Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada hari itu terasa seperti kuali raksasa yang mendidih di bawah tekanan panas yang tak tertahankan. Hari penentuan nasib RUU "Rumah Dewasa Mandiri" telah tiba, dan atmosfer di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, terasa begitu tegang hingga nyaris bisa dipotong dengan pisau. Di luar gedung kura-kura yang ikonik itu, ribuan pasang mata dari berbagai kelompok masyarakat – baik pendukung maupun penentang RUU – mengikuti jalannya sidang paripurna lewat layar-layar raksasa yang dipasang di beberapa titik strategis. Sementara itu, di dalam lobi utama dan koridor-koridor marmer yang biasanya lengang, ratusan wartawan dari media cetak, elektronik, hingga daring berdesakan, berebut posisi terbaik, mikrofon dan kamera teracung siaga, siap menangkap setiap drama yang mungkin terjadi. Udara Jakarta yang biasanya sudah panas dan lembap terasa semakin menyesakkan, bukan hanya oleh kepadatan manusia, tapi juga oleh ketegangan politik tingkat tinggi dan aroma busuk skandal fabrikasi yang sengaja dihembuskan tepat dua hari sebelumnya. Isu dugaan perselingkuhan Reza Satria – meskipun telah dibantah keras oleh pihak Istana sebagai fitnah keji – masih menjadi topik utama perbincangan di warung kopi hingga ruang rapat direksi, membayangi nasib RUU yang diperjuangkan Nisa Farha mati-matian. Pertarungan ini bukan lagi sekadar pertarungan gagasan atau kebijakan, tapi telah berubah menjadi pertarungan antara integritas melawan fitnah, antara keberanian melawan cara-cara kotor.
Di dalam ruang tunggu khusus VVIP yang dingin dan steril, jauh dari hiruk-pikuk media, Nisa Farha duduk diam di sebuah sofa tunggal, punggungnya tegak lurus, tangannya terkepal lembut di pangkuan. Ia menatap kosong pantulan dirinya di jendela antipeluru yang menghadap taman bagian dalam kompleks DPR. Wajahnya tampak pucat dan lelah. Lingkaran hitam tipis membayangi bawah matanya, bukti nyata kurang tidur selama dua malam terakhir – lingkaran hitam yang bahkan tak sepenuhnya bisa disamarkan oleh lapisan riasan profesional yang dikenakannya pagi itu. Dua malam terakhir adalah neraka baginya. Pikirannya terperangkap dalam pusaran badai emosi yang saling bertentangan: amarah yang membara pada fitnah keji dan para dalangnya, rasa sakit hati yang menusuk setiap kali ia teringat foto-foto buram atau membaca ulang komentar-komentar kejam di media sosial, rasa bersalah yang menggerogoti karena merasa Reza menjadi korban karena dirinya, namun di saat yang sama, ia juga harus mengumpulkan sisa-sisa energi untuk memimpin persiapan strategi akhir pemenangan RUU ini. Ia tahu, hari ini adalah pertaruhan terbesar dalam karir politiknya, dan mungkin juga dalam pernikahannya.
Di sudut ruangan, Angel berdiri kaku seperti biasa, memegang map berisi salinan pidato akhir Nisa, wajahnya tegang penuh simpati. Sementara Alex, putra semata wayang mereka, mondar-mandir gelisah di dekat jendela lain, rahangnya mengeras, sesekali mengumpat pelan dengan suara tertahan saat membaca linimasa media sosial di ponsel pintarnya yang menampilkan hujatan dan spekulasi liar tentang orang tuanya.
"Mereka benar-benar biadab, Ma," desis Alex tiba-tiba, tak mampu menahan diri lagi, suaranya bergetar karena marah. Ia menghampiri Nisa. "Menjadikan papa target serendah ini ... menggunakan fitnah murahan seperti ini... semua hanya demi menjegal RUU Mama? Ini gila!"
