Minggu-minggu bergulir menjadi bulan sejak kemenangan tipis di parlemen dan badai fitnah terkejam yang nyaris merenggut keutuhan pernikahan Nisa dan Reza. Langit politik di atas Istana Negara perlahan-lahan tampak lebih cerah, meski awan kelabu berupa intrik dan potensi serangan baru tak pernah benar-benar hilang dari cakrawala. RUU "Rumah Dewasa Mandiri", buah perjuangan Nisa yang paling berdarah-darah, kini telah resmi menjadi undang-undang. Implementasinya di lapangan tentu saja tidak mudah, terus menuai perdebatan sengit dan resistensi kultural di beberapa daerah, namun setidaknya fondasi hukum untuk perubahan yang ia impikan telah berhasil diletakkan. Isu fitnah perselingkuhan Reza pun perlahan tenggelam dari halaman depan media massa, tergantikan oleh isu-isu nasional lainnya yang tak kalah panas, meskipun bekas luka dari serangan brutal itu masih terasa perih dan membekas dalam ingatan mereka berdua.
Namun, perubahan paling signifikan dan paling mendalam justru terjadi bukan di ruang-ruang rapat atau halaman media, melainkan di dalam dinding paviliun pribadi Nisa dan Reza. Di ruang-ruang paling privat tempat mereka menanggalkan jubah kekuasaan dan menjadi diri mereka sendiri. Mereka berdua sadar betul, dengan kesadaran yang lahir dari pengalaman pahit, bahwa sekadar selamat dari badai dahsyat tidak serta-merta berarti kapal pernikahan mereka kembali utuh dan siap berlayar seperti sediakala. Ada retakan-retakan halus yang perlu ditambal dengan hati-hati, ada sistem navigasi internal – komunikasi, kepercayaan, cara menghadapi konflik – yang perlu dikalibrasi ulang secara fundamental. Mereka belajar dengan cara yang keras bahwa cinta saja, sebesar dan sedalam apapun itu, ternyata tidak cukup untuk bertahan hidup di tengah pusaran kekuasaan yang kejam dan tekanan publik yang tanpa ampun. Dibutuhkan lebih dari sekadar perasaan; dibutuhkan usaha sadar yang terus-menerus, komitmen aktif untuk saling menjaga dan merawat hubungan, serta kesepakatan untuk menemukan dan menjaga ritme baru yang disepakati bersama. Ritme yang memungkinkan cinta mereka tidak hanya bertahan, tapi juga bertumbuh semakin kuat di tengah badai.
Salah satu perubahan pertama yang mereka terapkan, yang tampak sederhana namun berdampak besar, adalah pada ritual sarapan pagi mereka. Dulu, sarapan seringkali menjadi momen yang sambil lalu, terburu-buru di antara jadwal yang padat. Nisa biasanya sudah tenggelam membaca rangkuman berita pagi atau memo penting di tabletnya, sementara Reza mengecek email bisnis atau membalas pesan singkat di ponselnya. Percakapan mereka seringkali diselingi oleh dering telepon dari staf atau interupsi ajudan yang menyampaikan pesan mendesak. Kini, mereka membuat aturan tak tertulis yang sakral: selama tiga puluh menit pertama setiap pagi, dari jam enam tiga puluh sampai jam tujuh, meja makan kecil di sudut paviliun mereka adalah zona bebas gawai, zona bebas pembahasan pekerjaan, zona bebas stres. Hanya ada mereka berdua, secangkir kopi hitam Gayo untuk Reza, secangkir teh melati hangat tanpa gula untuk Nisa, dan obrolan ringan tentang hal-hal di luar Istana. Mereka bicara tentang rencana Alex yang mulai serius mencari universitas di luar negeri, tentang film komedi romantis terbaru yang ingin mereka tonton bersama jika ada waktu luang (yang jarang terjadi), tentang kelakuan lucu kucing liar yang sering mampir ke taman paviliun, atau sekadar mengomentari bunga anggrek bulan baru berwarna ungu pekat yang akhirnya mekar setelah berbulan-bulan dirawat Reza dengan telaten. Awalnya terasa sedikit canggung, sedikit dipaksakan, memaksakan ketenangan artifisial di tengah jadwal yang selalu terasa menggila. Tapi perlahan, ritual sederhana ini menjadi sauh bagi mereka berdua. Menjadi momen berharga untuk saling menatap mata tanpa gangguan layar, untuk benar-benar hadir satu sama lain, untuk memulai hari dengan koneksi emosional yang positif sebelum badai pekerjaan dan politik menerjang di sisa hari.
