“ADUH!”
“Kalau jalan pakai kaki dong!”
Sambil mengusap dahinya yang nyut-nyutan, Arlin mendongak ingin tahu siapa orang yang barusaja ia tabrak. Niat awalnya mau meminta maaf, tetapi begitu melihat wajah tampan di depannya, Arlin justru melongo.
“Pangeran...”
Mendengar igauan cewek di depannya, Arles mengernyit bingung. Berpikir bahwa cewek ini mungkin saja belum meminum obat, Arles memilih pergi.
Arlin buru-buru berbalik badan saat pangeran tadi berjalan melewatinya. Ia berseru, “Pangeran! Maaf ya tadi aku nabrak kamu. Tapi nggak papa deh kalau lain kali nabrak kamu lagi. Habis dada kamu enak, sih, buat tabrakan.”
Arles menolehkan kepalanya ke belakang demi melihat cewek itu nyengir lebar. Kalimat super norak tadi berhasil membuat murid-murid yang sedang di koridor menatap ke arahnya.
Arles memutar bola mata. Ia benci menjadi pusat perhatian.
~
“Lo kenapa deh, Lin?” tanya Yohana merasa ngeri melihat teman sebangkunya cengar-cengir sejak masuk ke kelas tadi.
“Gue habis ketemu pangeran,” jawab Arlin tersenyum lebar.
“Pangeran kepala lo ketimpuk bakiak!” semprot Yohana. “Lo udah segede ini masih aja suka menghayal,” lanjutnya.
“Ihhh!” Arlin menggebrak meja, membuat teman sekelasnya menoleh. Yohana langsung menutup wajah, berharap ia bukanlah teman Arlin. “Gue tuh nggak menghayal. Cowok tadi itu beneran ganteng banget kayak pangeran,” kata Arlin menggebu-gebu.
“Iyain aja, deh,” pasrah Yohana pada akhirnya. Arlin memberengut sebal. Tetapi, begitu mengingat wajah cowok tampan yang tadi pagi ia tabrak, senyum Arlin kembali merekah.
Arlin baru akan membuka paket sejarah Indonesia saat tiba-tiba salah seorang teman sekelasnya berseru, “Woy, ada murid baru di kelas IPA 2. Ganteng baget, sumpah!”
Sedetik kemudian mereka berbondong-bondong keluar kelas. Berjibaku di depan pintu kelas 12 IPA 2 yang terbuka. Penasaran, Arlin pun menyeruak kerumunan.
Seketika mulut Arlin melongo melihat sosok pangerannya berdiri di depan whiteboard sedang memperkenalkan diri. Pekikan centil teman cewek ataupun gerutuan teman cowok yang sekelas dengannya tak membuat Arlin mengalihkan pandangan dari pangerannya.
“Hei, kalian anak IPA 1, kenapa berdiri di situ?”
Teguran Bu Dinda membuat mereka tersadar dari keterpukauan. Bukannya segera pergi, mereka malah cengar-cengir. Apalagi saat si murid baru ikut menoleh ke arah mereka. Pekikan tertahan pun terdengar.
“Kembali ke kelas atau saya laporkan kalian ke Pak Dharma!”
Mendengar nama guru sejarah Indonesia disebut-sebut, mereka segera membubarkan diri, lalu terbirit-birit masuk ke kelas mereka yang ada di samping kelas IPA 2.
“Arlinta! Kenapa kamu masih di situ?”
Arlin yang masih berdiri gelayutan di pintu menoleh sebentar ke arah Bu Dinda. Sedetik kemudian ia memusatkan kembali pandangannya pada cowok tampan yang juga sedang menatapnya tanpa ekspresi. Jantung Arlin jadi deg-degan sendiri.
“Bu, siapa pun nama pangeran itu, bilangin kalau saya udah jatuh cinta sama dia.”
“Arlinta!”
“Hehehe...”
Di saat semua murid kelas 12 IPA 2 menertawai perkataannya, Arlin justru nyengir lebar, sebelum akhirnya balik badan menuju kelasnya sendiri.