Nisa menarik napas panjang, mencoba mencari ketenangan di tengah badai. Ia menoleh pada putranya, mengulurkan tangan, mengelus lembut lengan Alex. "Mama tau, Lex," jawabnya pelan, suaranya terdengar serak namun mantap. "Mama tau mereka akan ngelakuin apa saja." Ia berhenti, menatap mata putranya yang berkilat marah. "Tapi dengerin Mama," lanjutnya, nadanya kini mengandung baja, "mereka gak akan berhasil. Kita gak akan biarkan mereka menang." Di tengah kehancuran dan rasa sakit, satu hal menjadi jangkar baginya: mundur bukanlah pilihan. Mundur berarti membiarkan fitnah itu merajalela tanpa perlawanan. Mundur berarti membiarkan para pengecut itu mendikte nasib bangsa ini. Mundur berarti mengkhianati kepercayaan Reza.
Tepat saat itu, pintu ruangan VVIP terbuka pelan dari luar. Reza Satria melangkah masuk, diikuti seorang ajudan Paspampres yang langsung menutup pintu kembali dengan sigap, menjaga privasi di dalam ruangan. Reza baru saja berhasil melewati kerumunan wartawan yang mencegatnya di lobi utama gedung DPR. Wajahnya tampak lelah, ada sedikit gurat ketegangan di sana, namun langkahnya mantap dan ekspresinya tegas. Di depan puluhan kamera dan mikrofon tadi, ia telah memberikan pernyataan singkat, padat, dan tanpa keraguan: "Saya tegaskan sekali lagi, semua tuduhan yang beredar dua hari terakhir ini adalah fitnah keji dan sama sekali tidak berdasar. Ini adalah upaya putus asa dan tidak bermartabat untuk menjatuhkan istri saya dan program-program pro-rakyat yang sedang beliau perjuangkan. Saya percaya publik Indonesia cukup cerdas untuk menilai sendiri mana kebenaran dan mana kebohongan yang disebar untuk kepentingan politik sesaat."
Singkat, menusuk, tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk interpretasi atau keraguan.
Kini, begitu pintu tertutup, mata Reza langsung mencari Nisa. Ia menghampiri istrinya, mengabaikan Alex dan Angel yang serempak memberi hormat padanya. Tanpa ragu, ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan malam sebelumnya di paviliun mereka: ia berlutut di depan Nisa yang masih terduduk di sofa. Mengabaikan potensi dilihat oleh staf lain di ruangan itu, ia meraih kedua tangan Nisa yang terasa dingin ke dalam genggamannya yang hangat dan kuat. Tangan itu masih terasa dingin, tapi genggaman Nisa kini balas menggenggamnya erat, seolah mencari kekuatan.
"Sa," panggil Reza lembut, suaranya dalam dan menenangkan, hanya untuk telinga Nisa. Ia menatap lekat ke dalam mata istrinya yang tampak lelah namun kini juga memancarkan api tekad yang sama dengannya. "Gimana perasaanmu sekarang? Kamu siap?"
Nisa menatap balik ke mata Reza. Ia melihat kelelahan di sana, sama seperti yang ia rasakan. Ia melihat bekas luka dari serangan dua hari terakhir. Tapi ia juga melihat cinta yang tak tergoyahkan, dukungan yang solid, dan tekad baja yang sama untuk tidak menyerah. Keraguan dan rasa sakit hati yang sempat mengoyaknya kini telah bertransformasi menjadi kemarahan yang dingin dan fokus yang tajam pada pertempuran di depan mata. "Aku siap, Sayang," jawabnya, suaranya kini terdengar mantap dan jelas. "Aku siap bertarung. Demi RUU ini. Demi kita."
Reza tersenyum tipis, senyum lega dan bangga. "Aku tau kamu siap," bisiknya. "Mereka mencoba menghancurkan kita dari titik terlemah, Sa. Mereka mencoba memisahkan kita dengan fitnah paling keji. Mereka pikir dengan menyerangku habis-habisan seperti ini, mereka bisa melemahkanmu, membuatmu gentar."