Dua hari telah berlalu sejak kemenangan dramatis di sidang paripurna DPR RI, dua hari sejak Nisa Farha dengan pidato membakarnya dan Reza Satria dengan aksi diamnya yang mengguncang berhasil membalikkan keadaan dan meloloskan RUU "Rumah Dewasa Mandiri". Istana Negara masih berdengung oleh gema peristiwa bersejarah itu. RUU yang diperjuangkan Nisa dengan darah, keringat, dan air mata – baik secara harfiah maupun kiasan – kini secara resmi telah disahkan menjadi undang-undang, sebuah kemenangan legislatif besar yang menandai salah satu pencapaian paling signifikan di masa jabatan pertamanya. Meskipun diraih dengan susah payah melalui pertarungan politik paling kotor dan dibayangi oleh skandal fabrikasi keji yang menyertainya.
Di luar tembok Istana, lanskap politik dan media tampak terbelah. Sebagian memuji keteguhan, keberanian, dan kecerdasan Nisa dalam menghadapi serangan bertubi-tubi, sambil mengecam taktik licik dan tidak bermartabat yang digunakan oleh pihak oposisi. Kolom-kolom analisis memprediksi momentum positif ini akan memperkuat posisi Nisa menjelang pemilihan presiden berikutnya. Namun, di sisi lain, media-media yang berseberangan atau sekadar haus sensasi masih terus mengorek-ngorek detail fitnah perselingkuhan Reza, menuntut "bukti" lebih lanjut atas bantahan resmi Istana, mencoba menjaga agar api skandal itu tidak sepenuhnya padam. Hardiman Suryo dan sekutu-sekutunya di parlemen tampak menarik diri sejenak dari sorotan publik, mungkin sedang menjilat luka politik mereka setelah kekalahan tipis itu, tapi semua orang yang memahami peta politik negeri ini tahu, ini hanyalah jeda strategis, bukan akhir dari permusuhan sengit mereka terhadap Nisa Farha.
Namun, di dalam keheningan relatif paviliun pribadi Nisa dan Reza, suasana terasa sangat berbeda dari hiruk pikuk di luar. Badai politik di ruang publik mungkin baru saja menunjukkan tanda-tanda akan reda sesaat, tapi badai emosional yang baru saja menghantam bahtera rumah tangga mereka baru saja melewati puncaknya. Adrenalin pertarungan sengit di DPR, energi kemarahan yang membakar saat menghadapi fitnah, semuanya kini telah surut drastis. Yang tersisa adalah kelelahan yang mendalam hingga ke tulang sumsum, dan puing-puing perasaan – luka, ketakutan, keraguan, rasa bersalah – yang berserakan di antara mereka, menuntut untuk segera dibereskan sebelum mengeras menjadi penghalang permanen. Mereka berdua menyadari, dengan kejernihan yang menyakitkan, betapa dalamnya luka yang nyaris menghancurkan fondasi cinta dan kepercayaan yang telah mereka bangun selama lebih dari satu dekade itu.
Nisa mendapati dirinya sering termenung di tengah-tengah rapat evaluasi pasca pengesahan RUU, padahal seharusnya ia merasa puas dan lega. Pikirannya tanpa sadar melayang kembali pada momen-momen tergelap dua hari yang lalu: pada tatapan mata Reza yang penuh luka dan kekecewaan saat fitnah itu pertama kali meledak, pada keheningan dingin yang menyiksa di antara mereka malam itu. Rasa bersalah kembali menggerogotinya meskipun ia tahu ia bukanlah pihak yang melempar batu pertama. Beban tanggung jawabnya sebagai Presiden, yang biasanya ia pikul dengan bangga, kini terasa berkali-kali lipat lebih berat ketika ia menyadari betapa destruktif dampaknya pada pria yang paling ia cintai di dunia ini.
Reza, di sisi lain, berusaha keras untuk kembali ke rutinitas bisnisnya yang sempat terbengkalai. Ia mencoba membaca laporan pasar saham, membalas email dari klien internasional, tapi konsentrasinya mudah buyar. Bayangan foto-foto buram itu, tuduhan keji yang merusak reputasinya, masih menghantuinya seperti hantu di siang bolong. Rasa marah karena privasinya diobrak-abrik dan nama baiknya dicemarkan kini bercampur dengan kelegaan yang tak terhingga karena Nisa, pada akhirnya, tak pernah benar-benar meragukannya. Kepercayaan Nisa padanya adalah satu-satunya pelampung yang membuatnya tidak tenggelam dalam lautan fitnah itu. Namun, ia juga tak bisa melupakan perasaan ngeri saat menyadari betapa dekatnya mereka dengan jurang kehancuran. Betapa rapuhnya benteng pernikahan mereka ketika diserang secara brutal di titik yang paling personal dan sensitif.
Malam itu, dua hari setelah kemenangan di DPR, mereka duduk di ruang keluarga paviliun yang sama. Ruang tempat mereka pernah berdansa riang mengikuti irama "September" – sebuah kenangan yang kini terasa seperti terjadi di kehidupan yang lain, di masa yang lebih polos dan naif. Ruang yang sama di mana Reza mempersembahkan kejutan The Corrs yang menyembuhkan. Ruang yang sama pula di mana mereka duduk terpisah dalam keheningan yang menyakitkan setelah badai fitnah itu menghantam. Tak ada musik yang mengalun malam ini. Hanya suara detak jam antik di dinding dan suara napas mereka sendiri yang terdengar jelas di keheningan ruangan. Nisa sedang mencoba membaca buku baru, tapi matanya hanya menatap kosong pada deretan huruf di halaman itu. Reza duduk di sofa lain, menatap kosong layar tablet yang menampilkan berita ekonomi terbaru, tapi pikirannya jelas melayang jauh. Kelelahan membayangi wajah mereka berdua.
"Aku ... aku masih ga percaya mereka bisa sejahat dan selicik itu," Nisa akhirnya memecah keheningan yang terasa berat itu, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia menutup bukunya, tak sanggup lagi berpura-pura membaca, lalu menoleh menatap Reza.
Reza mengalihkan pandangannya dari layar tablet yang sedari tadi hanya menjadi distraksi. Matanya bertemu dengan mata Nisa. "Aku juga," jawabnya lirih, suaranya serak. "Menggunakan fitnah serendah itu ... menyerang rumah tangga kita untuk tujuan politik ... Mereka benar-benar sudah kehilangan akal sehat dan nurani."
"Ini semua karena aku," kata Nisa lagi, nada bersalah yang familiar itu kembali terdengar dalam suaranya, matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau saja aku tidak terlalu ngotot dengan RUU itu… Kalau saja aku mau sedikit berkompromi...,"
"Sshh... jangan mulai lagi," Reza bangkit dari sofanya, berjalan menghampiri Nisa dan duduk rapat di sampingnya. Ia meraih tangan Nisa, menggenggamnya erat.