu terlatih selama bertahun-tahun hingga tampak meyakinkan bagi siapa saja yang tidak mengenal mereka secara mendalam. Namun, di balik pintu kayu jati tebal paviliun pribadi mereka, kehangatan spontan yang dulu begitu mudah mengalir kini membeku menjadi lapisan es tipis yang canggung. Komunikasi mereka menjadi efisien, tetapi dingin, terbatas pada hal-hal logistik atau pekerjaan yang tak terhindarkan. Sentuhan mereka menjadi sopan, tetapi ragu, sekadar formalitas tanpa percikan listrik yang dulu selalu ada. Tawa lepas tergantikan oleh keheningan yang memekakkan. Ranjang luas mereka terasa seperti benua yang terpisah, masing-masing tidur di tepian terjauh, punggung saling membelakangi. Keduanya terluka parah oleh kata-kata tajam yang terlontar malam itu, keduanya lelah oleh tekanan eksternal yang tak kunjung reda, dan keduanya – meski mungkin tak mau mengakuinya – merasa bingung dan tidak yakin bagaimana memulai jalan kembali untuk menjembatani jurang emosional yang kini terasa begitu lebar di antara mereka.
Di tengah suasana beku dan penuh ironi inilah, sebuah undangan mendarat di meja kerja Nisa. Ia diminta menjadi pembicara utama di acara puncak perayaan Hari Jomblo Sedunia tingkat nasional. Acara yang akan diadakan di auditorium utama sebuah universitas negeri ternama di Jakarta, dihadiri oleh ratusan mahasiswa, aktivis muda, dan media. Tema acara tahun ini, seolah sengaja dipilih untuk menyindir kondisi Nisa saat ini: "Merdeka Mencintai Diri Sendiri: Bahagia dalam Kesendirian atau Kebersamaan." Sebuah tema yang terasa begitu relevan dengan nilai-nilai yang sering Nisa suarakan, tapi sekaligus terasa seperti tamparan ironis mengingat kehampaan yang sedang ia rasakan dalam kebersamaannya dengan Reza.
Di ruang tunggu VIP belakang panggung, beberapa menit sebelum gilirannya naik, Nisa membolak-balik lembaran naskah pidato yang telah disiapkan dengan rapi oleh timnya. Hasil kolaborasi antara Angel, beberapa penulis pidato Istana yang handal, dan masukan dari Nisa sendiri beberapa minggu lalu sebelum pertengkaran itu terjadi. Drafnya brilian: lucu di bagian awal, cerdas dalam observasi sosialnya, penuh semangat pemberdayaan di bagian akhir – persis seperti yang diharapkan publik dari gaya pidato Ibu Negara Nisa Farha yang selalu memukau. Ia mencoba fokus, membaca ulang beberapa kalimat kunci tentang pentingnya kemandirian emosional dan finansial bagi para lajang. Tapi pikirannya terus melayang tanpa bisa dicegah. Melayang pada keheningan canggung yang membekap meja sarapan bersama Reza pagi tadi. Melayang pada tatapan mata Reza yang terasa jauh dan kosong saat mereka berpapasan sekilas di koridor Istana siang tadi. Melayang pada rasa sakit dan kesepian yang anehnya terasa lebih menusuk justru ketika ia berada begitu dekat secara fisik dengan pria yang paling ia cintai. Bagaimana mungkin ia bisa bicara tentang kebahagiaan dan mencintai diri sendiri di depan ratusan orang, sementara hatinya sendiri terasa retak dan kosong?
"Ibu sudah siap?" Suara Angel yang lembut namun profesional membuyarkan lamunan Nisa. Angel berdiri di sampingnya, memegang segelas air mineral dan tablet berisi salinan pidato. Ada sorot khawatir yang tak bisa disembunyikan di mata asisten setianya itu. Angel, dengan kepekaannya yang terlatih, pasti bisa merasakan perubahan atmosfer yang drastis di antara pasangan nomor satu itu dalam beberapa minggu terakhir.
Nisa menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dan profesionalismenya. Ia memaksakan seulas senyum di bibirnya, senyum yang terasa sedikit kaku. "Siap, Ngel," jawabnya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia rasakan. "Ayo kita beri para jomblo hebat di luar sana sedikit semangat dan inspirasi." Ia merapikan blazer tenun berwarna cerah yang dikenakannya, menegakkan bahunya yang terasa berat, dan melangkah dengan percaya diri menuju panggung utama, disambut riuh tepuk tangan meriah dari audiens yang telah memadati auditorium.
