Bulan-bulan bergulir setelah pidato Hari Jomblo yang secara ironis menjadi titik balik kecil bagi Nisa dan Reza. Es di antara mereka memang perlahan mencair, namun prosesnya tidak mudah dan tidak instan. Gencatan senjata tentatif di dalam mobil kepresidenan hari itu membuka pintu untuk percakapan-percakapan yang lebih dalam, lebih jujur, namun juga seringkali lebih menyakitkan di malam-malam berikutnya. Mereka mulai membongkar lapisan-lapisan kesalahpahaman, mengakui rasa sakit yang mereka timbulkan satu sama lain, dan dengan hati-hati, mulai membangun kembali jembatan kepercayaan yang sempat retak parah. Kecurigaan terhadap Rahmat Iskandar membayangi percakapan mereka, menambah lapisan kerumitan dan kewaspadaan baru dalam lingkaran Istana yang penuh intrik.
Namun, di tengah upaya pemulihan internal itu, tekanan eksternal tak mengendur sedikit pun. Perdebatan sengit mengenai RUU "Rumah Dewasa Mandiri" terus berkecamuk di ruang publik dan parlemen. Serangan-serangan media, meski tak lagi sefrontal sebelumnya, masih terus menyasar Nisa dan kadang Reza, mencari-cari celah untuk menjatuhkan kredibilitas mereka. Suasana hati di lingkaran dalam Istana terasa campur aduk: ada secercah harapan karena hubungan Nisa dan Reza tampak membaik, tapi juga ada ketegangan konstan menanti serangan berikutnya.
Menjelang ulang tahun Nisa yang ke-55 – sebuah tonggak usia yang signifikan bagi siapapun, terlebih bagi seorang wanita yang memanggul beban negara di pundaknya – Reza mengamati istrinya dengan perhatian yang lebih intens dari biasanya. Nisa memang berusaha tegar, senyumnya masih tersungging saat memimpin rapat atau menyapa publik, tawanya masih terdengar renyah saat bercanda dengan Alex. Namun, Reza, sebagai orang yang paling mengenalnya di muka bumi ini, bisa melihat apa yang tersembunyi di baliknya. Ia melihat garis-garis halus kelelahan di sekitar mata Nisa yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan oleh riasan terbaik sekalipun. Ia mendengar nada getir yang sesekali menyelinap tanpa sadar di balik suara tegasnya saat membahas lawan politiknya. Ia merasakan jarak emosional halus yang kadang masih tercipta di antara mereka di malam hari, meski secara fisik mereka sudah kembali berbagi ranjang yang sama.
Hati Reza terasa sakit melihatnya. Melihat wanita yang ia cintai dengan sepenuh jiwa, wanita yang biasanya begitu penuh api semangat dan optimisme, kini tampak sedikit redup cahayanya oleh gempuran badai yang tiada henti. Ia tahu Nisa adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal, baja yang ditempa dalam api pengalaman. Tapi bahkan baja terkuat pun bisa lelah, bisa retak jika terus menerus ditempa tanpa henti, tanpa jeda untuk memulihkan diri. Dan itulah mengapa, di tengah semua kekacauan politik dan kerapuhan emosional yang masih membayangi, Reza memutuskan untuk melakukan sesuatu yang "gila". Sesuatu yang melampaui sekadar hadiah ulang tahun biasa berupa perhiasan mahal atau liburan mewah (yang toh sulit mereka lakukan). Ia ingin memberikan Nisa bukan hanya sebuah kejutan, tapi sebuah oase – sebuah momen kebahagiaan murni yang absolut, yang bisa membawanya sejenak keluar dari labirin tekanan Istana, yang bisa mengingatkannya kembali pada Nisa yang dulu, Nisa yang riang dan penuh mimpi, sebelum beban negara diletakkan di pundaknya yang kini terlihat agak rapuh itu, tetapi tetap kokoh. Ia ingin melihat mata Nisa berbinar lagi dengan cahaya yang sama seperti saat mereka pertama kali jatuh cinta, tanpa bayangan kekhawatiran atau kelelahan. Ia ingin Nisa merasa dilihat, dipahami, dan dicintai pada level yang paling dalam.
Maka, dimulailah sebuah misi rahasia yang ambisius dan nyaris mustahil: Operasi Nightingale (terinspirasi dari asal The Corrs itu sendiri). Menggunakan jaringan pribadinya yang luas di dunia bisnis internasional, koneksi diplomatik yang ia bangun selama mendampingi Nisa, dan bantuan segelintir staf Istana serta pihak luar yang paling ia percaya (dan paling bisa menjaga rahasia tingkat tinggi ini), Reza mulai menjajaki kemungkinan yang tampak seperti mimpi di siang bolong: mengundang The Corrs, band legendaris asal Dundalk, Irlandia, idola terbesar masa kecil hingga kini istrinya tercinta, untuk terbang ke Jakarta dan tampil secara eksklusif dan sangat privat di hari ulang tahun Nisa yang ke-55.
Reza ingat betul, seperti baru kemarin rasanya, cerita-cerita Nisa saat mereka masih pacaran dulu. Tentang bagaimana Nisa remaja, dengan uang jajan pas-pasan sebagai anak kos di Jogja, rela menabung berbulan-bulan hanya untuk membeli kaset album Talk on Corners yang asli. Tentang bagaimana ia akan mengunci diri di kamar kosnya yang sempit, menyetel lagu "Runaway" atau "What Can I Do" berulang-ulang dengan tape deck bututnya, menyanyikan liriknya dengan penuh perasaan sambil menggunakan sisir rambut sebagai mikrofon darurat, membayangkan dirinya sepanggung dengan Andrea Corr yang cantik bersuara emas. Tentang bagaimana Nisa muda begitu terpesona pada perpaduan harmonis musik pop-rock dengan sentuhan folk Irlandia yang khas, pada biola magis Sharon, drum enerjik Caroline, dan gitar melodius Jim. Sebuah mimpi remaja sederhana yang tampak begitu jauh, bahkan absurd, dari realitasnya kini sebagai salah satu wanita paling berkuasa di Asia Tenggara.
