Istana Negara, Jakarta, Akhir Oktober 2048
Empat tahun telah berlalu. Empat tahun sejak badai fitnah terkejam itu menerpa, nyaris menenggelamkan biduk rumah tangga Nisa Farha dan Reza Satria di tengah lautan politik yang bergelora. Empat tahun sejak kemenangan dramatis di parlemen yang mengesahkan RUU "Rumah Dewasa Mandiri", sebuah pertaruhan besar yang mereka menangkan bersama. Empat tahun yang terasa panjang jika dihitung hari demi hari, penuh dengan liku-liku implementasi kebijakan, tantangan baru yang tak terduga, dan tentu saja, riak-riak politik yang tak pernah benar-benar berhenti. Namun, empat tahun itu juga dipenuhi dengan pembelajaran yang tak ternilai harganya, penguatan ikatan yang semakin dalam, dan penemuan kembali ritme kehidupan yang lebih harmonis bagi Nisa dan Reza.
Nisa Farha kini berada di penghujung masa jabatan pertamanya sebagai Presiden Republik Indonesia. Spekulasi mengenai apakah ia akan maju kembali untuk periode kedua semakin santer terdengar, menjadi topik hangat di berbagai diskusi politik. RUU "Rumah Dewasa Mandiri" yang dulu diperjuangkannya dengan begitu sengit kini telah berjalan selama beberapa tahun. Hasilnya di lapangan beragam: di beberapa provinsi menunjukkan dampak positif yang signifikan dalam menekan angka perceraian dini dan meningkatkan kesiapan pasangan muda, namun di daerah lain masih menghadapi tantangan implementasi yang berat akibat resistensi kultural, keterbatasan anggaran, dan birokrasi yang lamban. Sebuah pekerjaan rumah besar yang masih harus terus dikawal.
Reza Satria, sang first gentleman yang karismatik, tampak semakin matang dan tenang. Meskipun namanya masih sesekali dicatut atau disindir dalam berita miring oleh portal-portal media oposisi (terutama jika ada isu bisnis yang sensitif), kini ia tampak jauh lebih kebal, lebih mampu menepisnya dengan senyum tipis atau jawaban diplomatis yang elegan, tanpa membiarkan hal itu meracuni pikiran atau merusak harinya. Pelajaran "let them be" telah benar-benar meresap dalam dirinya.
Di dalam paviliun pribadi mereka, ritme baru yang dulu mereka bangun kembali dengan susah payah setelah krisis besar itu – sarapan pagi tanpa gawai, batas jam kerja yang jelas di ruang privat, komunikasi langsung dan terbuka, waktu berkualitas yang disengaja – kini telah terasa begitu alami, begitu mengalir seperti napas. Bukan lagi sebuah usaha sadar yang dipaksakan, melainkan telah menjadi bagian intrinsik dari cara mereka menjalani hidup bersama di tengah tekanan yang tak pernah benar-benar hilang. Tentu, tekanan pekerjaan Nisa sebagai Presiden masih luar biasa beratnya, jadwal mereka berdua masih seringkali menggila, dan intrik politik di sekitar mereka tak pernah benar-benar tidur. Namun, cara mereka berdua menavigasi semua itu kini telah jauh berubah. Mereka lebih solid, lebih bijaksana, lebih saling mengandalkan dengan cara yang sehat.
Sore itu, Nisa baru saja menyelesaikan rapat virtual maraton selama hampir tiga jam dengan para gubernur dari seluruh Indonesia, membahas evaluasi tahunan program-program sosial unggulannya, termasuk RDM. Ia tampak lelah saat akhirnya menutup laptopnya, menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya, memejamkan mata sejenak. Namun, ada gurat kepuasan yang jelas terpancar di wajahnya yang kini menunjukkan beberapa garis halus tanda usia dan perjuangan.
Pintu ruang kerjanya terbuka pelan. Reza masuk sambil tersenyum, membawa secangkir teh melati hangat kesukaan Nisa, aromanya langsung memenuhi ruangan. Sebuah ritual sore yang sering Reza lakukan jika ia kebetulan sedang berada di Istana dan Nisa sedang tenggelam dalam pekerjaan.
"Bagaimana rapatnya tadi, Bu Presiden?" tanya Reza lembut, meletakkan cangkir teh itu dengan hati-hati di atas meja kerja Nisa, di samping tumpukan dokumen.
"Panjang, alot seperti biasa kalau sudah menyangkut koordinasi pusat-daerah, tapi cukup produktif," jawab Nisa, meraih cangkir teh itu dengan senyum terima kasih yang tulus. Kehadiran dan perhatian kecil Reza seperti ini selalu berhasil menjadi penyemangat instan baginya. "Ada kemajuan signifikan di beberapa provinsi terkait implementasi RDM, tapi memang masih banyak PR besar di daerah lain. Biasalah, tantangan birokrasi dan budaya." Ia menyesap tehnya perlahan, merasakan kehangatan menjalar di tenggorokannya. "Kamu sendiri gimana hari ini? Tadi aku sekilas lihat di portal berita online itu, ada berita lagi soal tender lama perusahaanmu zaman baheula diangkat-angkat lagi sama mereka. Mencoba mengaitkannya dengan kebijakan infrastruktur baru." Ia menatap Reza, nadanya datar, tidak ada kepanikan seperti dulu.
Reza duduk dengan santai di kursi di depan meja Nisa, sama sekali tidak tampak terganggu. "Oh, yang itu?" jawabnya ringan sambil terkekeh pelan. "Udah biasa, kan, Sa? Daur ulang isu basi." Ia mengangkat bahu. "Biarin aja tim hukum perusahaan yang mengurus klarifikasinya. Aku udah gak punya waktu atau energi lagi untuk meladeni umpan basi murahan mereka." Ia tersenyum menatap Nisa. "Aku udah belajar banyak dari istriku yang bijaksana ini, katanya kan 'let them be' aja," godanya, mengutip kembali prinsip yang dulu Nisa perjuangkan untuk ia terapkan.
Nisa tertawa kecil mendengarnya. "Nah, gitu dong. Akhirnya, kamu mau ngedengerin nasihat istrimu juga ya setelah sekian lama," balasnya jenaka.
"Aku tuh selalu ngedengerin kamu kok, Sa," balas Reza cepat, nadanya kini berubah sedikit lebih serius, tatapannya melembut. "Hanya aja," ia mengakui, "dulu aku mungkin terlalu khawatir dampaknya padamu, terlalu reaktif, sampai lupa bahwa cara terbaik menghadapi gangguan-gangguan receh seperti itu kadang memang dengan mengabaikannya dan fokus pada hal yang lebih besar."