Saat melangkah menuju podium, dari sudut matanya, ia melihat Reza duduk di barisan paling depan, diapit oleh Rektor Universitas dan beberapa pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga. Reza tampak gagah dan tenang seperti biasa dalam balutan kemeja batik lengan panjang berwarna gelap. Ia memberikan anggukan kecil dan seulas senyum tipis pada Nisa saat pandangan mereka bertemu sesaat. Senyum itu... apakah senyum itu mencapai matanya yang teduh? Nisa bertanya-tanya dalam hati. Atau itu hanyalah fasad publik yang sama sempurnanya seperti yang sedang susah payah ia pasang saat ini?
"Bismillahirrahmanirrahim, Asalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, dan selamat pagi menjelang siang untuk seluruh jomblo-jomblowati dan jomblo-jomblowan kebanggaan Indonesia yang saya cintai dan saya banggakan!" Nisa memulai pidatonya dengan salam pembuka yang lengkap dan inklusif seperti biasanya. Suaranya bergema memenuhi auditorium yang mendadak hening, nadanya ia paksa terdengar ceria, bersemangat, dan penuh energi positif, sebuah kontras yang menyakitkan dengan perasaan kalut di dalam dirinya. Ia membawakan bagian awal pidatonya dengan gaya khasnya yang santai namun cerdas. Humor-humor segarnya tentang tekanan sosial dari keluarga dan tetangga soal "kapan nikah?", perayaan atas kebebasan tidur miring tanpa gangguan dengkuran pasangan, hingga sindiran halus pada notifikasi dari aplikasi belanja daring yang terasa lebih menjanjikan dan membahagiakan daripada notifikasi pesan singkat dari gebetan yang tak kunjung datang. Semua disampaikan dengan timing yang pas, mengundang ledakan tawa membahana dari para hadirin, terutama para mahasiswa yang merasa sangat relate.
Nisa melirik sekilas ke arah Reza. Ia melihat suaminya tersenyum kecil di bangkunya, mungkin geli mendengar leluconnya yang sedikit menyindir kehidupan berpasangan. Apakah itu senyum tulus kali ini? Atau hanya sebuah apresiasi sopan untuk leluconnya yang memang lucu? Hatinya sedikit menghangat, tapi juga sedikit ragu.
Lalu, Nisa sampai pada bagian inti pidatonya. Bagian yang terasa paling sulit, tapi juga paling penting untuk ia sampaikan. Bagian yang sebagian besar ia tambahkan sendiri tadi malam saat merenung sendirian di ruang kerjanya yang sunyi, menuangkan kegelisahan hatinya ke dalam kata-kata. "Tapi teman-teman, adik-adikku para pejuang kesendirian yang berbahagia," lanjutnya, nadanya kini berubah, sedikit lebih pelan, lebih serius, lebih personal. Ia melepaskan diri sejenak dari naskah di podium. "Menjadi jomblo, atau memilih untuk sendiri dalam fase kehidupan tertentu, itu bukan berarti kita gagal. Itu bukan berarti kita kurang laku atau kurang menarik." Ia menggeleng pelan. "Justru sebaliknya! Anggaplah ini sebagai masa emas kalian! Kesempatan berharga yang mungkin tidak akan datang dua kali. Masa di mana kita bisa benar-benar fokus untuk belajar mengenal, memahami, dan yang terpenting, mencintai diri kita sendiri dulu, seutuhnya."
"Karena apa?" Ia berhenti sejenak, tatapannya menyapu lembut seluruh hadirin di depannya, tetapi entah mengapa rasanya tatapan itu seolah tertuju lurus pada satu sosok pria di barisan depan. "Karena sebelum kita berharap orang lain bisa mencintai kita sepenuhnya, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita yang kadang rumit ini," ia melanjutkan, suaranya terdengar sedikit bergetar oleh emosi yang coba ia tahan, "kita harus pastikan dulu bahwa diri kita ini sudah 'penuh'. Penuh dengan cinta untuk diri kita sendiri. Penuh dengan penerimaan atas segala kerapuhan dan ketidaksempurnaan kita. Penuh dengan rasa hormat pada diri sendiri. Penuh dengan kebahagiaan autentik yang kita ciptakan dari dalam diri kita sendiri, bukan kebahagiaan semu yang kita gantungkan pada kehadiran atau validasi orang lain."