"Undang The Corrs? Ke Jakarta? Cuma buat ulang tahun mama?" tanya Alex dengan nada skeptis yang kental saat Reza akhirnya "membocorkan" rencananya pada putra semata wayang mereka itu. Reza membutuhkan bantuan Alex untuk memastikan Nisa tidak curiga sedikit pun dan untuk menjaga semangatnya sendiri di tengah kerumitan rencana ini. "Papa serius? Memangnya mereka mau terbang separuh keliling dunia cuma buat main beberapa lagu di depan mama, papa, sama aku doang?" Alex, dengan pragmatisme khas generasinya, tampak meragukan kelayakan rencana ayahnya.
Reza tersenyum misterius, menepuk bahu putranya. "Kita lihat aja nanti, Lex. Keajaiban kadang terjadi kalau niat kita baik," jawabnya, terdengar lebih optimis daripada perasaannya yang sesungguhnya saat itu. "Lagipula," lanjutnya dengan nada sedikit bercanda, mengulang dialog internal yang pernah berkecamuk di kepalanya saat pertama kali ide gila ini muncul, "kapan lagi mama ulang tahun kepala lima? Kesempatan langka ini. Dan kapan lagi The Corrs masih lengkap formasi emasnya dan masih sehat walafiat semua? Mumpung mereka semua belum pada sibuk nimang cucu atau pensiun main band, kan?" Alex akhirnya tertawa kecil, setuju dengan logika ayahnya, dan berjanji akan membantu menjaga rahasia besar ini.
Di belahan bumi lain, di sebuah kantor manajemen artis di Dublin, Irlandia, sebuah panggilan video formal, tapi bernada sangat personal diterima oleh manajer The Corrs. Undangan resmi dari Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Awalnya ada sedikit kebingungan ("Indonesia? The President's husband?"), lalu keterkejutan saat detail permintaan itu dijelaskan, dan akhirnya senyum geli yang lebar terkembang di wajah Andrea, Sharon, Caroline, dan Jim Corr saat mereka melakukan conference call internal membahas undangan unik ini.
"Wait, hold on," Andrea, sang vokalis utama dengan suara malaikatnya, bertanya tak percaya, tawanya tertahan. "Jadi, Ibu Negara Indonesia? The Presiden Shabrina Farha Nisa? Nge-fans berat sama kita sejak dia masih... primary school?" "Jadi, kemungkinan besar dia dulu nyanyi 'Breathless' atau 'Radio' sambil mikirin suaminya yang sekarang jadi First Gentleman itu dong?"
"Ini epic, Dre!" timpal Jim, sang gitaris dan kakak tertua, sambil terkekeh. "Cerita ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Kita harus bikin ini super spesial buat dia. Mainkan semua lagu-lagu lama favoritnya dari album pertama dan kedua!"
"Dan kita harus kasih kejutan ekstra!" usul Caroline, sang drummer yang selalu penuh energi, bersemangat. "Mungkin kita bisa ajak dia naik panggung terus nyanyi bareng 'What Can I Do' atau 'So Young'? Pasti dia bakal pingsan saking senengnya!"
Sharon, sang pemain biola yang anggun, menambahkan dengan senyum lembut, "Dan kita harus belajar beberapa frasa dasar Bahasa Indonesia! Minimal bilang 'Selamat Ulang Tahun, Ibu Nisa!'"
Singkat cerita, setelah beberapa negosiasi jadwal yang rumit dan jaminan keamanan serta kerahasiaan tingkat tertinggi dari pihak Istana, The Corrs setuju. Mereka melihatnya bukan sekadar sebagai pekerjaan, tapi sebagai sebuah kehormatan unik, sebuah petualangan tak terduga, dan sebuah cerita manis yang terlalu bagus untuk ditolak. Mereka tersentuh oleh kisah penggemar setia mereka yang kini menjadi seorang pemimpin negara.
Tibalah hari ulang tahun Nisa yang ke-55. Hari itu berjalan seperti biasa, penuh dengan rapat dan tugas kenegaraan. Nisa sendiri tidak mengharapkan perayaan besar. Mengingat situasi politik yang masih panas dan kondisi hubungannya dengan Reza yang baru saja mulai pulih, ia hanya mengharapkan makan malam keluarga yang tenang bersama Reza dan Alex, atau mungkin resepsi kecil dan sederhana dengan para menteri perempuan dan beberapa sahabat dekatnya. Reza memberitahunya beberapa hari sebelumnya bahwa ia telah menyiapkan acara makan malam "kejutan kecil" untuk mereka bertiga di salah satu function hall privat di hotel bintang lima langganan Istana di pusat Jakarta. Alasannya, agar mereka bisa merayakan dengan lebih tenang tanpa gangguan staf rumah tangga paviliun. Nisa, meskipun merasa sedikit lelah setelah seharian bekerja, menghargai usaha Reza. Ia berdandan dengan gaun malam sederhana, tetapi elegan berwarna emerald green yang serasi dengan sofa di paviliun mereka, berusaha menunjukkan semangat dan antusiasme demi suaminya.