Mereka juga mulai secara rutin mengadakan "rapat" khusus di akhir pekan – bukan rapat kenegaraan yang formal dan menegangkan, tapi "rapat evaluasi hubungan Nisa dan Reza" yang mereka lakukan hanya berdua, biasanya sambil minum teh sore di teras paviliun. Dalam rapat informal inilah mereka menetapkan batas-batas baru yang lebih jelas untuk melindungi ruang privat dan kewarasan mereka.
"Mulai sekarang," kata Nisa suatu Sabtu sore, sambil meringkuk nyaman di sofa rotan di teras, kakinya diselonjorkan di pangkuan Reza yang duduk di sampingnya, "aku usul, jam delapan malam sampai besok pagi setelah sarapan, paviliun ini resmi jadi zona bebas kerjaan total. Nggak ada lagi telepon dari staf kecuali darurat level satu bencana nasional atau perang. Nggak ada lagi buka laptop untuk balas email kantor atau baca draf RUU. Dan yang paling penting, tidak ada diskusi strategi politik atau keluhan tentang lawan politik di atas ranjang. Setuju?" Ia menatap Reza, meminta persetujuan.
Reza tersenyum, mengelus lembut pergelangan kaki Nisa. "Setuju seratus persen, Panglima Tertinggi Rumah Tangga," guraunya ringan, tapi nadanya serius saat melanjutkan. "Dan aku mau menambahkan satu aturan lagi yang sangat penting, belajar dari pengalaman pahit kita kemarin." Ia menatap mata Nisa lekat. "Jika ada pesan 'penting' atau 'mendesak' dari staf manapun – entah stafmu atau stafku – yang menyangkut kita berdua secara personal, atau menyangkut jadwal kita bersama, atau berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, kita berdua wajib melakukan konfirmasi langsung satu sama lain dulu sebelum bereaksi atau mengambil kesimpulan. Lewat telepon langsung, atau pesan pribadi. Tidak ada lagi asumsi berdasarkan 'kata si anu' atau 'pesan titipan lewat si itu'." Mata mereka bertemu dalam pemahaman yang sama, sama-sama teringat pada bisikan beracun Rahmat Iskandar yang hampir menghancurkan mereka karena kesalahpahaman komunikasi yang disengaja.
"Sepakat!" Nisa mengangguk tegas, tanpa keraguan. "Nggak ada lagi celah sekecil apapun untuk kesalahpahaman yang disengaja maupun tidak disengaja di antara kita." Batas-batas baru ini terasa melegakan, seperti membangun pagar pelindung di sekeliling benteng pernikahan mereka.
Selain membangun aturan baru, mereka juga mulai secara sadar mempraktikkan filosofi let them be – biarkan saja – yang dulu sering Nisa ucapkan dengan mudahnya pada orang lain, tapi ternyata sulit ia terapkan pada dirinya sendiri saat diserang. Suatu sore, saat mereka sedang bersantai sejenak di ruang kerja Nisa sambil menunggu rapat berikutnya dimulai, Alex masuk sambil menunjukkan sebuah artikel dari portal berita gaya hidup daring di ponselnya. Artikel itu dengan nada nyinyir mengkritik pilihan tas tangan bermerek Nisa saat menghadiri acara peresmian perpustakaan daerah di Jawa Tengah minggu lalu – dianggap "terlalu mahal", "pamer kemewahan", dan "tidak menunjukkan empati pada kondisi rakyat kecil".